الحمدُ
للهِ، والصَّلاةُ والسَّلامُ على رسولِ اللهِ أما بعد:
Segala puji hanya
milik Allah, Tuhan semesta Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada Rasul termulia, keluarga dan seluruh sahabatnya. Wa
Ba’du.
Seruan kepada taqriib
(pendekatan) antara agama Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah dengan
selain mereka dari kalangan Ahlusunnah, Zaidiyyah dan Ibadiyyah
yang gencar di kumandangkan pada tahun-tahun terakhir ini telah menarik
perhatian banyak orang untuk mengkaji permasalahan ini secara ilmiah. Dan shohibul
fadhilah, penulis besar Islam Sayyid Muhibbuddin Al Khathiib telah
melakukan pengkajian ini melalui buku-buku utama sekte Syi’ah guna mencari
sarana taqriib ini dalam buku-buku tersebut. Dan terbukti bagi beliau
bahwa terwujudnya taqriib adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini
dikarenakan para penggagas agama Syi’ah tidak menyisakan satu sarana pun untuk
terjadinya taqriib tersebut. Mereka telah menegakkan agama Syi’ah di
atas pilar-pilar yang bertentangan dengan syari’at Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa Salam dan yang diserukan oleh
para sahabat beliau, serta agama terang benderang nan bercahaya yang beliau
wariskan, sehingga tiada orang yang menyeleweng darinya melainkan orang yang
benar-benar binasa.
Karena berbagai
nukilan yang disebutkan dalam karya tulis ini langsung diambil dari buku-buku
utama sekte Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah, dengan disertai nomor halaman, serta
penjelasan tentang edisi penerbitannya, sehingga tidak mungkin ada orang yang
dapat mengingkarinya, maka kami merasa perlu untuk mempersembahkannya kepada
seluruh manusia. Agar hidup orang yang hidup di atas penjelasan dan binasa
orang yang binasa di atas penjelasan, dan hanya Allah lah yang menjadi pembela
bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk.
Jeddah, 14 Rajab 1380 H
Muhammad Nashif
******
Mustahil Terjadinya Pendekatan Antara Islam dan Syi’ah
Mustahil Terjadinya Pendekatan Antara Islam dan Syi’ah
Prinsip-prinsip
Dasar Ajaran Sekte Syi’ah Al Imamiyyah Mustahil Terjadi Pendekatan Antaranya
Dengan Prinsip-prinsip Islam Dengan Berbagai Aliran dan Kelompoknya
Mendekatkan
pemikiran, kepercayaan, metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu
tujuan syariat Islam, dan termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan,
kebangkitan dan perbaikan mereka. Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi
tatanan masyarakat dan persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap
seruan kepada pendekatan semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai
kepentingan, dan pada perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar
dibanding kemaslahatan yang diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim
untuk memenuhinya, serta bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna
mewujudkannya.
Beberapa tahun
terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang
hingga sebagian mereka terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke
Universitas Al Azhar -suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan
terbesar yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat
Mazhab Fikih (yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Oleh karenanya
Al Azhar mengemban misi “pendekatan” tersebut dalam lingkup yang lebih luas
daripada misi yang ia emban dengan tak kenal lelah sejak masa Sholahuddin Al
Ayyubi hingga sekarang ini. Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari
lingkup tersebut kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab
“Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariyah”. Dalam hal ini, Al Azhar masih
berada di awal perjalanan. Oleh karenanya, permasalahan penting ini amatlah
perlu untuk dikaji, dipelajari, dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki
pengetahuan tentangnya, dan digali segala hal yang berkaitan dengannya serta
segala dampak dan risiko yang mungkin terjadi.
Dikarenakan
berbagai permasalahan dalam agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun
haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat. Dan hendaknya orang yang
mengkajinya pun benar-benar menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama,
bersifat obyektif dalam setiap pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang
ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan
mendatangkan berbagai dampak positif. Hal pertama yang menjadi catatan kami
pada perkara ini -juga dalam setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai
pihak- ialah: bahwa salah satu faktor terkuat bagi keberhasilannya ialah adanya
interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.
Kita contohkan
dengan perkara pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah, telah dicatat
bahwa guna merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham ini
didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara
yang berpaham Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan bantuan
resmi tersebut hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah memberikan hal
tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah
memberikan bantuan ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di kota Teheran, atau Kum,
atau Najef atau Jabal ‘Amil, atau tempat-tempat lain yang merupakan pusat
pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah
Dan dari berbagai
pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut -pada beberapa tahun
terakhir ini- beredar berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas dan
pendekatan, sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku
tersebut adalah buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh
ulama’ kota
Najef. Pada buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al
Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat
disembuhkan selain dengan air mani kaum laki-laki!!? Buku tersebut berhasil
didapatkan oleh Ustadz Al Basyir Al Ibrahimi, ketua ulama’ Al Jazair pada
kunjungan pertamanya ke Irak. Kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan
kekejian mazhab semacam ini kepada “Seruan Pendekatan” lebih mendesak dibanding
kebutuhan kita sebagai Ahlusunnah kepada seruan semacam ini.
Bila perbedaan
paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan mereka bahwa
mereka lebih loyal kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib kerabat nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam -pent) dibanding kita, dan tentang anggapan
bahwa mereka menyembunyikan -bahkan-menampakkan- kebencian dan permusuhan
kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang di atas pundak merekalah agama Islam
tegak. Sampai-sampai mereka berani mengucapkan perkataan kotor semacam ini
tentang Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Maka
obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu mengurangi kebencian
dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam dan agar
mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap terpuji mereka kepada para
Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah lalai dari menunaikan
kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait), kecuali kelalaian
kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa menjadikan mereka sebagai
sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana yang dapat kita saksikan
pada berbagai kuburan mereka yang berada di tengah-tengah penganut paham Syi’ah
yang hendak diadakan pendekatan antara kita dan mereka.
Interaksi haruslah dilakukan oleh
kedua belah pihak yang hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara
keduanya. Tidaklah ada interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro
dan kontra) dapat dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya
pewujudannya tidak hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang
terjadi sekarang ini.
Kritikan kami tentang keberadaan
lembaga pendekatan tunggal yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlusunnah,
yaitu Mesir ini, dan yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab
Syi’ah, padahal berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah gencar mengajarkannya,
dan memusuhi paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini
sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak
dilakukan di berbagai perguruan Syi’ah.
Adapun bila upaya ini -sebagaimana
yang sekarang terjadi- hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak
atau berbagai pihak terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup
kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.
Termasuk cara paling sederhana dalam
mengadakan pengenalan ialah dimulai dari permasalahan furu’ sebelum membahas
berbagai permasalahan ushul (prinsip)!. Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu
Fikih Syi’ah tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara
kedua kelompok. Syariat fikih menurut empat Imam Mazhab Ahlusunnah tegak
di atas dasar-dasar yang berbeda dengan dasar-dasar syariat fikih menurut
Syi’ah. Dan selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar hukum ini sebelum
menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan furu’, dan selama tidak ada
interaktif antara kedua belah pihak dalam hal ini, pada lembaga-lembaga
pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan
waktu dalam permasalahan furu’ sebelum terjadi kesepakatan dalam permasalahan
ushul. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fikih, akan tetapi
ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling
mendasar.
******
Taqiyyah Dalam Agama Syi’ah
Taqiyyah Dalam Agama Syi’ah
Permasalahan Taqiyyah
Penghalang
pertama bagi terwujudnya solidaritas yang benar lagi tulus antara kita dan
mereka ialah apa yang mereka sebut dengan At Taqiyyah.
Taqiyyah adalah suatu keyakinan dalam agama yang membolehkan bagi mereka untuk
berpenampilan di hadapan kita dengan penampilan yang menyelisihi hati nurani
mereka. Dengan demikian orang yang lugu dari kalangan kita (Ahlusunnah)
akan tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan
solidaritas dan pendekatan, padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan,
juga tidak rela, dan tidak akan menerapkan hal itu, kecuali bila hal itu hanya
dilakukan oleh satu pihak saja (yaitu pihak Ahlusunnah), sedangkan pihak
lain tetap berada dalam kenyelenehannya tidak bergeser sedikit pun walau hanya
satu rambut (yaitu Syiah). Walaupun para pelaku peran “Taqiyyah” dari mereka
berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekat
dengan kita, maka sesungguhnya masyarakat Syi’ah seluruhnya; pemuka mereka dan
masyarakat awamnya akan tetap terpisah dari para pemeran sandiwara ini, dan
tidak akan pernah menerima apapun apa yang dikatakan oleh para perwakilan yang
telah memerankan peranan mereka.
Di antaranya
hadits yang mereka yakini bahwa Imam kelima mereka, yaitu Muhammad Al Baqir
meriwayatkan suatu hadits yang di antara bunyinya:
“At Taqiyyah ialah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku,
dan tidak beriman orang yang tidak bertaqiyyah.” (Al Ushul Minal Kafi, bab: At Taqiyyah jilid: 2 hal: 219).
Syaikh ahli
hadits mereka Muhammad bin Ali bin Al Hasan bin Babuyah Al Kummi telah
menyebutkan dalam sebuah risalahnya yang berjudul Al I’tiqadaat:
“Bertaqiyyah wajib hukumnya, barang siapa yang
meninggalkannya, maka ia bagaikan orang yang meninggalkan sholat.” Ia juga berkata: “Bertaqiyyah wajib hukumnya, dan tidak
boleh dihapuskan hingga datang sang penegak keadilan (imam mahdi -pent), dan
barang siapa yang meninggalkannya sebelum ia datang, maka ia telah keluar dari
agama Allah Ta’ala, dan dari agama Al Imamiyyah, serta menentang Allah,
Rasul-Nya dan para Imam.” (Baca risalah Al I’tiqadaat, pasal At
Taqiyyah, terbitan Iran
tahun: 1374 H).
Celaan Terhadap Al Quran
Sampai pun Al
Quran Al Karim, yang semestinya menjadi rujukan penyatu antara kita dan mereka
dalam upaya pendekatan diri kepada persatuan, akan tetapi ternyata
prinsip-prinsip agama mereka tegak di atas penakwilan ayat-ayatnya dan
memalingkan artinya kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para
sahabat radhiallahu ‘anhum dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam ,
dan kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para imam kaum muslimin
semoga Allah merahmati mereka- dari generasi yang padanya diturunkan Al Quran.
Bahkan salah
seorang ulama terkemuka kota Najef, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi
An Nuri At Thobarsy, seorang figur yang mereka agungkan sampai-sampai ketika ia
wafat pada tahun 1320 H, mereka menguburkannya di kompleks pemakaman Al
Murtadhowi di kota Najef, di singgasana kamar Banu Al Uzma binti Sultan An
Nashir Lidinillah, yang berupa teras kamar yang menghadap ke Kiblat yang
terletak di sebelah kanan setiap orang yang masuk ke halaman Al Murtadhowi dari
pintu kiblat di kota Najef Al Asyraf. Suatu tempat paling suci bagi mereka.
Ulama kota Najef ini pada tahun 1292 H di saat
ia berada di kota
Najef di sisi kuburan yang dinisbatkan kepada Imam Ali -semoga Allah memuliakan
wajahnya- menuliskan sebuah buku yang ia beri judul: “Fashlul Khithab Fi
Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.” (Makna judul buku ini: “Keterangan
Tuntas Seputar Pembuktian Terjadinya Penyelewengan Pada Kitab Tuhan Para Raja”
-pent). Ia mengumpulkan beratus-ratus nukilan dari ulama-ulama dan para
mujtahid Syi’ah di sepanjang masa yang menegaskan bahwa Al Quran Al Karim telah
ditambah dan dikurangi.
Buku karya At
Thobarsy ini telah diterbitkan di Iran pada tahun 1289 H, dan kala
itu buku ini memancing terjadinya kontroversi. Hal ini karena dahulu mereka
menginginkan agar upaya menimbulkan keraguan tentang keaslian Al Quran hanya
diketahui secara terbatas oleh kalangan tertentu dari mereka, dan tersebar di
beratus-ratus kitab-kitab mereka, dan agar hal ini tidak dikumpulkan dalam satu
buku yang dicetak dalam beribu-ribu eksemplar dan akhirnya dibaca oleh musuh
mereka, sehingga buku tersebut menjadi senjata atas mereka yang dapat
disaksikan oleh setiap orang. Tatkala para tokoh mereka menyampaikan kritikan
ini, penyusun kitab ini menentang mereka, dan kemudian ia menuliskan kitab lain
yang ia beri judul: Raddu Ba’dhis Syubhaat ‘An Fashlil Khithab Fi Itsbati
Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab (Makna judul buku ini: Bantahan Terhadap
Sebagian Kritikan Kepada kitab “Keterangan Tuntas seputar pembuktian
terjadinya penyelewengan pada kitab Tuhan para raja”. -pent). Ia menuliskan
pembelaan ini pada akhir hayatnya, yaitu dua tahun sebelum ia wafat.
Sungguh kaum
Syi’ah telah memberikan penghargaan kepadanya atas jasanya membuktikan bahwa Al
Quran telah mengalami penyelewengan, yaitu dengan menguburkannya di tempat
istimewa dari kompleks pemakaman keturunan Ali di kota Najef. Dan di antara hal yang dijadikan
bukti oleh tokoh kota Najef ini bahwa telah
terjadi kekurangan pada Al Quran, ialah pada hal: 180, ia menyebutkan satu surat yang oleh kaum Syi’ah disebut dengan nama “Surat Al
Wilayah”, pada surat
ini ditegaskan kewalian sahabat Ali:
يأيها
الذي آمنوا آمنوا بالنبي والولي اللذين بعثناهما يهديانكم إلى الصِّراط المستقيم
…إلخ
“Wahai orang-orang yang beriman,
berimanlah engkau dengan seorang nabi dan wali yang telah Kami utus guna
menunjukkan kepadamu jalan yang lurus…dst.” [3]
Demikianlah surat Syi’ah, gaya
bahasanya buruk, lucu lagi tidak fasih, ditambah lagi kesalahan fatal dalam
ilmu nahwu, membuktikan bahwa itu adalah surat
non Arab, hasil rekayasa orang-orang non Arab Persia yang dungu, sehingga
mereka mempermalukan diri sendiri dengan menambahkan surat ini. Inilah
“Al Quran” yang dimiliki kaum Syi’ah, terdapat kesalahan, dengan gaya bahasa
non Arab dan menyalahi ilmu nahwu! Adapun Al Quran milik kita –Ahlusunnah
wal Jama’ah- adalah Al Quran dengan bahasa Arab yang nyata tidak ada kesalahan,
sarat dengan rasa manis, dan keindahan, bak sebuah pohon yang penuh dengan
buah, dan akarnya menghunjam ke dalam bumi, sebagai petunjuk bagi orang yang
beriman, penyembuh, sedangkan orang-orang yang tidak beriman telinga mereka
tuli dan mata mereka buta.
Dan seorang yang
dapat dipercaya, yaitu Ustadz Muhammad Ali Su’udy -beliau adalah kepala tim
ahli di Departemen Keadilan di Mesir, dan salah satu murid terdekat Syaikh
Muhammad Baduh- berhasil menemukan “Mushaf Iran” yang masih dalam bentuk
manuskrip yang dimiliki oleh orientalis Brin, kemudian beliau menukil surat
tersebut dengan kamera. Di atas teks Arabnya terdapat terjemahan dengan bahasa
Iran (Persia), persis seperti yang dimuat oleh At Thobarsy dalam bukunya: “Fashlul
Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”
Surat ini juga dapat
ditemukan dalam buku mereka yang berjudul “Dabistan Mazahib” dengan
bahasa Iran (Persia), hasil karya Muhsin Fani Al Kasymiri, buku ini dicetak di
Iran dalam beberapa edisi. Surat palsu ini juga dinukilkan oleh seorang pakar
sekaligus orientalis yang bernama Noldekh dalam bukunya “Tarikh Al Mashohif”
(Sejarah Mushaf-mushaf) jilid: 2 hal: 102, dan yang dipublikasikan oleh Harian
Asia-Prancis pada tahun 1842 M, pada hal: 431-439.
Sebagaimana tokoh
kota Najef ini berdalil dengan surat Al Wilayah atas terjadinya perubahan pada
Al Quran, ia juga berdalil dengan riwayat yang termaktub pada hal: 289, dari
kitab “Al Kafi” (Judul lengkap Kitab ini ialah: Al Jami’ Al Kafi,
karya Abu Ja’far Ya’qub Al Kulaini Ar Razi) edisi tahun 1287 H, Iran -kitab ini
menurut mereka sama kedudukannya dengan “Shohih Bukhori” menurut kaum
Muslimin. Pada halaman tersebut dalam kitab Al Kafi termaktub
sebagaimana berikut:
“Beberapa ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin Ziyad, dari
Muhammad bin Sulaiman, dari sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan ‘alaihis salaam
-maksudnya Abu Hasan kedua, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha, wafat pada thn 206- ia
menuturkan: “Dan aku berkata kepadanya: Semoga aku menjadi penebusmu, kita
mendengar ayat-ayat Al Quran yang tidak ada pada Al Quran kita sebagaimana yang
kita dengar, dan kita tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari
anda, maka apakah kami berdosa? Maka beliau menjawab: Tidak, bacalah
sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang
orang yang mengajari kalian.”
Tidak diragukan
bahwa ucapan ini merupakan hasil rekayasa kaum Syi’ah atas nama imam mereka Ali
Bin Musa Ar Ridha. Walau demikian ucapan ini merupakan fatwa bahwa penganut
Syi’ah tidak berdosa bila membaca Al Quran sebagaimana yang dipelajari oleh
masyarakat umum dari Mushaf Utsmani, kemudian orang-orang tertentu dari
kalangan Syi’ah akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal yang
menyelisihi Mushaf tersebut, berupa hal-hal yang mereka yakini ada atau pernah
ada pada mushaf-mushaf para imam mereka dari kalangan Ahlul Bait (keturunan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam ).
Teks Lengkap Surat Al Wilayah
Pada buku aslinya, di halaman ini dimuat
(Surat Al Wilayah) yang berhasil diperoleh dengan kamera dari salah satu Mushaf
Iran, dan pada setiap kata terdapat terjemahannya dalam bahasa Persia:
يأيها الذين آمنوا آمنوا بالنبي وبالولي
الذين بعثناهما يهديانكم إلى صراط
مستقيم # نبي وولي بعضهما من بعض وأنا العليم الخبير # إن الذين
يوفون بعهد الله
لهم جنات النعيم # والذين إذا تليت عليهم آياتنا كانوا بآياتنا
مكذبين # إن لهم في
جهنم مقاما عظيما إذا نودي لهم يوم القيامة أين الظالمون
المكذبون للمرسلين # ما
خالفهم المرسلين إلا بالحق وما كان الله ليظهرهم إلى أجل قريب
وسبح بحمد ربك وعلي
من الشاهدين#
“Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya
adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal.
Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan
surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan
kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya
mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru
kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para
rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul?? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan
menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji
Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”
Al Quran yang mereka
yakini, dan yang mereka rahasiakan di kalangan mereka, dan tidak
dipublikasikan, dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, seandainya
seluruh ulama-ulama besar Syi’ah tidak meyakini bahwa Al Quran telah di
selewengkan, mustahil mereka menyifati penulis buku yang memuat dua ribu hadits
yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai sifat yang terpuji,
misalnya ucapan mereka: semoga Allah menyucikan ruhnya, atau dia adalah imam
para ahli hadits, Seandainya mereka meyakini selain ini, niscaya mereka akan ramai-ramai
membantahnya, atau menentangnya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau
orang kafir karena masih adakah keislaman bagi orang yang mengatakan bahwa Al
Quran telah mengalami penyelewengan?! Upaya perbandingan antara Al Quran
tersebut dengan Al Quran yang telah diketahui oleh setiap orang dan menyebar
luas dan yang termaktub pada Al Mushaf Al Utsmani, adalah alasan yang
mendorong Husain bin Muhammad Taqi An Nury At Thobarsy untuk menuliskan bukunya
yang berjudul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”
[4]
Apapun perihalnya,
bukan hanya An Nury At Thobarsy pemuka para imam ahli hadits dan rijal
(biografi ulama’) seorang yang menyatakan bahwa Al Quran telah diselewengkan,
didapatkan ada imam-imam (Syi’ah) terkemuka lainnya yang sekelas dengannya
menyatakan hal yang sama, misalnya Al Kulainy, penulis buku Al Kafi dan Ar
Raudhah, Al Kummi penulis buku tafsir yang disebut oleh An Najasyi dalam
buku Rijalun Najasy pada hal: 183: “Ia memiliki kredibilitas tinggi
(tsiqah) dalam hal hadits dan kuat hafalannya, dapat dipercaya dan benar
mazhabnya”, dan juga Syaikh Mufid yang dinyatakan oleh An Najasyi dalam
Rijalun Najasy hal: 284: “Keahliannya dalam hal ilmu fikih, riwayat,
kredibilitas (tsiqah) dan ilmu secara umum telah diketahui oleh setiap orang”,
dan ia juga dipuji oleh sayyid Muhsin Al Amin dalam bukunya “A’ayanus
Syi’ah” jilid 1/237, dan juga Al Kasyy, Al Ardubily, dan juga Al Majlisy.
Seandainya seluruh
tokoh terkemuka kaum Syi’ah tidak meyakini terjadinya penyelewengan pada Al
Quran, mustahil mereka memuji orang yang telah menuliskan sebuah buku yang
menyebutkan dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan
berbagai pujian ini, misalnya mereka menyebutnya dengan: Semoga Allah
menyucikan jiwanya, atau dia adalah imam para ahli hadits. Seandainya mereka
meyakini kebalikannya, niscaya mereka membantahnya, atau mencelanya, atau
memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau mengafirkannya… karena apakah yang masih
tersisa setelah seseorang meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan?
Walaupun kaum Syi’ah
berusaha untuk mengesankan bahwa mereka berlepas diri dari buku An Nuri At
Thobarsy dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, akan tetapi buku
tersebut memuat beratus-ratus nukilan dari ulama’ mereka yang terdapat pada
buku-buku mereka yang terpercaya. Suatu hal yang membuktikan dengan pasti bahwa
mereka meyakini dan beriman dengan adanya penyelewengan. Hanya saja mereka
tidak menginginkan terjadinya kontroversi seputar keyakinan mereka tentang Al
Quran.
Dengan demikian, ada
dua Al Quran: yang pertama Al Quran yang telah menyebar luas dan diketahui oleh
setiap orang, dan yang kedua: Al Quran khusus yang tersembunyi, yang di antara
isinya ialah surat Al Wilayah. Dan dalam hal ini mereka mengamalkan pesan yang
mereka rekayasa atas nama salah seorang imam mereka, yaitu Ali bin Musa Ar
Ridha: “Bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat
nanti akan datang orang yang mengajari kalian!!”
Di antara ayat yang menurut kaum Syi’ah
telah dihapuskan dari Al Quran ialah ayat:
وجعلنا
عليا صهرك
“Dan
Kami jadikan Ali sebagai menantumu.”
Mereka beranggapan
bahwa ayat ini telah dihapuskan dari surat أَلَمْ نَشْرَحْ
Mereka tidak merasa malu dengan anggapan ini! Padahal mereka mengetahui bahwa
surat أَلَمْ نَشْرَحْ adalah surat Makkiyyah (Surat Makkiyyah
ialah surat yang diturunkan semasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam masih berada di kota Makkah dan sebelum
berhijrah ke kota Madinah) sedangkan yang menjadi menantu Beliau Shallallahu
‘alaihi wa Salam kala itu ialah Al
‘Ash bin Al Rabi’ Al Umawi, ia pernah dipuji oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam dari atas mimbar
masjid Nabawi As Syarif, tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu berencana
menikahi anak wanita Abu Jahl sebagai madu bagi istrinya Fatimah radhiallahu
‘anha. Oleh sebab itulah Fatimah mengadukan suaminya Ali bin Abi Tholib
kepada ayahnya yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam . (Pujian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kepada menantunya Al ‘Ash bin Al Rabi’ Al
Umawi ini diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim. -pent)
Dan bila sahabat Ali
adalah menantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam karena menikahi salah seorang putri Beliau Shallallahu
‘alaihi wa Salam, maka Allah ta’ala telah menjadikan sahabat Utsman bin
Affan juga sebagai menantu Beliau karena telah menikahi dua putrinya, dan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam bersabda kepadanya
ketika istri keduanya (Ummu Kultsum) meninggal dunia:
لو
كانت لنا ثالثة لزوجناكها
“Seandainya aku memiliki anak wanita
ketiga, niscaya akan aku nikahkan engkau dengannya.”
(Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya Usudul Ghobah 1/749
& 1458 -pent).
Tokoh mereka yang
bernama Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Tholib At Thobarsy -salah seorang
syaikh Ibnu Syahruasyub wafat thn 588 H dalam bukunya: “Al Ihtijaj ‘Ala Ahli Al
Lijaaj” menyebutkan bahwa sahabat Ali pada suatu hari berkata kepada salah
seorang zindiq (kaum sesat) -ia tidak menyebutkan namanya-: “Adapun sikapmu
yang tidak peduli dengan firman Allah ta’ala:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوْا فِي اليَتَامَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ
مِنَ النِّسَاءِ
“Dan bila kamu tidak akan dapat
berlaku adil terhadap wanita yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita lain yang kamu suka.” (QS. An Nisa: 3)
Tidak ada kaitan
antara berbuat adil kepada anak-anak yatim dengan menikahi wanita, dan tidaklah
setiap wanita itu yatim. Ayat yang sebenarnya ialah apa yang telah aku
kemukakan kepadamu, bahwa kaum munafik[5]
telah menghapuskan berbagai perintah dan kisah dari Al Quran yang terletak
antara firman Allah tentang anak-anak yatim hingga firman Allah tentang
menikahi wanita, sebanyak lebih dari sepertiga Al Quran!?
Tidak diragukan
bahwa kisah ini bagian dari kedustaan mereka atas nama sahabat Ali radhiallahu
‘anhu, dengan bukti beliau sendiri tidak pernah mengumumkan sepanjang masa
kepemimpinannya atas kaum muslimin sepertiga Al Quran yang telah dihapuskan
dari tempat ini, dan tidak juga memerintahkan kaum muslimin untuk menuliskannya
kembali, atau mempelajari dan mengamalkan kandungannya.
Dan tatkala
pertama kali buku “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab”
terbit dan beredar di tengah-tengah kaum Syi’ah dan lainnya di Iran, Nejef dan
negri lainnya kurang lebih delapan puluh tahun silam -sedangkan buku ini penuh
dengan puluhan bahkan ratusan kisah-kisah palsu atas nama Allah dan hamba-hamba
pilihan-Nya semacam ini- kaum misionaris; musuh-musuh Islam bergembira dan
segera menerjemahkannya ke berbagai bahasa mereka. Fenomena ini disebutkan oleh
Muhammad Mahdi Al Ashfahani Al Kazhimi pada jilid 2 hal: 90 dari bukunya yang
berjudul: “Ahsanul Wadi’ah”, yang merupakan penyempurna buku: “Raudhatul
Jinan.”
Ada dua teks yang
jelas dalam buku yang sederajat dengan Shohih Bukhori menurut mereka,
yaitu buku “Al Kafi” karya Al Kulaini, teks pertama pada hal: 54, edisi
thn 1278 H di Iran, yaitu, “Dari Jabir Al Ju’fi, ia menuturkan: Aku pernah
mendengar Abu Ja’far ‘alaihissalaam berkata: Tidaklah ada seseorang yang
mengaku telah menghafal Al Quran semuanya sebagaimana tatkala diturunkan
melainkan ia adalah seorang pendusta, dan tidaklah ada orang yang berhasil
mengumpulkan dan menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika diturunkan selain
Ali bin Abi Tholib dan para imam setelahnya.” Setiap orang Syi’ah yang
membaca kitab “Al Kafi” ini -yang kedudukannya bagaikan Shohih
Bukhori menurut Ahlusunnah- pasti mengimani teks ini.
Adapun kita Ahlusunnah,
maka kita berkeyakinan: Sesungguhnya kaum Syi’ah telah berdusta atas nama Al
Baqir Abu Ja’far rahimahullah dengan bukti sahabat Ali radhiallahu
‘anhu sendiri selama masa khilafahnya -padahal beliau berada di kota
Kuffah- tidak pernah beramal selain dengan Mushaf yang telah dikumpulkan dan
disebar luaskan serta ditetapkan untuk diamalkan di seluruh penjuru -sebagai
karunia dari Allah ta’ala- oleh khalifah Utsman radhiallahu ‘anhu,
hingga zaman kita dan hingga hari kiamat. Seandainya sahabat Ali radhiallahu
‘anhu memiliki mushaf lain, -sedangkan ia adalah seorang khalifah dan
penguasa, di seluruh wilayah kekuasaannya tidak ada yang berani menentangnya-
niscaya ia akan mengamalkannya, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebar
luaskan dan mengamalkannya. Dan seandainya ia memiliki mushaf lain, sedangkan
ia menyembunyikannya dari kaum muslimin, maka ia adalah seorang pengkhianat
terhadap Allah, Rasul-Nya dan agama islam!!
Sedangkan Jabir
Al Ju’fi yang mengaku mendengar ucapan keji tersebut dari Imam Abi Ja’far
Muhammad Al Baqir, walaupun dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya)
menurut mereka, akan tetapi sebenarnya ia telah dikenal oleh imam kaum muslimin
sebagai pendusta. Abu Yahya Al Himmani berkata: Aku mendengar Abu Hanifah
berkata: Aku tidak pernah melihat dari orang-orang yang pernah aku temui
seorang pun yang lebih utama dibanding ‘Atha’, dan tidak seorang pun yang lebih
pendusta dibanding Jabir Al Ju’fi. (Silahkan baca makalah saya yang dimuat di
Majalah Al Azhar hal: 307, edisi thn 1372 H).
Dan teks yang
lebih nyata dustanya dibanding teks pertama dari Abu Ja’far yang terdapat pada
buku “Al Kafi” ini, ialah teks dari anak beliau Ja’far As Shodiq rahimahullah
ta’ala dan yang juga dimuat dalam Shohih Bukhori mereka “Al Kafi”
hal: 57, edisi 1278 H Iran:
“Dari Abi Bashir, ia menuturkan: Aku pernah masuk menemui Abu
Abdillah (Ja’far As Shodiq)……hingga Abu Abdillah berkata: “Dan sesungguhnya
kami memiliki Mushaf Fatimah ‘alaihas salaam …ia menuturkan: Aku pun bertanya:
Apa itu Mushaf Fatimah? Ia menjawab: Mushaf seperti Al Quran kalian itu tiga
kali lipat (tebalnya), dan sungguh demi Allah tidaklah ada padanya satu huruf
pun dari Al Quran kalian.”
Teks-teks
orang-orang Syi’ah yang dipalsukan atas nama imam-imam Ahlul Bait ada sejak
zaman dahulu, karena telah dibukukan oleh Muhammad bin Ya’qub Al Kulaini Ar
Razi dalam bukunya “Al Kafi” lebih dari seribu tahun yang lalu, dan
teks-teks tersebut ada jauh-jauh hari sebelumnya; dikarenakan ia menukilkan
teks tersebut dari pendahulunya, para tokoh pendusta para arsitek pendiri paham
Syi’ah.
Semasa Spanyol
berada di bawah kekuasaan Bangsa Arab dan Islam, Imam Abu Muhammad ibnu Hazm
beradu argumentasi dengan para pendeta Nasrani melalui teks-teks kitab mereka,
dan beliau membuktikan kepada mereka bahwa kitab mereka telah mengalami
penyelewengan dan bahkan kitab aslinya telah hilang. Maka para pendeta tersebut
balik berdalil atas beliau bahwa kaum Syi’ah telah menetapkan bahwa Al Quran
juga mengalami penyelewengan. Mendengar jawaban yang demikian, Ibnu Hazm
menjawab mereka bahwa anggapan kaum Syi’ah tidak dapat dijadikan sebagai bukti
atas Al Quran tidak juga atas kaum muslimin, karena kaum Syi’ah tidak termasuk
kaum muslimin. Silahkan baca “Al Fishol Fi Al Milal wa An Nihal” karya
Ibnu Hazm, jilid 2 hal: 78 dan juz 4 hal: 182, edisi pertama Al Kairo.
Satu fakta
berbahaya yang kami merasa perlu untuk mengingatkan pemerintahan-pemerintahan
Islam: bahwa prinsip paham Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariyyah yang
dikenal juga dengan Al Ja’fariyyah berdiri di atas keyakinan bahwa seluruh
pemerintah islam sejak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam hingga saat ini -terkecuali tahun-tahun
kepemimpinan Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu- merupakan
pemerintahan yang tidak syar’i (tidak sah), dan tidak boleh bagi seseorang yang
berpaham Syi’ah untuk memiliki rasa loyal dan ikhlas dalam hatinya kepada
mereka. Mereka berkewajiban untuk selalu memusuhi mereka dan mewaspadai mereka!
Hal ini karena mereka beranggapan bahwa kekuasaan pemerintahan tersebut, yang
telah lalu, dan yang ada sekarang serta yang akan datang merupakan kekuasaan
hasil rampasan. Penguasa yang sah dalam paham Syi’ah dan ideologi mereka hanya
ada pada para imam dua belas semata, baik mereka langsung yang menjalankan
kepemimpinan atau tidak. Adapun selain mereka yang memegang kepemimpinan,
semenjak Abu Bakar, dan Umar hingga para kholifah setelahnya hingga saat ini,
apapun jasanya untuk agama Islam, dan apapun perjuangannya dalam menebarkan
agama Islam dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dan memperluas negeri
Islam, maka sebenarnya mereka itu adalah para penentang dan perampas kekuasaan
hingga hari Kiamat!
******
Celaan Syi’ah Kepada Sahabat Nabi
Celaan Syi’ah Kepada Sahabat Nabi
Al Jibtu & At Thoghut: Abu Bakar
& Umar
Oleh karena
itulah kaum Syi’ah senantiasa mengutuk sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu
‘anhum dan setiap orang yang menjadi penguasa dalam sejarah Islam selain
sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Sungguh mereka telah
berdusta atas nama Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa, bahwa
beliau telah membenarkan para pengikutnya menjuluki Abu Bakar dan Umar dengan
sebutan “Al Jibtu & At Thoghut.” (Al Jibtu dan At Thoghut ialah
segala sesuatu yang disembah atau menjadikan manusia menyeleweng dari agama
Allah. -pent).
Disebutkan dalam
kitab Al Jarhu wa At Ta’dil (Al Jarhu wa At Ta’dil ialah salah
satu disiplin ilmu hadits yang membahas tentang kredibilitas dan biografi para
perawi hadits dan tarikh. -pent) terbesar dan terlengkap yang mereka miliki,
yaitu buku “Tanqih Al Maqal Fi Ahwal Ar Rijaal” karya pemimpin sekte
Ja’fariyyah Ayatullah Al Mamaqani, pada juz 1 hal: 207, edisi Pustaka Al
Murtadhowiyyah, Najef tahun 1352 H ada suatu kisah yang dinukilkan oleh Syaikh
besar Muhammad Idris Al Hilli pada akhir kitab “As Sara’ir” dari kitab “Masa’il
Ar Rijal Wa Mukatabaatihim” kepada Maulana Abil Hasan Ali bin Muhammad bin
Ali bin Musa ‘alaihissalaam dari sebagian pertanyaan Muhammad bin Ali
bin ‘Isa, ia berkata: Aku menulis surat kepadanya menanyakan perihal seseorang
yang memusuhi keluarga Nabi, apakah ketika mengujinya diperlukan kepada hal-hal
lain selain sikapnya yang lebih mendahulukan Al Jibtu & At Thoghut? Maksudnya
ia mendahulukan dua orang pemimpin dan sekaligus dua sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam dan dua pembantu
kepercayaan beliau, yaitu Abu Bakar dan Umar radhaiallahu ‘anhuma.
Kemudian jawabannya datang sebagai berikut: “Barang siapa yang meyakini hal
ini, maka ia adalah seorang yang memusuhi keluarga Nabi.” Maksudnya: cukup
bagi seseorang untuk disebut sebagai orang yang memusuhi keluarga Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam , bila ia mendahulukan Abu Bakar dan Umar (dibanding
sahabat Ali bin Abi Tholib) dan meyakini keabsahan kepemimpinan mereka berdua.
Kata-kata “Al
Jibtu” dan “At Thoghut” senantiasa digunakan oleh kaum Syi’ah dalam bacaan doa
mereka yang disebut dengan “Doa Dua Berhala Quraisy”. Yang mereka
maksudkan dari dua berhala dan dari kata “Al Jibtu” dan “At Thoghut”
ialah Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma. Doa ini disebutkan dalam
kitab mereka yang berjudul “Mafatihul Jinaan” hal: 114, kedudukan kitab
ini bagaikan kitab “Dalaa’ilul Khairaat” yang telah menyebar luas di
tengah-tengah berbagai negeri Islam. Bunyi doa ini sebagai berikut:
“Ya Allah, limpahkanlah sholawat kepada Muhammad dan keluarga
Muhammad, dan kutuklah dua berhala, dua sesembahan, dua tukang sihir Quraisy
dan kedua anak wanita mereka berdua……”!![6]
Yang mereka maksud dengan kedua anak wanita mereka ialah Ummul Mukminin ‘Aisyah
dan Ummul Mukminin Hafshah semoga Allah meridhai mereka dan seluruh sahabat.
Hari Pembunuhan Al Faruq Sebagai Hari
‘Ied Terbesar
Kebencian mereka
kepada tokoh yang berhasil memadamkan api kaum majusi di Iran dan yang berhasil
mengislamkan nenek moyang penduduknya, yaitu Sayyidina Umar bin Al Khatthab radhiallahu
‘anhu tiada batas, sampai-sampai mereka menamakan pembunuhnya, yaitu Abu
Lulu’ah Al Majusi -semoga kutukan Allah menimpanya- dengan sebutan: “Baba
Syuja’uddin” (Ayah Sang Pemberani). Ali bin Muzhohir -salah seorang tokoh
mereka- meriwayatkan dari Ahmad bin Ishaq Al Kummi Al Ahwash, Syaikh kaum
Syi’ah dan pemuka mereka, bahwa hari pembunuhan Umar bin Al Khatthab adalah
hari ‘ied terbesar, hari kebesaran, hari pengagungan, hari kesucian terbesar,
hari keberkahan, dan hari hiburan.
Dimulai dari
sahabat Abu Bakar, Umar -semoga Allah meridhoi keduanya- Sholahuddin Al Ayyuby rahimahullah
dan seluruh tokoh yang telah berhasil menundukkan berbagai dinasti dunia, dan
memasukkannya ke pangkuan agama Allah, dan yang telah memerintahnya dengan nama
Islam hingga hari kita ini -seluruh mereka itu menurut ideologi Syi’ah- para
penguasa perampas, lalim dan termasuk penghuni neraka; karena kepemimpinan
mereka tidak sesuai dengan syariat, sehingga mereka tidak berhak menerima
loyal, kepatuhan, dan dukungan dalam kebaikan dari kaum Syi’ah, kecuali sebatas
tuntutan penerapan ideologi At Taqiyyah dan sebatas upaya menarik simpati
mereka dan menyembunyikan kebencian kepada mereka.
Keyakinan Nyeleneh Syi’ah Tentang Imam Mahdi
Di antara prinsip dasar dalam ideologi
mereka ialah: Bila suatu saat nanti Imam Mahdi telah bangkit, yaitu Imam mereka
yang ke dua belas, yang menurut mereka saat ini sudah hidup dan sedang menanti
saat kebangkitannya/revolusinya agar mereka ikut andil bersamanya menjalankan
revolusi tersebut. Bila mereka menyebutkannya dalam buku-buku mereka, mereka
senantiasa menuliskan di sebelah nama, atau julukan atau panggilannya dua huruf
(عج) kependekan dari:
عجَّل
الله فرجه
“Semoga Allah menyegerakan kebangkitannya.”
(Tatkala Imam
Mahdi ini telah bangkit dari tidurnya yang amat panjang yang telah melebihi
seribu seratus tahun) Allah akan menghidupkan kembali seluruh penguasa umat
Islam yang telah lalu bersama-sama para penguasa yang ada pada masa
kebangkitannya terutama yang mereka sebut dengan Al Jibtu & At Thoghut; Abu
Bakar dan Umar dan para pemimpin setelah keduanya!! Kemudian Imam Mahdi ini
akan menghukumi mereka atas perbuatan mereka merampas kekuasaan dari dirinya
dan dari kesebelas nenek moyangnya. Karena -menurut mereka- kekuasaan itu
sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah hak mereka
semata sebagai karunia Allah kepada mereka, dan tidak ada hak sedikit pun bagi
selain mereka.
Dan setelah
mengadili para thoghut tersebut, ia membalas mereka semua, sehingga ia
memerintahkan untuk membunuh dan memusnahkan setiap lima ratus orang secara
bersama-sama, hingga akhirnya ia genap membunuh sebanyak 3000 penguasa Islam
sepanjang sejarah. Hukuman ini terjadi di dunia sebelum kebangkitan terakhir
mereka, kelak di hari kiamat. Kemudian setelah mereka semua mati serta binasa,
terjadilah kebangkitan terbesar, kemudian manusia masuk surga atau neraka.
Surga bagi keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan setiap orang yang berkeyakinan demikian
ini tentang mereka dan neraka bagi setiap orang yang tidak termasuk kelompok
Syi’ah.
Kaum Syi’ah
menamakan penghidupan kembali, pengadilan dan pembalasan ini dengan sebutan “Ar
Raj’ah”, dan hal ini merupakan bagian dari ideologi kaum Syi’ah yang tidak
seorang Syi’ah pun yang meragukannya. Saya melihat sebagian orang yang berhati
baik beranggapan bahwa ideologi semacam ini telah ditinggalkan oleh kaum Syi’ah
akhir-akhir ini. Sudah barang tentu anggapan ini adalah salah besar dan
menyelisihi realita, karena kaum Syi’ah sejak dinasti As Shafawiyyah hingga
sekarang lebih ekstrem dalam meyakini ideologi-ideologi ini dibanding generasi
sebelumnya. Mereka saat ini terbagi menjadi dua kelompok: orang-orang yang
meyakini ideologi-ideologi tersebut dengan utuh dan orang-orang yang
berpendidikan modern sehingga mereka menyeleweng dari berbagai khurofat ini
kepada paham komunis. Penganut paham komunis di Irak dan Partai Tawaddah
(Partai Kasih Sayang) di Iran, anggotanya ialah kaum Syi’ah yang telah
menyadari kesalahan berbagai dongeng palsu mereka, sehingga mereka menganut
paham komunis setelah sebelumnya menganut ajaran Syi’ah!!! Di masyarakat mereka
tidak ada kelompok atau partai yang moderat, kecuali orang-orang yang
menerapkan ajaran taqiyyah guna mencapai tujuan kelompok atau diplomasi atau
partai atau pribadi, padahal ia menyembunyikan selain dari yang ia nampakkan.
******
Ideologi Ar Raj’ah dan Pembantaian 3000 Kaum Quraisy
Ideologi Ar Raj’ah dan Pembantaian 3000 Kaum Quraisy
Agar Anda memahami
tentang ideologi Ar Raj’ah langsung dari buku mereka yang tepercaya,
saya akan sebutkan untuk Anda ucapan Syaikh sekte Syi’ah Abu Abdillah Muhammad
bin Muhammad bin An Nu’man, yang lebih dikenal di kalangan mereka dengan
sebutan “Syaikh Al Mufid” dalam bukunya yang berjudul: “Al Irsyad Fi Tarikh
Hujajillah ‘Alal ‘Ibaad”. Buku ini dicetak di Iran dengan cetakan kuno,
tidak disebutkan tahun terbitnya, dan dicetak dengan tulisan tangan Muhammad
bin Ali Muhammad Hasan (Demikian disebutkan dalam buku aslinya, mungkin
benarnya ialah: Muhammad Ali bin Muhammad Hasan) Al Kalbabakati:
Al Fadhl bin Syazan
meriwayatkan dari Muhammad bin Ali Al Kufi dari Wahb bin Hafsh dari Abu Bashir,
ia menuturkan: Abu Ja’far (yaitu Ja’far As Shodiq) berkata: Akan diseru dengan
nama Al Qaim (maksudnya: Imam mereka ke-12 yang mereka yakini telah lahir lebih
dari sebelas abad silam, dan ia belum mati, karena ia akan bangkit dan
mengadili), akan diseru dengan namanya pada malam 23 dan ia akan bangkit pada
hari ‘Asyura (tgl 10 Muharram), dan seakan-akan sekarang ini aku dapat melihat
ia pada hari kesepuluh bulan Muharram sedang berdiri antara Hajar Aswad dan
Maqam Ibrahim, Malaikat Jibril berada di sebelah kanannya sambil menyeru:
Berbaiatlah untuk Allah. Maka kaum Syi’ah berbondong-bondong dari segala
penjuru dunia yang telah dipendekkan untuk mereka hingga akhirnya mereka semua
dapat membai’atnya. Disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa ia akan berjalan
dari Mekkah hingga tiba di Kuffah dan ia singgah di kota Nejef kita ini,
kemudian ia dari kota tersebut mengutus pasukannya ke berbagai penjuru dunia.
Al Hajjal juga
meriwayatkan dari Tsa’labah dari Abu Bakar Al Hadhrami dari Abu Ja’far ‘alaihi
salam (yaitu Muhammad Al Baqir) ia berkata: Seakan-akan aku menyaksikan Al
Qa’im ‘alaihi salam sedang berada di Najef kota Kuffah, ia datang dari
kota Mekkah dengan diiringi oleh 5000 malaikat, Malaikat Jibril di sebelah
kanannya, Malaikat Mikail di sebelah kirinya, sedangkan kaum mukminin di
depannya, dan beliau mengutus pasukannya ke berbagai negeri.
Abdul Karim Al
Ju’fi juga menuturkan, aku pernah berkata kepada Abu Abdillah (yaitu Ja’far As
Shodiq) berapa lama Al Qaim ‘alaihi salam akan menguasai dunia? Beliau
menjawab: Tujuh tahun, hari-harinya akan menjadi panjang, sampai-sampai satu
tahun kepemimpinannya sama halnya dengan sepuluh tahun biasa, sehingga lama
kepemimpinanya sama dengan tujuh puluh tahun yang biasa kalian alami. Abu
Bashir bertanya kepadanya: Semoga aku menjadi tebusanmu, bagaimana cara Allah
memanjangkan tahun? Ia menjawab: Allah memerintahkan al falak agar berhenti dan
tidak banyak bergerak, dengan cara inilah hari dan tahun menjadi panjang. Bila
masa kebangkitannya telah tiba, umat manusia selama bulan Jumadil Akhir dan
sepuluh hari dari bulan Rajab akan ditimpa hujan lebat yang tidak pernah
dialami oleh manusia, kemudian Allah menumbuhkan kembali daging dan badan kaum
mukminin dalam kuburan mereka, seakan-akan sekarang ini, aku sedang menyaksikan
mereka membersihkan tanah dari rambut-rambut mereka.
Abdullah bin Al
Mughirah juga meriwayatkan dari Abu Abdillah (yaitu Ja’far As Shodiq) ‘alaihissalaam
ia menuturkan: Bila Al Qaim dari keturunan (nabi) Muhammad telah bangkit, ia
akan membangkitkan 500 orang dari orang-orang Quraisy, kemudian ia akan
memenggal leher mereka, kemudian ia akan membangkitkan 500 lainnya, kemudian
memenggal leher mereka juga, kemudian membangkitkan 500 lainnya, hingga ia
melakukan hal itu sebanyak 6 kali. Aku pun bertanya: apakah jumlah mereka
mencapai sebanyak ini? (Ia merasa keheranan akan hal itu, karena Khulafa’ Ar
Rasyidin, Dinasti Umawiyyah, Abbasiyah dan seluruh penguasa umat Islam hingga
zaman Ja’far As Shadiq tidak sampai sebanyak itu, juga tidak sampai satu
persennya) Ja’far As Shodiq menjawab: Ya, dari mereka dan juga dari
pengikutnya. Dan pada riwayat lain: Sesungguhnya kekuasaan kita adalah
kekuasaan terakhir, tidaklah ada satu marga pun dari mereka melainkan pernah
menjadi penguasa, agar mereka tidak berkata bila telah menyaksikan perilaku
kita: Bila kami berkuasa niscaya kami akan berlaku seperti perilaku mereka.
******
Bersama Datangnya Al Mahdi, Mushaf Yang Asli Akan
Kembali
Jabir Al Ju’fi
meriwayatkan dari Abu Abdillah, ia berkata: Bila telah bangkit Al Qaim (sang
penegak) dari keluarga Muhammad, ia akan mendirikan pertendaan guna mengajarkan
Al Quran yang asli sebagaimana kala diturunkan[7]
sehingga Mushaf tersebut akan terasa sulit bagi orang yang telah menghafal Al
Quran (yaitu menghafal Al Qur’an yang telah disatukan oleh Utsman bin Affan radhiallahu
‘anhu, sebagaimana yang ada pada zaman Ja’far As Shodiq), karena mushaf
tersebut berbeda susunannya.
Abdullah bin
Ajlan meriwayatkan dari Abu Abdillah ‘alaihi salam, ia berkata: Bila Al
Qaim (sang penegak) dari keluarga Muhammad telah bangkit, ia akan menghakimi
manusia dengan hukum nabi Daud?!
Dan Al Mufaddhol
bin Umar meriwayatkan dari Abu Abdillah, ia berkata: Akan keluar bersama Al Qaim (sang penegak)
‘alaihi salam dari luar kota
Kufah 27 laki-laki dari kaumnya Nabi Musa?! Dan tujuh orang dari Ahlul Kahfi,
nabi Yusya’ bin Nun, nabi Sulaiman, Abu Dujanah Al Anshary, Al Miqdad, dan
Malik Al Asytar, dan mereka akan berada di hadapannya sebagai para pembela dan
para hakim!!
Teks-teks ini
dinukilkan secara utuh dan dengan penuh kehati-hatian dari kitab salah seorang
ulama’ terbesar mereka, yaitu Syeikhul Mufid, dan yang diriwayatkan dengan
rentetan sanadnya yang tidak diragukan lagi telah dipalsukan atas nama Ahlul
Bait, sehingga para pendusta tersebut yang telah menjadi pengikut mereka
merupakan musibah terbesar yang menimpa ahlul Bait. Dan buku Syeikhul Mufid
telah dicetak di Iran,
dan salah satu edisi kunonya tersimpan dan ada bersama kami.
******
Keyakinan Nyeleneh Syi’ah Tentang Sahabat Abu Bakar dan
Umar
Abu Bakar & Umar Disalib Di Sebatang
Pohon
Disebabkan
ideologi “Ar Raj’ah” dan pengadilan para penguasa kaum Muslimin merupakan
bagian dari ideologi dasar kaum Syi’ah, tidak mengherankan bila ulama mereka,
yaitu Sayyid Al Murtadha, penulis buku “Amaali Al Murtadha”, yang sekaligus
saudara kandung As Syarif Ar Radhi sang penyair dan sekutunya dalam pemalsuan
tambahan kitab “Nahjul Balaghah”, yang mungkin saja mencapai sepertiga
kitab aslinya, yaitu setiap bagian yang mengandung celaan dan kritikan kepada
para sahabat. Sayyid Al Murtadha ini berkata dalam bukunya “Al Masail An
Nushairiyyah” bahwasanya Abu Bakar dan Umar akan disalib di sebatang pohon
pada hari tersebut, yaitu pada masa Al Mahdi (Yaitu imam mereka kedua belas,
yang mereka sebut sebagai Al Qaim/penegak dari keluarga Muhammad), dan pohon
tersebut sebelum penyaliban dalam keadaan hijau nan segar, dan akan menjadi
kering seusai penyaliban!!?
Sepanjang masa,
seluruh tokoh dan ulama sekte Syi’ah bersikap hina semacam ini terhadap kedua
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam sekaligus dua orang kepercayaan beliau Abu
Bakar dan Umar -semoga Allah senantiasa meridhoi keduanya, menerangi kuburnya,
dan menyejukkan tempat persemayamannya- dan dari seluruh tokoh, para khalifah,
penguasa, pemimpin, pejuang dan penjaga agama Islam, semoga Allah senantiasa
meridhai mereka, dan melimpahkan balasan yang terbaik kepada mereka atas
jasanya kepada agama Islam dan umatnya.
Dan saya pernah
mendengar langsung dari da’i mereka -yang kala itu menjadi pengurus “Lembaga
Pendekatan” dan sebagai donaturnya- mengaku kepada sebagian orang yang tidak
berkesempatan untuk mengkaji permasalahan ini bahwa berbagai ideologi ini hanya
ada pada masa silam, sedangkan sekarang ini semuanya telah berubah. Pengakuan
ini nyata-nyata dusta dan merupakan penipuan, karena buku-buku yang diajarkan
di berbagai lembaga pendidikan mereka mengajarkan ini semua, dan menganggapnya
sebagai prinsip-prinsip sekte dan pokok-pokok utama ajarannya. Buku-buku yang
dipublikasikan oleh ulama’ Najef, Iran, dan Jabal Amil pada zaman ini lebih
jelek dibanding buku-buku mereka pada zaman dahulu, dan lebih keras dalam
meruntuhkan berbagai upaya pendekatan dan toleransi.
******
Da’i Pendekatan “Al Khalisi” Mengingkari Keikutsertaan Abu Bakar & Umar Dalam Bai’at Ridwan
Da’i Pendekatan “Al Khalisi” Mengingkari Keikutsertaan Abu Bakar & Umar Dalam Bai’at Ridwan
Sekedar contoh
nyata akan hal di atas (kedustaan pernyataan mereka bahwa berbagai ideologi ini
hanya ada pada masa silam, sedangkan sekarang ini semuanya telah berubah –ed
muslim), kita sebutkan salah seorang dari mereka yang senantiasa mendengungkan
di setiap pagi dan petang bahwa ia adalah salah satu pemrakarsa persatuan dan
pendekatan, yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad Mahdi Al Khalisi, tokoh yang
memiliki banyak kolega di Mesir dan lainnya dari para penyeru “pendekatan” dan
para tokoh yang siang dan malam berupaya untuk menyosialisasikannya di antara Ahlusunnah.
Tokoh penyeru terhadap
persatuan dan solidaritas ini -semoga ia mendapatkan balasan setimpal dari
Allah- menafikan nikmat iman sekalipun dari Abu Bakar dan Umar radhiallahu
‘anhuma!! Ia berkata pada bukunya “Ihya’us Syari’ah Fi Mazhabis Syi’ah”
jilid 1 hal: 63-64: “Dan bila mereka berkata: Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar
termasuk orang-orang yang ikut andil dalam “Bai’atur Ridhwan” yang telah
ditegaskan akan keridhaan Allah atas mereka dalam Al Quran:
لَقَدْ
رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh Allah telah ridha terhadap
kaum mukminin yang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon.” (QS. Al Fath: 18)
Maka kami jawab: Seandainya Allah
berfirman:
لقد
رضي الله عن الذين يبايعونك تحت الشجرة أو عن الذين بايعوك
“Sungguh Allah telah ridha terhadap
orang-orang yang sedang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon” atau “telah membai’atmu” maka pada ayat ini terdapat
petunjuk akan keridhaan Allah kepada setiap yang membai’at, akan tetapi karena
Allah berfirman:
لَقَدْ
رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh Allah telah ridha terhadap
kaum mukminin yang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon,” maka tidak ada petunjuk pada ayat ini kecuali keridhaan
terhadap orang-orang yang telah memurnikan keimanannya”!?
Makna dari
ucapannya ini: bahwasanya Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma belum
memurnikan keimanannya?! Sehingga tidak dicakup oleh keridhaan Allah?! Subhanallah¸
tentu ini adalah kedustaan yang amat besar, semoga Allah senantiasa meridhai
keduanya, dan melimpahkan kepadanya kerahmatan dan keridhaan yang melimpah
ruah, amiin.
Dan telah berlalu
sebelumnya perkataan An Najafi (tokoh dari kota Najef -pent) -semoga kecelakaan
senantiasa menimpa kedua tangannya- penulis buku (Az Zahra’) bahwa
sayyidina Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa penyakit yang
tidak dapat diobati melainkan dengan air mani kaum lelaki?! (Dan kita katakan
kepada orang ini, dalam pepatah dikatakan: “ia menuduhku dengan penyakitnya
sendiri, lalu ia lari bersembunyi”).
Inilah dua pemuka
agama sekte Syi’ah yang hidup semasa dengan kami, dan termasuk orang-orang yang
senantiasa mengaku-ngaku memiliki loyalitas tinggi terhadap agama Islam dan
kaum Muslimin, dan andil besar dalam segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi
keduanya. Bila semacam ini ucapan dua orang pemuka agama sekte Syi’ah dalam
tulisan-tulisannya yang telah diterbitkan dan yang menjelaskan tentang ideologi
keduanya tentang orang terbaik dari kaum muslimin setelah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam , yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma,
atau minimal termasuk orang yang terbaik dalam sejarah Islam, maka apakah yang
akan kita harapkan dari upaya toleransi dan ikut andil dalam upaya pendekatan
antar berbagai mazhab. Dan apakah mereka semua itu adalah murni
barisan ke lima dalam tatanan masyarakat muslim?
Di saat mereka
menghinakan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , para
pengikut mereka (Tabi’in) dan seluruh pemimpin kaum muslimin sepeninggal mereka
serendah ini, padahal merekalah yang telah membangun kekuasaan Islam dan
mewujudkan dunia Islam ini. Pada saat yang bersamaan, mereka -sekte Syi’ah-
berkeyakinan tentang imam-imam mereka berbagai keyakinan yang para imam
tersebut pasti berlepas diri dari hal-hal tersebut. Al Kulaini telah menuliskan
dalam bukunya “Al Kafi” -buku ini bagi mereka bagaikan kitab “Shahih
Bukhori” bagi kaum muslimin- berbagai karakteristik dan sifat kedua belas
imam mereka. Karakteristik dan sifat-sifat tersebut
telah mengangkat derajat mereka dari manusia biasa hingga tingkatan tuhan-tuhan
bangsa Yunani kuno. Seandainya kita hendak menukilkan hal-hal semacam ini dari
buku “Al Kafi” dan buku-buku terpercaya mereka lainnya, niscaya akan
terkumpul satu jilid buku besar. Oleh karenanya, kami akan cukupkan dengan
menukilkan beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari buku “Al
Kafi”, di antaranya judul bab-bab tersebut ialah:
1.
Bab:
Bahwasanya Para Imam Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat,
Nabi Dan Rasul (Al Kafi jilid 1/255, kitab Al Hujjah).
2.
Bab:
Bahwasanya Para Imam Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwasanya
Mereka Tidaklah Meninggal Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri. (Al Kafi
jilid 1/258 kitab Al Hujjah).
3.
Bab:
Bahwasanya Para Imam Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan
Datang, Dan Sesungguhnya Tidak Ada Yang Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu Apapun.
(Al Kafi jilid 1/260, kitab Al Hujjah).
4.
Bab:
Bahwasanya Para Imam Memiliki Seluruh Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala
Perbedaan Bahasanya. (Al Kafi jilid 1/227, kitab Al Hujjah).
5.
Bab:
Bahwasanya Tidaklah Ada Orang Yang Pernah Menyatukan Al Quran Secara Utuh
Selain Para Imam, Dan Bahwasanya Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung
Dalamnya. (Al Kafi jilid 1/228, kitab Al Hujjah).
6.
Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh Para Imam Dari Mukjizat Para Nabi. (Al Kafi jilid 1/231, kitab Al Hujjah).
7.
Bab:
Bahwasanya Para Imam Bila Telah Berhasil Berkuasa, Mereka Akan Berhukum Dengan
Hukum Nabi Daud (?!) Dan Keluarga Daud [8]
(?!)Dan Mereka Tidak Akan Pernah Meminta Persaksian/Bukti. (Al Kafi,
1/397, kitab Al Hujjah).
8.
Bab:
Bahwasanya Tidaklah Ada Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain
Yang Pernah Diajarkan Oleh Para Imam, Dan Bahwasanya Segala Sesuatu Yang Tidak
Diajarkan Oleh Mereka, Maka Itu Adalah Bathil. (Al Kafi 1/399, kitab Al
Hujjah).
9.
Bab:
Bahwasanya Bumi Seluruhnya Adalah Milik Para Imam. (Al Kafi 1/407, kitab
Al Hujjah).
Di saat mereka
meyakini tentang 12 imam mereka hal-hal yang tidak pernah diakui oleh para imam
tersebut, berupa pengetahuan tentang yang gaib, dan bahwasanya kedudukan mereka
di atas kedudukan manusia biasa (Bahkan mereka meriwayatkan dari sahabat Ali radhiallahu
‘anhu, bahwasanya ia berkata, “Akulah yang telah menjadi tinggi kemudian
menundukkan, dan akulah yang menghidupkan dan mematikan, akulah yang pertama
dan terakhir, akulah yang nampak dan tersembunyi.” Sebagaimana disebutkan
dalam buku “Al Ikhtishash” karya Syeikhul Mufid, sudah barang tentu
berbagai sifat ini tidaklah dimiliki oleh selain Allah subhanahu wa Ta’ala. Dan
juga seperti ucapan mereka, “Sesungguhnya para imam kami memiliki kedudukan
yang tidak dapat dicapai oleh para malaikat yang didekatkan, tidak juga nabi
yang telah diutus.”
Al Khumaini dalam
bukunya: “Al Hukumah Al Islamiyyah” hal 52). Pada saat yang bersamaan
sekte Syi’ah mengingkari segala hal yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam dari hal-hal gaib,
misalnya perihal penciptaan langit dan bumi, berbagai hal tentang surga dan
neraka. Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam majalah “Risalatul
Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga Pendekatan” yang berpusatkan di
Kairo. Majalah ini memuat pada edisi ke-4, tahun ke-4, hal: 368, buah karya
Kepala Mahkamah Syari’at Syi’ah Tertinggi di Lebanon, -seorang figur yang
mereka anggap sebagai ulama’ mereka paling memikat tutur katanya- dengan tema:
“Sebagian Dari Ijtihad-ijtihad Syi’ah Imamiyyah”. Pada makalah ini, ia
menukilkan dari tokoh ahli ijtihad mereka yang bernama Syaikh Muhammad Hasan Al
Asytiyani, bahwasanya ia berkata dalam bukunya: “Bahrul Fawaid” jilid 1,
hal: 267: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bila mengabarkan tentang hukum-hukum syariat,
maksudnya: seperti hal-hal yang membatalkan wudhu, berbagai hukum haidh dan
nifas, maka wajib untuk dipercayai dan diamalkan apa yang ia kabarkan. Dan bila
ia mengabarkan tentang hal-hal gaib, misalnya tentang penciptaan langit dan
bumi, bidadari dan istana di surga, maka tidak wajib untuk diimani, walaupun
setelah kita tahu akan keabsahan hadits tersebut dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam , terlebih-lebih bila keabsahannya masih diragukan!?
Ya Allah, amat
mengherankan! Mereka berdusta dengan menisbatkan kepada para imam, bahwa mereka
dapat mengetahui hal yang gaib, dan mereka beriman dengannya, padahal
penisbatan hal tersebut kepada para imam tidak dapat dipastikan keabsahannya,
di saat yang sama mereka menghalalkan diri untuk mengingkari berbagai berita
tentang hal gaib yang telah terbukti keabsahannya dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam , serta maknanya amat jelas nan tegas, misalnya ayat-ayat
dan hadits-hadits shahih tentang penciptaan langit dan bumi, berbagai perihal
tentang surga dan neraka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada setiap hadits yang terbukti shahih
tersebut tidaklah berkata-kata atas dasar hawa nafsunya, hadits itu tiada lain
kecuali wahyu yang telah diwahyukan kepadanya.
Setiap orang yang
membandingkan antara berbagai hal yang dinisbatkan kepada para imam mereka
dengan hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang mengabarkan tentang hal gaib, niscaya
akan terbukti baginya bahwa hal-hal gaib yang terbukti benar periwayatannya
dari Rasulullah, baik dalam Al Quran atau hadits mutawatir nan shahih tidaklah
mencapai sebagian kecil dari hal-hal yang didakwakan oleh sekte Syi’ah tentang
kedua belas imam mereka, berupa ilmu gaib setelah terputusnya wahyu Allah dari
penduduk bumi. Dan seluruh perawi hal-hal gaib dari kedua belas imam tersebut
telah dikenal di kalangan ulama’ ahli Al jarh wa ta’dil (salah satu disiplin
ilmu hadits yang membicarakan tentang kredibilitas para periwayat hadits) dari
kalangan Ahlusunnah sebagai para pendusta, akan tetapi para pengikut
mereka dari kalangan sekte Syi’ah tidak menggubris akan kenyataan itu, dan
tetap mempercayai segala riwayat mereka tentang hal-hal gaib yang dimiliki oleh
para imam.
Pada saat yang
bersamaan pula majalah “Risalatul Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga
Pendekatan” memuat tulisan hakim Mahkamah Syari’at Tertinggi di Lebanon,
sekaligus mujtahid mereka, yaitu Muhammad Hasan Al Asytiyani, yang
mempropagandakan dan menyerukan anggapan tidak wajibnya mempercayai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam dalam hal-hal gaib
yang telah sah diriwayatkan darinya. Mereka hendak membatasi tugas kerasulan
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam hal-hal yang membatalkan wudhu, hukum
haid dan nifas serta berbagai perincian ilmu fikih yang serupa dengannya. Akan
tetapi mereka mengangkat martabat imam-imam mereka dalam hal gaib melebihi
martabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , padahal beliaulah
yang mendapatkan wahyu, sedangkan para imam mereka tidak pernah mengaku
mendapatkan wahyu. Dengan demikian, kami tidak tahu,
pendekatan macam apakah yang mungkin dicapai antara kita dengan mereka setelah
kita mengetahui fakta ini?!
Di antara hal
yang dapat kita cermati pada setiap fase sejarah sekte Syi’ah dan sikap tokoh
dan masyarakat umum mereka terhadap pemerintahan Islam, bahwa pemerintahan
Islam apa saja, bila dalam keadaan kuat dan kokoh, mereka senantiasa menjilat
kepada mereka sebagai penerapan ideologi Taqiyyah guna mengeruk kekayaannya,
serta meraih berbagai jabatan. Kemudian bila pemerintah tersebut telah melemah
atau diserang oleh musuh, segera mereka berpihak kepada barisan musuh dan
melawan pemerintah islam. Demikianlah yang mereka lakukan pada akhir masa
dinasti Umawiyyah, tatkala Bani Abbasiyyah mengadakan pemberontakan. Bahkan
revolusi Bani Abbasiyyah terjadi berkat bujuk rayu sekte Syi’ah.
Kemudian mereka
juga bersikap keji semacam ini dengan Dinasti Bani Abbasiyyah, tatkala mereka
terancam oleh serangan Holako Khan dan Bangsa Mongolia para penyembah berhala
terhadap Khilafah Islam, ibu kota kejayaan, pusat kemajuan serta ilmu
pengetahuannya.
******
An Nushair At Thushi dan Ibnu Al Alqami Bersama Pasukan Holako Khan dan Bangsa Mongol Para Penyembah Berhala
An Nushair At Thushi dan Ibnu Al Alqami Bersama Pasukan Holako Khan dan Bangsa Mongol Para Penyembah Berhala
Setelah ahli
filosof sekaligus ulama Syi’ah yang bernama An Nushair At Thusi merangkaikan bait’-bait
sya’ir guna menjilat kepada Khalifah Abbasiyah Al Mu’tashim, tidak berapa lama
ia berbalik, pada tahun 655 H ia bersekongkol melawan sang khalifah dan
menyegerakan runtuhnya kekuasaan umat Islam di kota
Baghdad, dan ia
berada di barisan terdepan dari iring-iringan pasukan pembunuh berdarah dingin
Holako Khan!! Ia ikut serta menyaksikan pemenggalan
leher-leher kaum muslimin dan muslimat, baik muda ataupun tua!! Ia juga rela
dengan penenggelaman karya-karya ilmiah umat Islam di sungai Dijlah (Tigris),
hingga air sungai mengalir berwarna hitam dalam beberapa siang dan malam akibat
terkena tinta kitab-kitab manuskrip. Dengannya sirnalah berbagai peninggalan
sejarah Islam, yang mencakup sejarah, adab, bahasa, syair, dan filsafat,
terlebih-lebih ilmu-ilmu syariat dan karya-karya tulis para imam terdahulu para
generasi terkemuka, yang hingga kala itu masih banyak di temukan, dan akhirnya
ikut hancur bersama kehancuran peninggalan lainnya pada petaka ilmu pengetahuan
yang tidak pernah terjadi sebelumnya[9].
Dan ikut serta pula
bersama Syaikh sekte Syi’ah Nushair At Thusi dalam pengkhianatan besar ini dua
orang sahabatnya: pertama, perdana menteri Syi’ah yang bernama Muhammad bin
Ahmad Al ‘Alqami, dan kedua, penulis buku yang beraliran mu’tazilah yang lebih
ekstrem dalam berpegang dengan paham Syi’ah, yang bernama Abdul Hamid bin Abi
Al Hadid, ia adalah orang kepercayaan Ibnu Al ‘Alqami. Orang kedua ini
sepanjang hidupnya memusuhi sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam , oleh karenanya ia memenuhi buku karyanya yang merupakan syarah
(penjabaran) dari buku “Nahjul Balaghah” dengan berbagai kedustaan yang
telah mencoreng muka sejarah Islam. Dan hingga saat ini masih jua ada sebagian
orang-orang yang tidak memahami hakikat masa lampau agama Islam dan berbagai
sekte sempalan yang melekat kepadanya, sampai pun sebagian kaum cendekiawan dan
terpelajar. (Al ‘Allaamah Abdullah bin Al Husain As Suwaidi telah
menuliskan bantahan terhadap Ibnu Abi Al Hadid ini, dimana beliau menuliskan
sebuah buku dengan judul: As Sharim Al Hadid Fi Ar Rad ‘Ala Ibni Abi Al
Hadid ( الصارم الحديد في الرد على ابن أبي
الحديد ) sebanyak 1000
halaman, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Zahid Al Kautsari dalam sebagian
makalahnya).
Sesungguhnya Ibnu Al
‘Alqami yang telah membalas kelembutan Khalifah Al Musta’shim dan, kedermawanan
beliau sehingga ia dipilih menjadi perdana menterinya, dengan pengkhianatan. Ia
telah dikuasai oleh tabi’at aslinya yaitu pengkhianat dan jiwa yang hina
sehingga ia sampai hati membalas buruk budi baik orang lain. Hingga saat ini
sekte Syi’ah tak kunjung henti menampakkan rasa gembira dan merasa girang
dengan permusuhan yang berhasil mereka lancarkan terhadap umat Islam pada
petaka Holako Kan yang telah menimpanya. Dan barang siapa yang hendak
mengetahui hal ini, silakan membaca biografi An Nushair At Thusi yang mereka
tulis dalam setiap buku-buku biografi karya mereka. Buku biografi terbaru yang
mereka tulis ialah buku “Raudhaat Al Jannaat” karya Al Khunisaari. Buku
ini dipenuhi dengan pujian kepada para penumpah darah dan para pengkhianat dan
ungkapan kegembiraan atas apa yang menimpa umat Islam kala itu, pelampiasan
dendam terhadap para korban petaka itu, baik para tokoh atau masyarakat awam.
Juga dipenuhi dengan ungkapan kegembiraan dengan pembantaian yang menimpa kaum
muslimin dan muslimat, sampai-sampai anak kecil dan orang-orang tua renta.
Suatu sikap yang musuh paling berbahaya dan binatang paling buas pun akan
merasa malu untuk menampakkan kegembiraannya atas petaka tersebut.
Sub pembahasan
ini telah terlanjur panjang lebar diutarakan, padahal kami berusaha untuk
meringkaskannya dengan menyebutkan beberapa nukilan singkat dari berbagai buku
rujukan terpercaya sekte Syi’ah. Dan kami akan tutup sub pembahasan ini dengan
menukilkan satu teks lain yang berkaitan dengan masalah pendekatan, agar setiap
muslim mengetahui bahwa pendekatan dapat saja terlaksana dengan berbagai aliran
dan mazhab lain, sedangkan hal itu mustahil untuk terwujud bersama sekte Syi’ah
secara khusus. Hal ini merupakan pengakuan dari mereka sendiri, sebagaimana
dalam teks nukilan berikut ini:
Al Khunisaari -ia
adalah seorang pakar sejarah sekte Syi’ah- menukilkan dalam buku “Raudhaat
Al Jannaat” hal: 579, edisi ke-2 Teheran tahun 1367 H, tatkala ia
menyebutkan biografi An Nushair At Thusi dengan panjang lebar, ia menyebutkan
bahwa di antara ucapannya yang benar-benar bagus dan yang muncul dari sumber
kebenaran dan penelitian, ialah ucapannya ketika ia menentukan Al Firqah An
Najiyyah (kelompok selamat dari neraka -pent) dari ketujuh puluh tiga
golongan, adalah kelompok Al Imamiyyah, ia berkata:
“Sesungguhnya aku telah mengkaji seluruh mazhab, dan aku telah
mengetahui seluruh prinsip dan perincian mereka, kemudian aku dapatkan bahwa
selain kelompok Imamiyyah memiliki keserupaan tentang prinsip utama dalam
keimanan, walaupun ada beberapa perbedaan yang tidak berpengaruh sedikit pun
terhadap keimanan, baik mereka menetapkannya atau mengingkarinya. Kemudian aku
mendapatkan bahwa kelompok Al Imamiyyah menyelisihi prinsip-prinsip seluruh
kelompok. Kalaulah seandainya ada kelompok selain mereka yang dianggap sebagai
kelompok selamat, niscaya seluruh kelompok tersebut adalah kelompok selamat (Al
Firqoh An Najiyyah). Ini membuktikan bahwa satu-satunya kelompok selamat tiada
lain adalah kelompok Al Imamiyyah.”
******
Bagi Syi’ah, Dua Kalimat Syahadat Tidak Cukup Sebagai
Bekal Masuk Surga
Al Khunisari
berkata Seusai menukilkan ungkapan di atas, sayyid Ni’matullah Al Musawi
berkata
“Dan penjelasannya sebagai berikut: Seluruh kelompok
bersepakat bahwa dua kalimat syahadat adalah sumber keselamatan (dari neraka
-pent), dengan dasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
من قال لا إله إلا الله دخل الجنة
“Barang siapa yang bersaksi bahwa ‘tiada sesembahan yang layak
untuk disembah selain Allah’ niscaya ia akan masuk surga.”
Adapun kelompok Imamiyyah, mereka sepakat bahwa keselamatan
tidak akan terwujud selain dengan sikap loyal kepada Ahlul Bait hingga imam
kedua belas, dan berlepas diri dari seluruh musuh-musuh mereka (maksudnya Abu
Bakar, Umar hingga manusia terakhir yang beragama Islam selain dari sekte
Syi’ah, baik penguasa atau rakyat biasa), sehingga kelompok ini menyelisihi
seluruh kelompok lain dalam hal ideologi ini yang merupakan sumber
keselamatan.”
Sungguh At Thusi,
Al Musawi dan Al Khunisari telah benar!! Dan dalam waktu yang
bersamaan telah berdusta!!
Mereka benar bahwa
seluruh kelompok memiliki kedekatan dalam hal prinsip dan berselisih dalam hal
sekunder, oleh karena itu amat dimungkinkan untuk terjadinya solidaritas dan
pendekatan antara berbagai kelompok yang dasar ideologinya saling berdekatan.
Sedangkan pendekatan ini mustahil untuk terjadi bersama sekte Syi’ah Al
Imamiyyah, karena mereka menyelisihi seluruh umat Islam dalam hal prinsip, dan
mereka tiada pernah rela dari umat Islam hingga mereka semua mengutuk (Al Jibtu
& At Thoghut) Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma serta setiap
muslim selain mereka hingga hari ini. Dan hingga mereka berlepas diri dari
setiap orang selain Syi’ah sampai pun putri-putri Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam yang dinikahkan
dengan Dzu An Nurain Utsman bin Affan dan tokoh bani Umayyah sang
pemberani nan mulia yaitu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ yang telah disanjung oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam dari atas mimbar
Masjid An Nabawi As Syarif dan di hadapan khalayak umat Islam kala itu, yaitu
tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu hendak menikahi putri Abu Jahl,
dan menjadikannya sebagai madu bagi putri pamannya Fathimah radhiallahu
‘anha (Setiap wanita anak saudara ayah seseorang yang manapun disebut juga
sebagai anak paman, oleh karena itu penulis menyebut bahwa Fatimah radhiallahu
‘anha adalah sepupu sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, karena ia adalah
putri saudara sepupunya) kemudian Fatimah mengadukannya kepada ayahnya. Dan
juga (Syi’ah tidak akan pernah rela -ed muslim) hingga umat islam berlepas diri
dari Imam Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi Tholib, dan
seluruh Ahlul Bait yang tidak sudi untuk tunduk di bawah bendera Rafidhoh
(Syi’ah Imamiyyah) dalam setiap ideologi mereka yang berkelok-kelok, yang di
antaranya ialah meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan.
Dan sungguh mereka
telah meyakini ideologi ini sepanjang masa dan pada setiap generasi mereka,
sebagaimana yang dinukilkan dan dicatatkan oleh cendekiawan cemerlang sekaligus
tokoh pujaan mereka, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At
Thobarsi dalam bukunya “Fashlul Khithaab Fi Itsbaat Tahrif Kitaab Rabbil
Arbaab”. Seorang tokoh yang telah melakukan tindak kekejian dengan
menuliskan setiap baris dari buku ini di sisi kuburan seorang sahabat mulia
pemimpin kota Kufah Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, yang
dianggap oleh sekte Syi’ah sebagai kuburan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu
‘anhu.
Sesungguhnya sekte
Syi’ah mensyaratkan kepada kita agar terwujud toleransi dengan mereka dan agar
mereka ridha dengan pendekatan kita kepada mereka: hendaknya kita ikut serta
bersama mereka mengutuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
, dan berlepas diri dari setiap orang selain anggota sekte mereka, sampai
pun putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan anak cucu beliau, dan sebagai baris
terdepan dari mereka ialah Zaid bin Zainal ‘Abidin, dan setiap orang yang
sejalan dengan beliau dalam mengingkari perilaku mungkar sekte Rafidhah (Syi’ah
Imamiyyah). Inilah sisi jujur dari teks yang dinukil dari An Nushair At Thusi,
dan yang disetujui oleh Sayyid Ni’matullah Al Musawi dan Mirza Muhammad Baqir
Al Musawi Al Khunisari Al Ashbahani, dan tidak ada seorang syi’ah pun yang
menyelisihinya, baik dari kalangan yang dengan tegas menampakkan ideologi
taqiyyah atau yang menyembunyikannya.
Adapun sisi
kedustaan mereka ialah pengakuan mereka bahwa sekedar mengucapkan dua kalimat
syahadat adalah sumber keselamatan di akhirat menurut umat Islam selain sekte
Syi’ah. Seandainya mereka berakal atau memiliki pengetahuan, niscaya mereka
mengetahui bahwa dua kalimat syahadat menurut Ahlusunnah adalah pertanda
masuknya seseorang ke dalam Islam. Dan orang yang telah mengucapkannya
-walaupun ia sebelumnya adalah kafir harbi (Kafir Harbi ialah orang kafir yang
menampakkan permusuhan terhadap Islam dan umat Islam -pent)- berubah menjadi orang
yang dilindungi darah dan harta bendanya di dunia. Adapun keselamatan di
akhirat, maka keselamatan hanya tercapai dengan keimanan yang benar, dan
bahwasanya keimanan itu -sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mukminin Umar bin
Abdul ‘Aziz- memiliki berbagai kewajiban, syariat, batasan-batasan, dan
sunnah-sunnah, barang siapa yang menjalankannya dengan sempurna, maka ia telah
mencapai kesempurnaan iman, dan barang siapa yang tidak menjalankannya dengan
sempurna, maka ia belum mencapai kesempurnaan iman. Dan mempercayai keberadaan
imam mereka yang kedua belas tidak termasuk dari syariat iman, karena
sebenarnya ia adalah figur rekaan yang dinisbatkan dengan dusta kepada Al Hasan
Al ‘Askari yang wafat tanpa meninggalkan seorang anak pun, dan saudara kandungnya
yang bernama Ja’far mewarisi seluruh harta warisannya, dengan dasar karena ia
tidak meninggalkan seorang anakpun.
Marga Alawiyyin
(Yang dimaksud dengan Alawiyyin ialah anak keturunan sahabat Ali bin Abi Tholib
radhiallahu ‘anhu -pent) memiliki daftar keturunan yang kala itu
dipegang oleh seorang perwakilan dari mereka, sehingga tidaklah dilahirkan
seorang bayi pun dari mereka, melainkan akan dicatat padanya, dan padanya tidak
pernah terdaftar seorang anak pun bagi Al Hasan Al ‘Askari. Dan marga Alawiyyin
yang semasa dengan Al Hasan Al ‘Askari tidak pernah mengetahui bahwa ia
meninggalkan seorang anak laki-laki. Hakikat yang sebenarnya telah terjadi
adalah: tatkala Al Hasan Al ‘Askari wafat dalam keadaan mandul, dan silsilah
keimaman para pemuja mereka yaitu sekte Imamiyyah terputus, mereka menghadapi
kenyataan bahwa paham mereka akan mati bersama kematiannya, dan mereka tidak
lagi menjadi sekte Imamiyyah, karena tidak lagi memiliki imam. Oleh karena itu,
salah seorang setan mereka yang bernama Muhammad bin Nushair, salah seorang
mantan budak Bani Numair mencetuskan gagasan bahwa Al Hasan Al ‘Askari memiliki
anak laki-laki yang disembunyikan di salah satu terowongan ayahnya[10],
agar ia dan para sekongkolnya dengan nama Imam tersebut dapat mengumpulkan
zakat dari masyarakat dan hartawan sekte Syi’ah! Dan agar mereka -walau dengan
berdusta- dapat meneruskan propaganda bahwa mereka adalah pengikut para Imam.
Muhammad bin Nushair
ini menginginkan agar dialah yang menjadi “Al Bab (pintu penghubung)”
terowongan fiktif tersebut, sebagai penyambung lidah antara imam fiktif dengan
pengikutnya, dan bertugas memungut harta zakat. Akan tetapi kawan-kawannya para
setan penggagas makar ini tidak menyetujui keinginannya tersebut, dan mereka
tetap bersikukuh agar yang berperan sebagai “pintu/Al Bab” ialah seorang
pedagang minyak zaitun atau minyak samin. Pedagang ini memiliki toko kelontong
di depan pintu rumah Al Hasan dan ayahnya, sehingga mereka dapat mengambil
darinya segala kebutuhan rumah tangga mereka. Tatkala terjadi perselisihan ini,
pencetus ide ini (yaitu Muhammad bin Nushair -pent) memisahkan diri dari
mereka, dan mendirikan sekte An Nushairiyah yang dinisbatkan kepadanya.
Dahulu kawan-kawan
Muhammad bin Nushair memikirkan supaya mereka mendapatkan cara untuk memunculkan
figur “Imam Ke-12″ yang mereka rekayasa, dan kemudian ia menikah dan memiliki
anak keturunan yang memegang tampuk Imamah sehingga paham Imamiyah mereka dapat
berkesinambungan. Akan tetapi terbukti bagi mereka bahwa munculnya figur
tersebut akan memancing pendustaan dari perwakilan marga Alawiyyin dan seluruh
marga ‘Alawiyyin serta saudara-saudara sepupu mereka para khalifah dinasti
Abbasiyyah dan juga para pejabat mereka. Oleh karenanya mereka akhirnya
memutuskan untuk menyatakan bahwa ia tetap berada di terowongan, dan bahwasanya
ia memiliki persembunyian kecil dan persembunyian besar, hingga akhir dari
dongeng unik yang tidak pernah didengar ada dongeng yang lebih unik
daripadanya, sampai pun dalam dongeng bangsa Yunani.
Mereka menginginkan
dari seluruh umat Islam yang telah dikaruniai Allah dengan nikmat akal sehat
agar mempercayai dongeng palsu ini!! Agar pendekatan antara mereka dengan sekte
Syi’ah dapat dicapai?! Mana mungkin terjadi, kecuali bila dunia Islam
seluruhnya telah berpindah tempat ke (rumah sakit jiwa) guna menjalani
pengobatan gangguan jiwa!! Dan Alhamdulillah atas kenikmatan akal sehat, karena
akal sehat merupakan tempat ditujukannya tugas-tugas agama, dan akal sehat
-setelah nikmat iman yang benar- merupakan kenikmatan terbesar dan termulia.
Sesungguhnya umat
Islam berloyal kepada setiap orang mukmin yang benar imannya, termasuk di
dalamnya orang-orang saleh dari Ahlul Bait tanpa dibatasi dalam jumlah
tertentu. Kaum mukminin terdepan yang mereka loyali ialah sepuluh sahabat yang
telah diberi kabar gembira oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan surga. Seandainya sekte Syi’ah tidak
melakukan perbuatan kufur selain sikap mereka yang menyelisihi Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Salam bahwa kesepuluh
sahabat tersebut adalah penghuni surga, niscaya ini cukup sebagai alasan untuk
memvonis mereka kafir.
Sebagaimana umat
Islam juga berloyal kepada seluruh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam
yang di atas pundak merekalah agama
Islam tegak dan terbentuk dunia Islam, kebenaran dan kebaikan tumbuh subur di
bumi Islam dengan tumpahan darah mereka. Merekalah orang-orang yang dengan sengaja sekte Syi’ah berdusta atas nama
sahabat Ali dan anak keturunannya, sehingga mereka beranggapan bahwa mereka itu
adalah musuh-musuh Ali dan anak-anaknya. Sungguh mereka telah hidup
berdampingan bersama sahabat Ali dalam keadaan saling bersaudara, mencintai,
bahu-membahu, dan mereka pun mati dalam keadaan saling mencintai dan
bahu-membahu.
Amat tepat
peyifatan tentang mereka yang Allah ta’ala sebutkan dalam surat Al Fath, dalam Kitabullah yang tiada
kebatilan baik dari arah depan ataupun belakang. Allah ‘azza wa jalla berfirman
tentang mereka:
أَشِدَّاءُ
عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
“Mereka amat keras terhadap orang-orang
kafir dan saling mengasihi sesama mereka.”
(QS. Al Fath: 29)
Dan pada firman-Nya dalam surat Al Hadid:
وَلِلَّهِ
مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ
مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُوْلَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ
أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
“Padahal Allah-lah yang memiliki langit
dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan
berperang sebelum penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya dari pada
orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah
menjanjikan kepada masing-masing mereka balasan yang lebih baik.” (QS. Al Hadiid: 10)
Adakah mungkin Allah mengingkari
janji-Nya?! Allah juga berfirman tentang mereka pada surat Ali Imran:
كُنتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk umat manusia.” (QS. Ali Imran: 110)
******
Di Antara Anak Ali bin Abi Tholib Adalah Abu Bakar, Umar
& Utsman
Di antara bentuk
kasih sayang Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib kepada
saudara-saudaranya ketiga kholifah sebelumnya semoga Allah senantiasa meridhoi
mereka semua beliau wujudkan dengan memberi nama anak-anak beliau setelah Al
Hasan dan Al Husain dengan nama-nama mereka.
Di antara anak
sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu ialah anak lelaki yang ia
beri nama “Abu Bakar”, dan lainnya diberi nama “Umar” dan lainnya diberi nama
“Utsman”. Beliau juga menikahkan putrinya Ummu
Kultsum yang terbesar dengan sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu [11].
Dan sepeninggal beliau, ia dinikahi oleh saudara sepupunya, yaitu Muhammad bin
Ja’far bin Abi Tholib, kemudian iapun meninggal sebelumnya, dan kemudian ia
dinikahi oleh saudara lelaki Muhammad, yaitu ‘Aun bin Ja’far, kemudian Ummu
Kultsum meninggal dunia sebagai istri beliau.
Al Kulaini (salah
seorang pentolan Syi’ah -ed muslim) menyebutkan sebuah hadits dari Zurarah dari
Abu Abdillah ‘alaihissalaam perihal pernikahan Ummu Kultsum, ia
berkata: “Sesungguhnya itu adalah kemaluan yang telah dirampas dari kami.”
Silahkan baca Al Kafi dalam bab: Furu’ juz 2 halaman 141, edisi India.
Bahkan At Thusi
dalam bukunya, “Tahzibul Ahkaam” juz 2 halaman 380 menyebutkan bahwa
Ummu Kultsum dan putranya yaitu Zaid bin Umar bin Al Khatthab meninggal dunia
dalam pada waktu yang sama, sehingga masing-masing dari mereka berdua tidak
saling mewarisi. Maka bagaimana sebagian buku tersebut mengingkari fakta
pernikahan, kemudian mendatangkan riwayat-riwayat murahan tentang jin perempuan
atau mereka menyerahkan kepada Umar bin Al Khatthab wanita lain yang
menyerupainya!!
Dan sahabat
Abdullah bin Ja’far (Ja’far dijuluki dengan Zil Janahain) bin Abi Tholib
menamakan salah seorang putranya dengan nama “Abu Bakar”, dan menamakan anaknya
yang lain dengan nama “Mu’awiyah”. Dan Mu’awiyah ini, yaitu bin Abdullah bin
Ja’far bin Abi Tholib telah menamakan salah seorang putranya dengan nama
“Yazid”[12].
Hal ini beliau lakukan, karena beliau mengetahui bahwa Yazid berperilaku baik
nan terpuji, sebagaimana yang dipersaksikan oleh Muhammad bin Ali bin Abi
Tholib. (Muhammad bin Ali bin Abi Tholib lebih dikenal dengan Muhammad bin Al
Hanafiyyah -pent)
Seandainya sikap
berlepas diri yang menjadi tuntutan sekte Syi’ah sebagai tumbal terealisasinya
“pendekatan” antara kita dengan mereka mencakup seluruh tokoh-tokoh yang mereka
kehendaki, niscaya orang pertama yang berlaku salah ialah imam pertama mereka
Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang telah menamakan putranya
dengan nama: Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dan lebih besar lagi kesalahan beliau
di saat beliau menikahkan putrinya dengan sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu
‘anhu. Demikian juga Muhammad bin Al Hanafiyyah telah berdusta pada
persaksiannya tentang Yazid, yaitu tatkala datang kepadanya Abdullah bin Muthi’
salah seorang tangan kanan Ibnu Zubair, kemudian ia mengaku bahwa Yazid biasa
minum khamer, meninggalkan sholat, dan melanggar hukum Al Quran, maka Muhammad
bin Ali bin Abi Tholib berkata kepadanya -sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Al
Bidayah wa An Nihayah 8/233:
“Aku tidak pernah melihat apa yang kalian sebut-sebut itu,
padahal aku pernah hadir di majelisnya dan juga tinggal bersamanya. Yang aku
saksikan ia senantiasa rajin menunaikan sholat, berupaya melakukan kebaikan,
bertanya tentang ilmu fikih, dan senantiasa berpegang teguh dengan sunnah…” Mendengar yang demikian, Ibnu Muthi’ (dan kawan-kawannya
-pent) berkata: “Sesungguhnya ia berperilaku demikian, dalam rangka
berpura-pura di hadapanmu.” Maka Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Memangnya
apa yang ia takutkan atau yang ia harapkan dariku, sampai-sampai ia merasa
perlu untuk berpura-pura khusyu’ di hadapanku? Apakah ia memperlihatkan kepada
kalian perbuatan yang kalian sebut-sebut, yaitu berupa minum khamer? Seandainya
ia memperlihatkannya kepada kalian, maka kalian adalah sekutunya! Dan bila ia
tidak pernah memperlihatkannya kepada kalian, maka tidak halal bagi kalian
untuk bersaksi dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” Mereka pun
menjawab: “Berita ini bagi kami adalah benar, walaupun tidak kami saksikan
sendiri.” Maka Maka Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Allah tidak
menerima metode semacam ini dari orang yang hendak bersaksi, oleh karenanya
Allah berfirman:
إلاَّ من شَهِدَ بالحقِّ وهم يعلَمون
“Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan benar, sedangkan
mereka benar-benar mengetahui.” (QS. Az Zukhruf:
86), dan aku tidak ikut andil dalam urusan kalian sedikit pun.”
Bila demikian ini
persaksian salah seorang putra Ali bin Abi Tholib tentang Yazid, maka akan kita
sembunyikan ke manakah fenomena ini bila kita menuruti keinginan sekte Syi’ah
dalam menyikapi beliau dan juga ayahnya (yaitu sahabat Mu’awiyyah radhiallahu
‘anhu), dan juga kepada orang yang lebih utama dari ayahnya dan juga lebih
utama dibanding makhluk Allah lainnya, maksud saya ialah sahabat Abu Bakar,
Umar, Utsman, Tholhah, Az Zubair, Amr bin Al ‘Ash dan seluruh tokoh sahabat
yang telah menjaga Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk kita. Sebagaimana
mereka telah mewujudkan dunia islam ini yang dengannya dan untuknya kita hidup,
semoga Allah senantiasa meridhoi mereka semua.
Sesungguhnya tebusan
yang dituntut oleh sekte Syi’ah guna merealisasikan “pendekatan” antara kita
dan mereka terlalu mahal, mengakibatkan kita kehilangan segala sesuatu serta
tidak mendapatkan apa-apa. Dan hanya orang dungulah yang sudi untuk bertransaksi
dengan orang yang menginginkan darinya suatu perniagaan yang padanya ia
nyata-nyata merugi!!
Sesungguhnya
loyalitas dan pelepasan diri (al bara’) yang merupakan asas agama sekte
Syi’ah, sebagaimana yang ditegaskan oleh An Nushair At Thusi, dan dikuatkan
oleh Ni’matullah Al Musawi serta Al Khunisari tidak ada penjabarannya selain
perubahan agama Islam serta permusuhan terhadap para tokoh yang di atas pundak
merekalah negeri Islam berhasil ditegakan.
Sungguh mereka
bertiga telah berdusta pada anggapan mereka bahwa sekte mereka adalah
satu-satunya sekte yang menyelisihi ajaran kelompok lain, sesungguhnya sekte
Isma’iliyyah menyerupai mereka. Sekte Isma’iliyyah menyelisihi umat Islam dalam
hal-hal yang juga diselisihi oleh sekte Syi’ah Imamiyyah, selain pada hal
penentuan sebagian figur keluarga/keturunan Nabi (ahlul bait) yang mereka
berloyal kepadanya.
Sekte Syi’ah
Imamiyah berloyal kepada seluruh figur yang diloyali oleh sekte Isma’iliyyah
hingga pada Ja’far As Shadiq, dan kemudian mereka berbeda tentang figur imam
setelahnya.
Sekte Imamiyyah
berloyal kepada Musa bin Ja’far beserta keturunannya, sedangkan sekte
Isma’iliyyah berloyal kepada Isma’il bin Ja’far beserta keturunannya.
Sikap ekstrem yang
ada pada sekte Isma’iliyyah semenjak masa Isma’il dan setelahnya telah dijiplak
oleh sekte Imamiyyah sejak masa dinasti As Safawiyyah, sehingga mereka pun
terjerumus ke dalam jurang di bawah kepemimpinan Al Majlisi dan para kaki
tangannya. Bila kelompok ekstrem dari sekte Syi’ah pada zaman dahulu merupakan
minoritas, akan tetapi setelah itu hingga saat ini mereka menjadi mayoritas,
mereka semua adalah ekstrem Syi’ah Imamiyyah tanpa terkecuali. Fakta ini telah
diakui oleh tokoh terkemuka mereka dalam hal ilmu Al Jarh wa At Ta’dil, yaitu
Ayatullah Al Maamiqaani pada setiap kali ia menyebutkan biografi tokoh-tokoh
ekstrem Syi’ah terdahulu. Ia mengumandangkan pada setiap kesempatan untuk
membahas permasalahan ini dalam buku besarnya, bahwa: segala hal yang menjadi
penyebab orang-orang ekstrem dianggap ekstrem, maka pada zaman ini menurut
seluruh penganut paham Syi’ah sebagai bagian dari hal-hal yang prinsip/mendasar
dalam paham Syi’ah!!
Dengan demikian,
sikap ekstrem yang dahulu menjadi faktor pembeda antara sekte Isma’iliyyah
dengan Syi’ah, sekarang dengannya mereka bersatu, tiada perbedaan antara mereka
selain dalam hal figur-figur yang dituhankan oleh masing-masing mereka, atau
dianggap kedudukannya melebihi kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam .
Beliau yang oleh sekte Imamiyyah melalui lisan Muhammad Hasan Al Asytiyaani
diperbolehkan untuk tidak dipercayai dalam hal-hal gaib, misalnya tentang
penciptaan langit dan bumi, dan karakteristik Surga dan Neraka. Pada saat
bersamaan mereka menisbatkan kepada imam-imam mereka dan kepada imam mereka
“kedua belas” berbagai hal yang menjadikan mereka sederajat dengan berbagai
sesembahan bangsa Yunani Kuno.
Sesungguhnya
pendekatan antara berbagai kelompok umat Islam dengan berbagai kelompok sekte
Syi’ah adalah suatu hal yang mustahil tercapai, dikarenakan sekte Syi’ah menyelisihi
seluruh umat Islam dalam hal prinsip, sebagaimana yang telah diproklamirkan
oleh An Nushair At Tushi Dan dibenarkan oleh Ni’matullah Al Musawi dan Baqir Al
Khunisari, dan juga dibenarkan oleh setiap anggota sekte Syi’ah. Bila ini telah
terjadi pada zaman An Nushair At Thusi, maka hal ini sejak zaman Al Majlisi
hingga sekarang menjadi lebih parah dan lebih dahsyat!!.
Tidak diragukan lagi
bahwa Sekte Syi’ah lah yang tidak rela dengan adanya pendekatan, oleh karena
itu mereka berkorban dan mengeluarkan dana besar guna mempropagandakan
“pendekatan” di negeri kita, sedangkan mereka enggan dan tidak rela bila hal
tersebut disuarakan atau berjalan walau hanya selangkah di negeri Syi’ah, atau
berpengaruh pada kurikulum sekolah-sekolah mereka.
Oleh karena itu
upaya apa saja guna merealisasikan hal ini akan sia-sia bak permainan
anak-anak, tidak ada gunanya, kecuali bila sekte Syi’ah sudi untuk berhenti
dari mengutuk Abu Bakar dan Umar -semoga Allah senantiasa meridhoi keduanya-,
serta tidak lagi berlepas diri dari setiap orang di luar anggota sekte Syi’ah
sejak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam hingga hari Kiamat. Dan juga bila sekte Syi’ah
telah berhenti dari ideologi pengkultusan para imam ahlul bait sampai-sampai
melebihi martabat orang shaleh hingga mencapai martabat sesembahan bangsa
Yunani. Karena ini semua merupakan tindak kejahatan terhadap agama Islam, dan
perubahan arah agama Islam dari jalur yang telah digariskan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam dan para sahabatnya
yang mulia, di antaranya oleh sahabat Ali bin Abi Tholib beserta anak
keturunannya semoga Allah senantiasa meridhoi mereka.
Bila Sekte Syi’ah
tidak meninggalkan kejahatannya terhadap agama, aqidah dan sejarah Islam ini,
maka mereka akan terkucilkan bersama ideologi mereka yang nyata-nyata
menyelisihi seluruh prinsip umat islam, dan dijauhi oleh seluruh umat Islam
untuk selama-lamanya
Ada suatu fenomena
yang telah kami isyaratkan sebelumnya pada makalah ini secara singkat, yaitu
sesungguhnya kaum komunis yang telah merajalela di Irak dan yang tergabung
dalam Partai Tawaddah (Partai Kasih Sayang) di Iran yang memiliki peranan lebih
besar bila dibanding peranan mereka di negeri-negeri Islam lainnya, sebenarnya
merupakan sempalan dari sekte Syi’ah, sehingga kaum komunis di dua negeri
tersebut terdiri dari generasi muda sekte Syi’ah!! Mereka mendapatkan paham
Syi’ah terlalu tenggelam dalam khurafat, kehinaan, dan kedustaan yang tidak
masuk akal, sehingga mengakibatkan mereka mengingkari paham tersebut! Pada saat
yang bersamaan mereka mendapatkan organisasi-organisasi Komunis gencar
dijajakan oleh para penyerunya, dan menebarkan berbagai tulisan dalam berbagai
bahasa. Dan kaum komunis dalam menjajakan paham mereka menempuh metode ilmiah
dalam hal perekonomian, sehingga dengan mudah mereka terperangkap dalam
jeratnya. Seandainya kaum muda sekte Syi’ah mengenal ajaran agama Islam dengan
murni dan kemudian mereka mengajinya tanpa dinodai oleh paham Syi’ah, niscaya
mereka akan terlindung dari terjerumus ke dalam jurang komunis tersebut.
Tatkala terjadi
tragedi fitnah “Al Bab/pintu” di Iran sebelum seratus tahun silam, dan
Ali Muhammad As Syairazi mengaku sebagai pintu penghubung kepada Al Mahdi yang
mereka nanti-nantikan, kemudian ia secara bertahap mengaku sebagai Imam Mahdi
yang mereka nanti-nantikan, dan ia berhasil merekrut pengikut dari kaum Syi’ah
Iran. Pemerintah Iran kala itu lebih memilih untuk mengasingkannya ke
Azerbejan, dikarenakan Azerbejan adalah pusat kaum Sunni dari para penganut
mazhab Hanafi. Dikarenakan mereka adalah kaum sunni, sehingga mereka memiliki
kekebalan dari terjerumus ke dalam jurang kenistaan, dan khurafat yang diilhami
dari paham Syi’ah tersebut.
Oleh karena kaum
Syi’ah dengan mudah terpedaya dengannya dan dengan mudah mereka memenuhi seruan
“Al Bab” karenanya Pemerintah Iran
enggan untuk mengasingkannya ke negeri yang menganut paham Syi’ah, disebabkan
para penganut Syi’ah telah terdidik untuk menerima kepalsuan semacam ini,
sehingga akan semakin banyak pengikutnya dan semakin besar fitnah tersebut.
Sebagaimana paham
Syi’ah pada abad lalu telah menjadi biang menyebarnya berbagai paham yang
serupa dengannya, misalnya seruan orang-orang yang mengaku sebagai “Al Bab” dan
sekte “Baha’iyah”, demikian juga paham Syi’ah pada zaman sekarang telah menjadi
biang munculnya sikap anti pati di tengah-tengah kaum terpelajar dari generasi
mudah kaum Syi’ah yang mulai sadar. Ini semua terjadi karena paham Syi’ah
terlalu hina sehingga tidak layak untuk diyakini oleh orang yang berakal sehat.
Akibatnya mereka pun murtad dari paham Syi’ah dan bergabung
dengan kaum Komunis yang dengan tangan terbuka menerima mereka. Sehingga dalam
waktu singkat kaum Komunis telah memiliki pengikut di Irak dan Iran, dan jumlah
mereka jauh lebih banyak bila dibanding dengan jumlah mereka di negeri-negeri
islam lainnya yang menganut paham sunni.
Inilah yang dapat
kami paparkan pada kesempatan ini, sebagai upaya kami untuk menjalankan
kewajiban yang telah Allah letakkan pada bahu-bahu umat Islam, berupa kewajiban
memberikan nasihat kepada Allah, Rasul-Nya, kalangan tertentu dari umat islam
dan masyarakat umum mereka. Dan Allah akan senantiasa menjaga agama-Nya dan
negeri Islam dari upaya penghancuran musuh dan makar mereka hingga hari Kiamat.
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat.
Disebarkan di
Maktabah Abu Salma al-Atsari atas izin muslim.or.id
Hak cipta berada di
tangan penulis dan webmaster muslim.or.id
Risalah ini dapat
disebarluaskan dan diprint/dicetak selama tidak untuk komersial dan hanya
dibagikan gratis
[1] Bantuan semacam ini sepanjang sejarah
telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat para da’i yang mereka utus
dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri Sunni yang terdapat
padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah yang padanya terdapat minoritas
kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang da’i Syi’ah yang
datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi
dalam kitabnya yang berjudul “Al Hawi Lil Fatawi”, cet Percetakan Al
Muniriyyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan oleh da’i asal Iran tersebutlah As Suyuthi
menuliskan karyanya yang berjudul “Miftahul Jannah Fil I’itisham Bissunnah.”
[2] At Taqiyyah ialah seseorang
menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Mereka dalam hal ini
berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya hadits yang mereka sebut-sebut
dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang pada hadits ini -menurut
anggapan mereka- beliau berkata: “At Taqiyyah termasuk amalan seorang mukmin
yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan
orang-orang jahat.” (Baca: Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka
Ja’fary, India).
[3] Kelanjutan surat
ini -sebagaimana dapat anda lihat pada halaman selanjutnya- sebagai berikut:
“Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama,
sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya
orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh
dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan
mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada
mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa
yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul?? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka
hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali
termasuk para saksi.”
[4] Salah seorang ulama’ terkemuka Syi’ah Agha Buzurk At
Thohrany, penulis ensiklopedia Syi’ah yang telah masyhur “Az Dzari’ah Ila
Tashonif As Syi’ah” menuturkan dalam bukunya: “Thobaqaat A’alaam As
Syi’ah”, bagian kedua dari juz pertama, yang lebih dikenal dengan judul: “Nuqaba’
Al Basyar Fi Al Qarni Ar Rabi’ ‘Asyar”, pada hal: 544, cetakan Pustaka Al
Ilmiah Najef 1375 H-1956 M, ia berkomentar tentang An Nury At Thobarsy: “Ia
adalah pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) pada generasi
terakhir, dan termasuk ulama’ terkemuka Syi’ah, dan tokoh Islam terkemuka pada
abad ini.”
[5] Yang dimaksudkan oleh Abu Manshur At
Thobarsy dengan sebutan munafik ialah para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang telah mengumpulkan teks-teks Al Quran, dan yang
diamalkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib sepanjang masa khilafahnya.
Seandainya kisah palsu yang ia rekayasa dalam bukunya “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli
Al Lijaj” atas nama sahabat Ali benar-benar diucapkan oleh sahabat Ali radhiallahu
‘anhu, maka ini merupakan pengkhianatan beliau terhadap agama Islam, sebab
ia menyimpan sepertiga Al Quran yang hilang dan ia tidak berusaha
memunculkannya, tidak juga mengamalkannya tidak juga memerintahkan masyarakat
untuk mempelajarinya, minimal semasa khilafahnya, padahal tidak ada alasan yang
menghalanginya untuk melakukan hal itu. Ia menyembunyikan bagian dari Al Quran
sebanyak ini dalam keadaan rela dan tanpa paksaan merupakan kekufuran, bila
ucapan ini benar-benar beliau yang menuturkannya. Dari sini anda dapat
mengetahui bahwa Abu Manshur At Thobarsy penulis buku “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli
Al Lijaj” dengan bukunya ini telah mencela sahabat Ali sendiri, dan ia
menyebutnya telah berkhianat dan kafir, sebelum ia mencela sahabat-sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain dan menyifati mereka
dengan kemunafikan.
[6] Doa ini juga dimuat dalam buku “Tuhfatul
Awam Maqbul” yang memuat tanda tangan Ayatullah Al Khumaini, Ayatullah
Syariatmudari, Ayatullah Abul Qasim Al Khu’i, Sayyid Muhsin Al Hakim At
Thobathoba’i……dll, padahal dari mereka itu terdapat orang-orang yang dikatakan
moderat, di antaranya Ayatullah Al Khu’i dan Sayyid Muhsin Al Hakim.
[7] Mengapa hal ini tidak pernah dilakukan
oleh kakeknya, yaitu sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu selama
ia menjabat sebagai kholifah? Apakah cucunya yang ke dua belas lebih besar
pengorbanannya demi Al Quran dan agama Islam?
[8] Nabi Daud ‘alaihissalam adalah salah seorang
nabi-nabi Umat Yahudi. Bila Nabi Musa ‘alaihissalaam hidup sekarang ini,
ia akan beragama dengan agama Islam dan berhukum dengan hukum Islam, bukan
dengan hukum Taurat atau hukum nabi Daud -hal ini sebagaimana disebutkan dalam
hadits riwayat Imam Ahmad, Al Baihaqy dll- mengapa para Imam sekte Syi’ah
justru berhukum dengan hukum Nabi Daud?! Dan bila Nabi ‘Isa ‘alaihissalam
ketika turun kembali ke dunia kelak sebelum hari kiamat juga berhukum dengan
hukum Al Quran, -sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Bukhari dan
Muslim- dan bukan dengan hukum nabi Daud, mengapa para imam sekte Syi’ah justru
berhukum dengan hukum keluarga Daud?! Bukankah ini merupakan indikasi kuat
bahwa sebenarnya sekte Syi’ah hendak menghidupkan agama nabi Daud ‘alaihi
salam yaitu agama Yahudi di tengah-tengah masyarakat Islam??!! (pent-)
[9] Suatu kelaziman atas kita untuk
mengisyaratkan di sini, bahwa cucu Holako Khan, yaitu Sultan Gazaan, tatkala
datang pada tahun 699 H untuk menguasai negeri Syam, yang menjabat sebagai
perdana menterinya ialah cucu pembela kekufuran At Thusi yang bernama
Ashiluddin At Thusi. Gazaan melakukan berbagai kekejaman di kota Damaskus,
memerkosa, menumpahkan darah, dan mencuri kitab-kitab ilmu. Hingga akhirnya
Allah ta’ala memudahkan bagi Al Imam Al Mujahid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dalam memimpin umat Islam melawan diktator ini, dan kemudian Allah melimpahkan
kemenangan atas beliau pada peperangan Syaqhab yang telah masyhur dan yang
terjadi pada tahun 701 H.
[10] Dan terowongan ayahnya -seandainya memang benar bahwa
ayahnya memiliki terowongan- maka para pengikut sekte Syi’ah tidak mungkin
untuk memasukinya, karena terowongan tersebut berada di kekuasaan Ja’far
saudara kandung Al Hasan Al ‘Askari, dan ia meyakini bahwa saudara kandungnya
yaitu Al Hasan tidak memiliki anak lelaki, tidak di dalam terowongan fiktif
tersebut juga tidak di luarnya. Dan bila ia bersembunyi di berbagai
terowongan!!! maka mana mungkin mereka dapat menemukannya…
[11] Di antara lelucon adalah: bahwa sebagian buku Syi’ah
mengingkari pernikahan sahabat Umar bin Al Khatthab dengan putri Ali Bin Abi
Tholib. Bahkan mereka menyebutkan bahwa Ali dan keluarga menyerahkan kepada
Umar wanita lain yang dirubah wajahnya menyerupai Ummu Kultsum… Lelucon ini
seperti dinyatakan dalam pepatah: “Maksud hati mereka ingin meriasnya dengan
celak, akan tetapi mereka malah menjadikan matanya buta!!”. Sepeninggal
Umar bin Al Khatthab setelah ditikam oleh Abu Lulu’ah Al Majusi, apakah saudara
sepupunya Muhammad bin Ja’far menikahi Ummu Kultsum yang sebenarnya ataukah
menikahi wanita yang diubah wajahnya?! Demikian juga tatkala Muhammad bin
Ja’far meninggal, apakah saudara kandungnya yaitu ‘Aun menikahi Ummu Kultsum
ataukah wanita lain yang menyerupainya!?
[12] Analisa ini perlu dikaji ulang; karena
belum terbukti bahwa Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far bin Abi Tholib menamakan
putranya dengan sebab mengharapkan agar anaknya menjadi seperti Yazid bin
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Sedangkan nama Yazid kala itu telah dikenal di
masyarakat Arab, diantaranya panglima perang sekaligus sahabat mulia Yazid bin
Abi Sufyan, paman Yazid bin Mu’awiyah.
0 komentar
Posting Komentar