TAQWA
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa
kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan
dalam keadaan Islam.”
(QS. Ali Imran/3:102).
***
T
|
aqwa,
semua orang pernah mendengar kata tersebut, walaupun ada yang belum memahami
makna sesungguhnya. Namun, semua maklum bahwa ”taqwa” adalah istilah untuk sesuatu yang baik. Dalam Islam, taqwa
merupakan tingkatan paling mulia yang harus dicapai oleh setiap manusia, sebagaimana
firman Allah SWT;
“Hai sekalian manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lelaki dan se-orang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [1]
Dengan
jelas Allah SWT menempatkan taqwa di antara sekian tingkat yang harus dicapai
oleh hamba-hamba-Nya.
Hakikat Taqwa, Hidup & Mati
Kata
“taqwa” berasal dari bahasa Arab yang
merupakan akar kata dari “al-Wiqayah” atau
“al-Wiqwa” yang berarti alat
pelindung kepala atau perisai untuk menghindari diri dari sesuatu yang ditakuti
dan membahayakan dirinya. “At-Taqwa” adalah
bentuk mashdar yang artinya “al-Itqaa” yaitu membuat perlindungan.
Sedangkan menurut para ahli hakikat, taqwa berarti memelihara diri dengan jalan
taat ke-pada Allah SWT atau menjauhi semua yang dilarang-Nya sehingga tetap
terlindung.
Taqwa
dalam taat berarti ikhlas ketika me-laksanakan perintah Allah. Sedangkan taqwa
dalam maksiat ialah dengan menjauhi setiap yang dilarang-Nya. [2]
Pengertian
Taqwa yang paling sederhana ialah sifat dan sikap ketaatan mu’min terhadap
syari’at Allah SWT yaitu dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi setiap
yang dilarang-Nya. Maksudnya, seseorang disebut bertaqwa (mutta-qin) apabila ia mampu menguasai diri dengan selalu
menjalankan kebaikan serta memelihara diri dari perbuatan keji dan mun-kar.
Kedua batasan Allah tersebut semuanya terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
Perumpamaan
yang paling mudah kita fahami tentang makna taqwa ini ialah dialog antara Umar
Bin Khatab dengan Ubai Bin Ka’ab. Umar bertanya kepadanya tentang taqwa, lalu
Ubai Bin Ka’ab menjawab dengan sebuah pertanyaan:”Bukankah engkau pernah melewati jalan yang penuh onak dan duri? Bagaimana
sikapmu ketika berjalan di atasnya?” Umar pun menjawab: ”Saya akan selalu siap dan mencari pijakan
dengan hati-hati.” “Itulah taqwa !” jawab Ubai Bin Ka’ab.
Jadi
ibaratnya, kehidupan ini merupakan jalan yang penuh duri dan harus diwaspadai,
sedangkan hududullah merupakan
rambu-ram-bu petunjuk untuk keselamatan perjalanan. Bila menemui daerah
berbahaya, maka bukalah pedoman perjalanan hidup yang telah Allah berikan lewat
utusan-Nya yaitu Kitab suci Al-Quran dan tuntunan Sunnah Nabawiyah. Sehingga
persinggahannya di alam fana ini berjalan mulus dan meraih kebahagiaan yang
dituju. Kalau kita mampu melewati jalan tersebut, maka tujuan kita pun tercapai
yaitu meraih mardlatillah (keridlaan
Allah) di dunia dan di Akhirat. Tetapi sebaliknya, apabila sikap hati-hati
(baca: Taq-wa) tidak kita miliki, pastilah kita terluka oleh duri kehidupan dan
tidak akan mencapai tujuan hidup kita.
Sayyid
Qutb pernah menjelaskan dengan kalimat yang indah dalam tafsirnya “Fi Dhilal
Al-Quran,” katanya: ”Demikianlah taqwa,
ke-pekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut dan selalu waspada serta
hati-hati jangan sampai menginjak duri jalanan. Jalan kehidupan yang selalu
ditaburi duri-duri godaan dan syah-wat, kerakusan dan mimpi-mimpi, kekhawatiran
dan kegelisahan, harapan semu dan yang tidak bisa diharapkan kebaikannya.
Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak pantas ditakuti. Dan masih banyak yang
lainnya.”
Demikianlah
sikap hidup seorang muttaqin dan sebagai puncaknya ialah mencapai derajat Haqqa Tuqatih yaitu manusia yang
sebenar-benarnya taqwa. [3]
Allah
Ta’ala menjadikan bumi sebagai tempat berpijak manusia dan menjalani kehidupannya.[4] Dunia
sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih kekal dan abadi yaitu alam
akhirat yang hanya dibatasi oleh kematian. Manusia yang berhak mengisinya ialah
mereka yang suci jiwanya dengan amal shalih dan ketaqwaan. Firman Allah; “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
membersihkan diri. Dan menyebut nama Tuhannya lalu me-laksanakan shalat. Tetapi
kalian (orang kafir) mengutamakan kehidupan dunia. Sedang akhi-rat itu lebih
baik dan lebih kekal.” [5]
Begitulah
kehidupan dunia, dipenuhi de-ngan hiasan yang bisa melalaikan manusia dari
hakikat manusia diciptakan yaitu beribadah ha-nya kepada Allah SWT. Padahal
dari makna lahir saja, kata “dunia” menggambarkan kehi-dupan yang kecil dan
sesaat.
Dalam
“Tahdibul Akhlaq”, dijelaskan; “Du-nia
dan akhirat adalah ibarat dua keadaan. “Ad-Dunya” berarti “al-Qarib” (sementara)
dan “Ad-Danaa” (hina dan kecil) yaitu segala per-kara yang ada sebelum kematian
datang. Sedangkan akhirat adalah al-Mutarakhi (tujuan akhir) yang terjadi
setelah kematian.” [6]
Karenanya,
Rasulullah SAW mewanti-wanti ummatnya dari kehidupan dunia yang melebihi batas.
Dalam sebuah hadits dijelaskan ada malaikat yang menyeru; “Biarkan dunia bagi mereka yang mencintainya !” hingga diulang sampai
tiga kali, “Barangsiapa yang mencari dunia melebihi batas keperluannya, maka
dia akan menemui ajal dalam keadaan tak sadar.”[7]
Kematian
memang satu hal yang sudah pasti datangnya, kapan atau dimana, hanya Allah yang
tahu. Oleh karena itu, persiapannya harus dalam setiap saat. Allah SWT memberikan
tuntunan hidup bagi manusia agar tidak takut menghadapi kematian yaitu mempersiapkan
bekal menuju kehidupan kekal nanti. Dan bekal yang sebaik-bainya adalah taqwa.[8]
Dengan
merujuk pada pengertian taqwa di atas, maka aplikasi dari taqwa ini ialah
berhati-hati dan selalu memperhitungkan setiap amal perbuatan yang akan
dilakukan, apakah bertentangan dengan titah-Nya atau tidak.
Imam
Al-Baidlawi dalam kitab tafsirnya, membagi taqwa menjadi tiga tingkatan;
Tingkatan Pertama,
Taqwa seseorang yang didorong oleh rasa takut akan siksa yang kekal sehingga
dia memelihara diri dari perbuatan dosa dan syirik kepada Allah. [9]
Tingkatan Kedua,
Taqwa dengan menjauhi setiap perbuatan dosa sampai dosa yang dianggap kecil
oleh sebagian manusia. Inilah o-rang yang mencapai derajat taqwa sesuai dengan
definisi di atas.
Tingkatan Ketiga,
Taqwa dengan melaksanakan seluruh perintah Allah dari yang pa-ling ringan
hingga rahasia-rahasia yang ada di balik semua perintah-Nya dan menjaga diri dari
perbuatan dosa yang paling kecil yang ber-akibat kejahatan-kejahatan yang lebih
besar. Tingkatan inilah yang mencapai derajat “haqqa tuqatih”.
Setiap
muslim wajib meyakini akan adanya hari berbangkit, dimana setiap manusia akan
diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah langsung tanpa perantara. Mulai
dari amaliah zhahir sampai bisikan hati sekalipun. Inilah yang dimaksud dengan
rahasia-rahasia di balik sebuah perbuatan. Baik perbuatan yang berbentuk amal
badani maupun batin harus sejalan dengan ketentuan Allah sebagai manifestasi
taqwa yang sesungguhnya.
Konsekuensi Taqwa
Melaksanakan
sebuah perbuatan, selalu mendapat balasan yang setimpal. Seorang yang berbuat
baik pada sesama, akan memperoleh keuntungan dicintai dan dihormati o-rang
lain. Sebaliknya, perbuatan jahat akan mendapat balasannya pula.
Demikian
halnya dengan seorang yang bertaqwa, konsekuensi dari perbuatan taqwanya ialah
memperoleh kebahagiaan hakiki disebabkan kesabaran dalam mempertahankan nilai
ketaqwaannya. Firman Allah SWT: “Barang-siapa
yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar
(dari kesulitan) dan memberinya rizqi dari arah yang tiada disangka-sangka.” [10]
Dalam
menafsirkan ayat ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalany seorang ulama hadits me-nyoroti
aspek dari sebab turunnya ayat di atas dalam kitabnya “Takhrij Ahaditsil Kasyaf,”
antara lain; “Al-Hakim meriwayatkan dari
Jabir karanya; “Ayat ini turun berkenaan dengan seorang tua renta yang miskin
lagi papa. Pada suatu hari Rasulullah SAW datang kepadanya dan bersabda;
“Taqwalah kepada Allah dan bersabarlah !” Tidak lama kemudian datanglah anak
pamannya dengan membawa ternak-ternaknya.” [11]
Hadits ini menjelaskan bagaimana Allah memberikan jalan keluar bagi hamba-Nya
yang bertaqwa setelah dia mengerti apa hakikat taqwa sesungguhnya sesuai tingkatannya.
Banyak
ayat Al-Quran yang menyatakan balasan bagi orang yang benar-benar bertaqwa
serta menghayatinya dengan memperlihatkan amal shalih dan perilaku terbaik di
hadapan Allah SWT. Firman-Nya; “Sesungguhnya
o-rang-orang yang bertaqwa berada dalam tempat yang aman. (Yaitu) di dalam
surga yang dipenuhi mata air. Mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang
tebal, (duduk) berhadap-hadapan. Demikianlah Kami berikan ke-pada mereka
bidadari. Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan kesenangannya.
Mereka tidak akan merasakan mati di dalamnya kecuali mati di dunia. Dan Allah
memelihara mereka dari adzab neraka, sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang
demikian itu adalah keberuntungan yang besar. Sesungguhnya Kami mudahkan
Al-Quran itu dengan bahasamu supaya mereka mendapat pelajaran. Maka, tunggulah,
sesungguhnya mereka itu menunggu (pula).” [12]
Karakteristik Muttaqin
Cukup
menarik untuk dikaji ulang, tentang sifat dan sikap muttaqin yang lebih
praktis, dengan tujuan agar kita mampu mengapli-kasikannya dalam kehidupan dan
rutinitas sehari-hari.
Ada
beberapa tanda muttaqin sejati yang penting untuk dihayati oleh setiap muslim,
di antaranya:
Pertama:
Mu’ahadah (Selalu Mengingat Janji)
Seorang
muttaqin sejati akan selalu mena-namkan sikap mu’ahadah yaitu berusaha se-kuat tenaga untuk melaksanakan dan meme-nuhi
janjinya, terutama perjanjian dengan Allah SWT. Tidakkah kita sadar bahwa
setiap kali shalat kita mengucapkan janji setia dengan mengikrarkan IYYAKA
NA’BUDU WA IYYA-KA NASTA’IN (Hanya
kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan).
Artinya
segenap hidup kita diserahkan hanya untuk beribadah kepada Allah SWT dan selalu
mengadu kepada-Nya.
Allah
SWT sendiri mengingatkan dalam firman-Nya: ”Dan
tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah ka-mu
membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan
Allah sebagai saksimu (terhadap sum-pahmu itu). Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu perbuat.” [13]
Kedua:
Muraqabah
(Menyadari Allah selalu mengawasinya)
Tanda
kedua ini merupakan cerminan sikap Ihsan yang
harus dimiliki oleh setiap muslim dan muttaqin sejati. Ihsan artinya kita selalu merasa diawasi Allah walaupun kita tidak
melihat-Nya langsung, karena Allah SWT memiliki sifat Maha melihat dan Maha
mendengar. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dia-lah
Allah yang melihatmu ketika kamu berdiri (shalat) dan melihat pula perubahan
gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” [14]
Muraqabah
ini dapat terlihat dari wujud ketaatan kita terhadap Allah SWT. Maksudnya, kita
dituntut untuk memperhatikan setiap ke-giatan kita, apakah sesuai dengan
Syari’at Allah atau tidak. Karena sekecil apapun amal kita, kelak akan
diperlihatkan dan dibalas, sebagaimana firman Allah SWT: ”Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya
dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat
dzarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.” [15]
Sejauh mana sikap muraqabah kita terhadap
Allah SWT ?
Ketiga:
Muhasabah (Introspeksi Diri)
Muhasabah merupakan
upaya kita meningkatkan kualitas keimanan yang ada dalam diri masing-masing.
Karena dengan menghitung, sudah berapa banyak amal baik yang kita miliki akan
lahir kesadaran untuk meningkatkannya setiap saat. Umar Bin Khathab menasehati
ki-ta, “Hisablah dirimu sebelum kamu
dihisab, timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang dan bersiap-siaplah untuk menghadiri
hari yang agung (kiamat). Pada hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan,
tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.”
Disamping
menghitung kadar jumlahnya dari amal shalih yang kita lakukan, juga kita se-lalu
meningkatkan kualitas amal tersebut, apa-kah kita ikhlas mengamalkannya atau karena
keterpaksaan belaka? Dengan demikian setiap detik yang kita lewati, dengan muhasabah akan lahir amal yang lebih
baik dari sebelumnya. Firman Allah SWT: ”Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat) dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[16]
Keempat:
Mu’aqabah
(Memberikan Sanksi)
Sesungguhnya
sikap Mu’aqabah ini lahir dari
kesadaran untuk tetap menjalankan sya-ri’at Allah. Mu’aqabah ialah pemberian sanksi kepada diri sendiri, apabila kita
menyalahi perjanjian yang kita buat. Namun tentu saja sanksi tersebut tidak
boleh menyalahi Sunnah Rasulullah SAW seperti tidak akan menikah, shaum terus
menerus dan lain-lain. Sanksi ini hanya untuk mengingatkan apabila kita lalai
dari perjanjian.
Dalam
sebuah riwayat dikisahkan, suatu hari Umar Bin Khathab RA mengurus kebun
sampai-sampai ia tertinggal berjama’ah shalat Ashar. Maka beliau berkata: ”Aku tertinggal berjama’ah Ashar hanya
karena sepetak kebun, kini kebunku aku jadikan shadaqah buat orang-orang
miskin.” Sungguh mulia akhlaq shahabat Umar, hanya karena tertinggal shalat
Ashar ia memberikan sanksi yang begitu besar. Tidakkah kita tergugah untuk
meneladaninya?
Kelima:
Mujahadah
(Bersungguh-sungguh
dan berusaha
keras)
Tanda
muttaqin sejati ialah Mujahadah artinya
seluruh kemampuannya ia kerahkan untuk melaksanakan syari’at Allah SWT, baik jiwanya,
hartanya ataupun kekuasaan dan kehormatannya. Seorang muttaqin akan ber-usaha
semaksimal mungkin beribadah kepada Allah sesuai dengan aturan-aturan-Nya, melaksanakan
Sunnah-Sunnah-Nya, memperhatikan keikhlasannya. Firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang
bersungguh-sung-guh mencari keridlaan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat
baik.” [17]
Inilah
lima tanda muttaqin sejati. Sudahkah kita miliki? Insya Allah.
RABB
IJ’ALNII LI AL-MUTTAQINA IMA-MA (Ya
Rabbi, Jadikanlah aku pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa). Amien.
***
[1] QS. 49:13
[2] At-Ta’rifat,
Al-Jarjany:65
[3] QS. Ali Imran:102
[4] QS. 7:24-25
[5] QS. 87:14-17
[6] Hlm. 78
[7] HR. Al-Bazzar
[8] QS. 2:197
[9] QS. 48:26
[10] QS.
At-Thalaq/65:2-3
[11] Sanad hadits ini
masih diperbincangkan
[12] QS.
Ad-Dukhan/44:51-59
[13] QS. 16: 91
[14] QS. Asy-Syura:
218-219
[15] QS. 99: 7-8
[16] QS. Al-Hasyr: 18
[17] QS. Al-Ankabut: 69
0 komentar
Posting Komentar