MENJAGA STAMINA IMAN
Syahadat sebagai wujud formulasi
keberadaan iman seseorang harus dijaga dan dipelihara eksistensinya. Nabi
Muhammad SAW bersabda “al-Imanu
yazidu wayanqusu, yazidu bitho’ah wayanqusu bil ma’syiyah.” (al-Hadist)
Iman terkadang naik dan terkadang
turun. Sehingga keberadaan iman harus dipelihara sedemikian rupa. Ketaatan yang
dilakukan seseorang kepada Allah SWT akan menjamin keberadaan iman. Bahkan iman
akan semakin tumbuh dan berkualitas jika dipupuk dengan ketaatan. Wujud
ketaatan seorang hamba akan terlihat dalam pelaksanaan ibadah keseharian.
Ibadah wajib maupun sunnah akan menjadi barometer kualitas kehambaan seseorang.
Utamanya ibadah sunnah seperti qiyamul lail. Peranan qiyamul lail sangat
berpengaruh terhadap jiwa orang yang bersyahadat. Bahkan kekuatan-kekuatan
ruhiyah sebagai elemen penting untuk menjaga stamina iman dapat diperoleh dari
ibadah qiyamul lail. Aktifitas-aktifitas ketaatan, taqorrub (pendekatan diri
kepada Allah SWT), dan ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah serta
dicontohkan oleh Rasul-Nya sangat berpengaruh untuk menjaga stabilitas iman
seseorang. Diantaranya: Sholat berjama’ah, Qiyamul lail, Qiroatil Qur’an.
a. Sholat Berjama’ah
Format ibadah sholat fardhu lima kali sehari semalam
dilaksanakan secara berjama’ah di masjid. Sholat berjama’ah sebagaimana yang
dilaksanakan oleh Rasulullah Muhammad SAW dan para sahabatnya merupakan sarana
pembinaan iman dan keummatan. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah SAW: “Sholat
berjama’ah dua puluh tujuh kali lipat nilainya dibanding dengan sholat
sendirian.” (al-Hadist)
Walaupun dalam ketentuan hukum fiqih
sholat berjama’ah hukumnya sunnah mu’akkad, tetapi melihat realita sejarah
Rasulullah dengan para sahabat tidak pernah meninggalkan ibadah sholat fardhu
berjama’ah. Bahkan pada suatu waktu Rasulullah Muhammad SAW pernah menyuruh Abu
Bakar ra untuk menjadi imam kemudian
beliau akan berkeliling memeriksa rumah-rumah para sahabat dimana beliau sempat
mengeluarkan ultimatum bagi sahabat yang tidak pergi sholat berjama’ah konon
akan dibakar rumahnya. Walaupun ancaman ini tidak mungkin dilaksanakan oleh
beliau, tetapi dapat kita simpulkan betapa menjadi keharusan untuk selalu hadir
berjama’ah di masjid. Bahkan sahabat Ibnu Ummi Maktum yang buta kedua matanya,
pada saat beliau memohon keringanan untuk
tidak sholat berjama’ah ternyata Rasulullah kemudian bertanya kepada
beliau, “Sampaikah suara adzan kepadamu, wahai Ibnu Ummi Maktum?”, jika
adzan itu terdengar olehnya maka wajib baginya datang berjama’ah walaupun
dengan merangkak.
Sholat berjama’ah hendaknya
ditegakkan di tengah ummat sebagai sarana tarbiyah iman dan tarbiyah ummat.
Sesungguhnya sholat berjama’ah dapat dimanfaatkan sebagai kontrol iman
seseorang. Eksisnya iman para anggota jama’ah akan nampak pada disiplin dan
utuhnya ibadah berjama’ah. Idealnya jumlah shaff sholat Jum’at sama dengan
jumlah shaff sholat shubuh dan sama pula dengan jumlah shaf sholat fardu
lainnya.
b. Qiyamul Lail
Qiyamul Lail adalah bahasa Arab,
yang berasal dari kata ‘qiyamun’ yang artinya bangun, dan ‘al-Lail’
artinya malam. Qiyamul Lail adalah bangun pada malam hari antara separuh malam
hingga menjelang shubuh untuk melaksanakan sholat sunnah (tahajjud)
dengan niat ingin mendapatkan keridhoan Allah SWT. Ibadah qiyamul lail yang
dilaksanakan dengan tekun dan ikhlas sangat berpengaruh terhadap jiwa orang
yang melaksanakannya. Syahadat seseorang akan semakin kokoh dan segar jika
didukung dengan ibadah qiyamul lail.
Keutamaan qiyamul lail bagi orang
yang tekun menjalankannya, ia akan mendapatkan beberapa keutamaan di antaranya qurrota
‘ayyun (penyejuk hati), qoulan tsakila (perkataan yang berbobot), maqomam
mahmudah (kedudukan yang terpuji), shultonan nashiro, dan masih
banyak keutamaan lainnya. Seperti diungkap dalam al-Qur’an:
“Lambung mereka jauh dari pembaringan, sedang
mereka berdo’a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka
menafkahkan sebagia dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
“Tiada seorangpun mengetahui apa yang
disembunyikan untuk mereka, (yaitu bermacam-macam nikmat) yang menyejukkan
pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. as-Sajadah: 16-17)
Dengan Qiyamul Lail ia akan
merasakan kenikmatan luar biasa. Bahkan mereka akan menemukan ketentraman ,
ketenangan, serta rasa aman karena merasa dekat dengan Pencipta, Pemelihara,
dan penentu alam semesta ini.
c. Tartil Qur’an
Dengan membaca al-Qur’an seorang
mukmin tidak saja mendapatkan ketenangan dan kekuatan ruhaniyah, namun juga
mendapatkan petunjuk, mana jalan
yang harus dilalui serta jalan yang harus dihindari. Tanpa rambu-rambu
dan petunjuk jalan niscaya seseorang dapat tersesat dari jalan kebenaran
lebih-lebih dalam menghadapi kehidupan yang samar-samar, tidak jelas antara yang Haq dengan yang
bathil. Dalam kondisi seperti ini al-Qur’an sangat dibutuhkan untuk menjadi
cahaya penerang dan petunjuk yang membedakan antara yang hak dan yang bathil.
Disamping itu al-Qur’an dapat sebagai pengobat hati. Dalam kehidupan seorang
mukmin, akan berhadapan dengan hal-hal yang dapat merusak iman dan mengotori
hati.Hal itu dapat terjadi karena perbuatan maksiyat. Semakin sering maksiyat
dilakukan maka semakin rusak iman dan semakin kotor hatinya. Jika terus menerus
maksiyat tidak dihentikan maka hatinya akan mati atau sakit. Dengan membaca
al-Qur’an, memahami maknanya serta meresapi kandungannya akan dapat menjadi
pengobat hati yang sakit.
“Dan Kami turunkan al-Qur’an sebagai obat dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan al-Qur’an itu tidak memberi nilai
tambah bagi orang-orang yang dzalim kecuali kerugian.” (Qs. al-Isra’: 82)
“Hai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yunus:57)
d. Menghidupkan Ukhuwah
Islamiyah
Syahadat yang
tumbuh dalam diri seseorang cenderung untuk mencari dan menjalin persahabatan
dengan sesamanya orang beriman. Keinginan
untuk berkumpul dan bertemu dengan ikhwan-ikhwan menjadi tuntutan dirinya
setiap saat. Mereka akan merasakan suasana indah dalam hidup bersama dalam
sebuah jama’ah. Dalam sejarah betapa indah persaudaraan yang dibangun antara
muhajirin dan anshar di Madinah. Mereka bersatu padu, bahu membahu, seperti
satu tubuh bahkan melebihi dari saudara kandungnya sendiri. Rasulullah Muhammad
SAW memasangkan masing-masing muhajirin dan anshar untuk dipersaudarakan.
Keindahan hidup kebersamaan itu nampak terlihat pada waktu sahabat Abdurrahman
bin ‘Auf diberikan tawaran oleh
saudaranya anshar, “Kami punya tanah, kebun, dan harta benda, semuanya akan
kami bagi dua dan sebagian untuk Tuan dan sebagian untuk kami. Kami mempunyai
dua istri, kalian boleh pilih salah satu di antaranya kemudian kami ceraikan
dia, dan jika habis masa iddahnya nikahilah dia.” Luar biasa peragaan hidup
orang-orang yang bersyahadat. Ada
beberapa pilar yang menumbuhkan hidup kebersamaan (berjama’ah):
1. Ta’aruf
Masing-masing di antara mereka
tumbuh keinginan yang kuat untuk saling mengenal diri mereka masing-masing.
Ta’aruf akan menghasilkan saling pengertian sehingga menumbuhkan keakraban di
antara sesama orang yang beriman
2. Tafahum
Tidak cukup hanya dengan saling
kenal mereka akan lebih jauh saling memahami perasaan, pikiran, dan jiwa saudaranya.
Sehingga memperkecil kemungkinan misunderstanding dan misperception tetapi
justru yang berkembang adalah toleransi dan tenggang rasa antara mereka.
Perbedaan-perbedaan yang muncul diantara mereka akan segera dengan mudah
dinetralisir.
3. Ta’awun
Pertumbuhan mental berikutnya,
kebersamaan hidup yang terbangun akan melahirkan sikap saling tolong menolong
sesama kawan. Sikap ingin membantu teman menjadi sesuatu yang sangat
membahagiakan.
4. Takaful
Pada tingkat yang ideal mereka
sanggup berbagi dengan sesama saudaranya. Mereka merasa bahagia apabila mampu
membahagiakan saudaranya.
e. Silaturrahmi
Kebiasaan bersilatuurrahmi mempunyai
pengaruh tersendiri terhadap jiwa orang yang beriman. Iman akan semakin segar
apabila ia dipertemukan dengan sesamanya saudara seiman. Bahkan silaturrahmi
akan mengokohkan keberadaan iman.
f. Infaq fisabilillah
Iman yang tumbuh dalam diri
seseorang akan melahirkan kesiapan untuk berkorban. Memberikan sesuatu sebagian
dari apa yang dimilikinya merupakan desakan yang setiap saat dapat dirasakan
sebagai tuntutan iman.
“Perumpaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allahadalah serupa denga sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tipa butir seratus biji. Allah
melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha
Mengetahui.” (Qs.
al-Baqarah:261)
TINDAK LANJUT SYAHADAT
Syahadat yang ideal tentu sangat
berbeda dengan apa yang kita kenal dan barang kali yang kita miliki selama ini.
Syahadat selalu hadir membawa perubahan, membawa nilai, yang memberi pamor dan
pesona pada siri seseorang. Syahadat baru dapat dikatakan eksis manakala mampu
memberi bias dan pengaruh, membawa perubahan yang bisa dirasakan oleh orang
lain.yang ada di sekitarnnya. Mereka yang telah bersyahadat segera tampil dengan
tekad yang tajam serta semangat kerja yang membara untuk segera berbuat
melakukan perubahan-perubahan yang terkait dengan diri dan kehidupan di
sekelilingnya. Ia punya keinginan kuat untuk melihat kehidupan ini terwarnai
oleh keyakinannya. Bahkan mereka akan tampil begitu meluap-luap dan
berkibar-kibar mengangkat beban dan tugas-tugas perjuangan.
Dengan syahadat itu saja berarti
dalam diri sudah terjadi sebuah revolusi secara total. Dalam dirinya terjadi
perubahan drastis yang melahirkan irama dan ritme yang begitu rapi dan teratur
mengarah kepada segala aktivitas yang mengundang keridhoan Allah SWT. Orang
yang bersyahadat sudah semestinya tahu betul konsekuensi dari syahadat yang
diikrarkannya. Beberapa konsekuensi syahadat sebagi tindak lanjut pertumbuhan
iman dalam dirinya antara lain:
1. Mengilmui Islam
Karena iman yang tumbuh di dalam
dirinya menuntut sejumlah konsekuensi yang harus dilakukan maka gairah yang
pertama-tama muncul yaitu keinginan yang kuat untuk mempelajari dan memahami
Islam secara keseluruhan. Jika dirinya dibiarkan tidak mengerti dan tidak
memahami Islam sebagai jalan hidupnya maka konsekuensi syahadat tidak dapat
terpenuhi dengan baik. Mengilmui Islam merupakan langkah awal untuk membangun
kesempurnaan dirinya dalam bersyahadat. Pekerjaan menuntut ilmu menjadi satu
kebutuhan untuk menyempurnakan ketaatan dan amal sholehnya.
“Tuntutlah ilmu dari buaian
sampai liang lahat.”
(al-Hadist)
“Al-‘ilmu qoblal ‘amal.” (al-Hadist)
“Menuntut ilmu kemudian beramal.”
Kualitas syahadat seseorang dan
konsekuensinya sebagai tindak lanjut keberadaan imannya sangat ditentukan oleh
kadar pemahaman tentang makna, fungsi, tuntutan, serta hakikat syahadat itu
sendiri
2. Meyakini Islam
Yakin artinya siapa yang megucapkan
dua kalimat syahadat harus meyakini dalam hatinya terhadap kebenaran yang
diucapkannya. Yaitu kebenaran adanya hak-hak ilahiyah Allah SWT dan kebenaran
kenabian Muhammad SAW. Sebaliknya ia meyakini tidak benarnya ilahiyah selain
Allah SWT dalam bentuk ibadah apa pun. Dan meyakini ketidakbenaran siapa saja
yang mengakui kenabian setelah Nabi Muhammad SAW. Sedikitpn keyakinan ini tidak
boleh tercemari oleh keragu-raguan.
“Bahwasannya
orang-orang mukkmin itu adalah orang-orang yang berian kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka
tidak ragu-ragu.” (Qs. al-Hujurat: 15)
Setelah
keyakinan menghujam di dalam dada sikap yang diperlukan adalah sami’na wa
ata’na. Seseorang yang telah bersyahadat sikapnya jelas penuh keyakinan.
Setiap perintah dan larangan yang datangnya dari Allah SWT dan Rasul-Nya akan
dilaksanakan tanpa menunggu waktu. Sekalipun perintah itu nampak bertentangan
dengan jalan pikirannya mereka tetap sabar melaksanakannya. Mereka yakin di
balik semua itu ada hikmahnya. Bagi
mereka tiada pilihan bila perintah Allah sudah datang. Bagi mereka tiada alternatif
lain kecuali mengikuti apa saja maunya Allah dan Rasul-Nya.
“Tidak ada pilihan lain lagi bagi
seorang pria atau wanita yang beriman kecuali menerima apa yang telah
diputuskan Allah da Rasul-Nya tentang perkara mereka. Siapa yang durhak kepada
Allah dan Rasul-Nya sesungguhnya dia dalam kesesatan yang nyata” (Qs. al-Ahzab:36)
3. Mengamalkan Islam
Islam bukanlah agama kebatinan yang
cukup hanya diyakini saja. Islam juga bukan agama lisan yang cukup hanya
diucapkan saja. Islam adalah agama amal yang dilandasi oleh suatu keyakinan
yang utuh. Syahadat adalah sumber kekuatan yang mampu mendorong dirinya untuk
melahirkan amal-amal nyata. Bila iman betul-betul sudah merasuk ke dalam hati,
akan terasa sulit bagi dirinya untuk diam meski hanya beberapa saat. Iman akan
melahirkan kepedulian yang sangat besar. Ia akan sibuk mengurusi orang-orang
yang ada di sekitarnya. Baginya apa saja yang ada di sekitarnya akan selalu
menarik perhatiannya. Yang baik akan didukung, dilestarikan, dan ditingkatkan.
Yang salah akan ia coba untuk memperbaikinya. Bagaimanapun buruknya situasi dan
kondisi ia akan terus bekerja dan berkarya. Tidak ada alasan untuk berhenti.
Diintipnya setiap peluang betapapun kecilnya. Iman sebagai satu kekuatan akan
terus bergerak. Tidak ada alasan untuk mengeluh sebab mengeluh bukan bahasa
iman. Keluhan adalah pantangan bagi orang yang sudah menyatakan beriman.
Sifat orang beriman adalah optimis.
Dalam kondisi yang sejelek apapun ia tetap punya harapan. Sebab wujud iman
adalah keyakinan akan keberadaan Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pemurah.
4. Mendakwahkan Islam
Dengan ikrar syahadat seseorang
telah bertransaksi jual beli dirinya kepada Allah untuk menempuh kehidupan
secara utuh dan menyeluruh. Baik kehidupan pribadi, berkeluarga, maupun
bermasyarakat serta bernegara. Semuanya ditempuh untuk tidak meng-ilahkan
selain Allah SWT. Format kehidupan berislam tidak mungkin secara individual.
Tetapi ia dituntut untuk membangun kehidupan yang lebih luas. Berislam
sendirian secara pribadi tidak memiliki dasar pijakan serta contoh dari
Rasulullah SAW. Di samping itu juga tidak cukup memiliki nilai keagungan amal
menuju kesempurnaan hidup islami,
kehidupan yang mulia bahagia dunia dan akhirat. Dengan demikian jalan dakwah
menjadi suatu tuntutan dan tindak lanjut yang tidak bisa dipisahkan dari
hakikat syahadat seseorang. Mendakwahkan Islam adalah jalan ikhtiari yang
terbaik menuju cita-cita mulia, jalan para Nabi, dan para pembawa risalah
kenabian.
“Siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang berdakwah menyeru kepada Allah, mengerjakan
amal sholeh, dan berkata “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah
diri.” (Qs. Fushilat:33)
Panggilan dakwah adalah wujud
tanggung jawab orang-orang yang bersyahadat.
5. Memperjuangkan Islam
Semangat untuk memperjuangkan apa
yang selama ini diyakini kebenarannya adalah manifestasi iman. Tidak ada iman
tanpa adanya keinginan dan kesiapan untuk turut berjuang. Omong kosong bicara
tentang iman tanpa diiringi dengan kesediaan dirinya untuk turut serta berjuang
fii sabilillah. Adalah kebohongan besar dan kemunafikan yang nyata bila ada
orang yang mengaku beriman kemudian diam tidak mengambil sikap apa-apa, tidak
beraksi, ataupun mereaksi terhadap apa yang sedang terjadi di lingkungannya.
Sepanjang sejarah kita saksikan setiap ada kedzaliman selalu terjadi perlawanan
dari orang-orang yang beriman. Mereka yang beriman tidak akan mungkin
mentolerir kebatilan. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali memberantasnya. Dengan
iman yang ada mereka tidak akan pernah berhenti berpikir dan berbuat untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan. Adapun kebenaran dan keadilan yang
sebenarnya adalah kalimat Allah SWT, ajaran Islam. Itulah ajaran yang mereka
yakini dan itu pula yang mereka
perjuangkan. Tiada program lain dalam hidup orang yang bersyahadat kecuali
berjuang dan berjuang.
“Barang siapa yang melihat
kemungkaran, maka hendaklah ia ubah dengan tangannya, jika tidak mampu
hendaklah ia ubah dengan lisannya, jika tdak mampu hendaklah dengan hatinya.
Akan tetapi yang deikian itu adalah selemah-lemah iman.” (al-Hadist)
Jelaslah sudah kalau ciri khas yang
menjadi identitas orang yang bersyahadat adalah keaktifan bergerak, membuat
aksi dan reaksi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
“Sesungguhnya orang-orang yang
beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada
jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Qs. al-Hujurat:15)
6. Hidup
dan Mati bersama Islam
Setelah mengikrarkan dua kalimat
syahadat seseorag tiada lagi punya hak terhadap hidupnya selain hanya untuk
Allah SWT semata-mata. Dia telah menjual dirinya hanya untuk kepentingan Islam.
Boleh saja dia punya kegiatan macam-macam asalkan semuanya itu demi Islam.
“Sesungguhnya sholatku, ibadahku,
hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam.” (Qs. al-An’am:162)
Maka jika
tindakan-tindakan orang tersebut bukan karena dan untuk Islam maka di hadapan
Allah itu tidak ada artinya. Bahkan bisa jadi mengurangi nilai syahadatnya. Mengagungkan Allah dan menjunjung Rasulullah
SAW, dan berjuang menegakkan ajaran-Nya akan banyak hambatan dan halangan yang
menghadang. Dalam perjalanannya orang bersyahadat akan dihadapkan kepada ujian
demi ujian. Manakala ia berhasil melewati ujian-ujian iman maka semakin
meningkat bobot dan kualitas syahadatnya. Allah tidak akan membiarkan
pengorbanan hamba-Nya itu dengan sia-sia. Pengorbanan sekecil apa pun, Allah
pasti mencatatnya. Dan imbalan yang sudah disediakan oleh Allah bagi orang-orang
yang beriman adalah surga.
“Sesungguhnya Allah telah membeli orang-orang yang beriman harta
dan jiwanya dengan surga.” (Qs.
at-Taubah:111)
0 komentar
Posting Komentar