Episode 1
Senja di Selat
Sunda
Di Atas Bus Malam
Aku usap kaca
jendela bus beberapa kali, membentuk bulatan-bulatan kecil. Terasa dingin di
telapak tanganku. Lalu aku hapus semuanya. Embun yang menempel di kaca jendela
pun hilang sudah. Bayangan yang seolah-olah menghalangiku terhadap dunia luar
sudah tak ada lagi. Pagi baru saja menjelang. Langit timur yang aku tinggalkan
semalam kini dipulas kemerahan. Tampaknya matahari mencoba menggeliat;
membebaskan cahayanya supaya bisa menyentuh sahabatnya, pucuk-pucuk padi yang
sedang kesepian menguning.
Bus keluar di
mulut tol Ciujung, kira-kira 20 km sebelum kota Serang. Jalan tol
Cikampek-Merak memang terputus di sini. Sisanya sedang dalam pengerjaan. Jika
jalan tol ini sudah rampung, tentu segalanya akan jadi lancar. Tapi kata versi
yang lain, malah kota-kota di eks Karesidenan Banten ini akan semakin
ketinggalan, karena tak akan satu pun kendaraan yang singgah. Seperti kata
sebuah anekdot, kalau sudah ngebut di jalan tol suka lupa berhenti. Berarti,
semua kendaraan cuma akan melaju kencang melintasi eks Karesidenan Banten dan
"wusssss!" anginnya saja yang membekas.
Bus terus meluncur
menyibak genangan air, sisa dari hujan semalam. percikannya berhamburan
dilindasi roda-roda dan menimbulkan bunyi desisan yang merdu. Beberapa orang
sudah ada yang mulai menggeliat dan sibuk memberesi barang-barangnya. Tapi
Nana, yang mengajakku liburan ke kampung halamannya, masih asyik bermimpi.
Aku sendiri tidak
bisa menikmati perjalanan bus malam ini. Terguncang-guncang sepanjang
Yogya-Magelang-Semarang, dibanting ke kiri-ke kanan di Alas Roban,
terkatung-katung membosankan di jalur lurus Cirebon-Cikampek, dan melaju dalam
kecepatan tinggi dijalan tol Cikampek-Merak, bukanlah sesuatu yang menyenangkan
buatku untuk teman tidur. Aku betul-betul iri melihat Nana tertidur yenyak.
Wajah yang cantik itu tampak begitu damai. Tak terganggu oleh goncangan bus.
Jiwa dan raganya memang sudah menyatu dengan alam. Dan selalu pasrah pada
kehendak Tuhan.
Padahal aku
mengenal Nana belum begitu lama. Dia adalah sahabat baruku. Dua tahun yang
lalu, waktu itu sedang Pekan Orientasi Mahasiswa, aku melihat Nana sebagai
calon mahasiswi yang keras kepala, Itu mungkin ungkapan yang tepat baginya
selain sebutan pemberani. Setiap ada raka-raka fakultas yang iseng padanya, si
perkasa yang cantik itu menggeliat liar seperti ular. Setiap hukuman
dijalaninya dengan tegar dan menantang, sampai-sampai para raka bosan dengan
ulahnya. Ketika tiba giliranku dibulan-bulani para raka, dia tidak segan-segan
membela dan membantuku. Dan bahkan pada siapa saja.
"Terima
kasih," aku betul-betul malu padanya, ketika dia menyelamatkan aku dari
hukuman push up seorang raka yang over acting.
Nana membalas
dengan senyuman tipis. Lalu, "Namaku Nana," nadanya tegas ketika
menyebutkan namanya.
"Aku sudah
tahu," kataku membersihkan kedua lutut dan telapak tanganku. "Kamu
cukup beken di sini," aku tersenyum. "Tina, namaku," aku ulurkan
pula lenganku.
Lantas kami
berkawan.
"Aku dari
Pandeglang," kata Nana di saat lain, ketika acara makan siang nasi bungkus
di halaman kampus.
Nama kota itu
sungguh asing bagiku.
Nana tersenyum
kecut. Ketika dia menyebutkan nama yang lain, aku baru mengerti di mana letak
kota yang disebutkannya itu.
"Banten,"
aku mengingat-ingat nama sebuah tempat di ujung barat Pulau Jawa, yang terkenal
dengan hal-hal magisnya. Pantas kalau Nana begitu berani menentang para raka,
batinku saat itu.
Aku sangat
menyukai sejarah. Di sana pernah ada sebuah kerajaan Islam –yang menurut
historiografi didirikan oleh Maulana Hasanuddin- yang gigih melawan gerogotan
taring penjajah. Lantas kerajaan Islam itu dihancurleburkan oleh Herman Willem
Daendels. Juga ada suku Baduy, penduduk yang mengasingkan diri di wilayah
Kanekes, pesona Gunung Krakatau yang mengagetkan dunia ketika tahun 1883
melumat 163 desa dan mencabut 36.000 nyawa manusia, kesenian debusnya, juga
gemulai ombak serta kemolekan pantainya.
"Pelajaran
geografiku payah!" aku tertawa.
"Tapi kotaku
memang tidak ngetop. Kalah bersaing dengan kota-kota lainnya di Banten,"
Nana memaklumi.
Aku langsung
membongkar-bongkar buku geografiku di rumah. Aku pelajari wilayah paling barat
di Jawa itu. Ada beberapa kota di eks Karesidenan Banten. Selain Tangerang yang
sudah "dicaplok" Jakarta dengan Jabotabek-nya, juga ada Serang,
Cilegon, Merak, Pandeglang, dan Rangkasbitung. Kota-kota ini memang masih asing
buatku, padahal kisah masa lalunya yang termashur sudah sering aku baca.
Setelah itu
akujadi lengket dengan Nana.Aku sering mampir ke tempat kosnya di setiap
kesempatan. Kadang kala aku bawa Nana dengan sedan mutakhir pemberian Papa
keliling Yogya; memperkenalkan pesona wisatanya.
"Kenapa kamu
sia-siakan keindahan kotamu, Tina?" kata Nana.
"Maksudmu?"
"Kamu akan
bisa melihat dan merasakan keindahan Yogya lebih banyak lagi dengan naik bus
daripada naik mobil sendiri."
Aku tidak langsung
setuju pendapatnya. Tapi tidak pula aku biarkan menggantung. Pelan-pelan aku
mencoba mengikuti kehidupan yang ditawarkan Nana, sebagaimana layaknya orang
yang merantau. Ke mana-mana selalu naik kendaraan umum atau berjalan kaki.
Hari-hari bergulir, minggu berganti ke bulan, lalu jadi merupakan kebiasaan
menjalaninya. Dan aku menyukainya.
Orang-orang di
rumah, baik Papa, Mama, Robby kakakku dan pacarku Anton –dua yang terakhir
doyan olahraga mobil, jenis olahraga yang kata Nana cuma semakin menambah
polusi bumi saja- cukup terheran-heran juga melihat perkembangan hidupku, yang
tiba-tiba jadi lebih mencintai lingkungan hidup ketimbang mengotorinya. Begitu
juga kawan-kawan pestaku semasa di SMA. Lambat-laun, mereka berguguran
meninggalkanku dengan senyum yang ganjil.
Lantas sedan
mutakhirku hampir tidak pernah aku gunakan lagi, kecuali jika sedang dalam
keadaan darurat. Ketika Robby bermaksud memakainya pun, aku tidak keberatan.
Malah aku hibahkan padanya dengan timbal balik dua buah mountain bike. Aku
bermaksud, dengan dua sepeda gunung itu, bersama Nana bisa menyelusuri Yogya
setiap Minggu pagi.
"Lebih enak
naik sepeda 'kan!" Nana mengayuh sepedanya dengan terengah-engah, melahap
tanjakan menuju hutan wisata Kaliurang.
Tapi aku turun
dari sadel. Menuntun sepeda. Nana juga turun. Kami saling tersenyum. Dua dunia
yang berbeda sedang berusaha untuk bersatu. Duniaku adalah kehidupan seorang
gadis yang selalu tergantung pada orang lain. Sedangkan Nana adalah seorang
wanita yang bertanggung jawab pada dirinya. Yang tidak memberikan hidupnya
untuk jadi tanggung jawab orang lain.
"Liburan
semester besok, aku ada reuni dengan kelompok pecinta alamku di SMA," Nana
menyeka keringat di kening dengan punggung tangannya. "Aku mengundang kamu
lagi untuk liburan di kampung halamanku," Nana mengajukan tawaran berlibur
lagi.
Episode 2
Senja di Selat
Sunda
Entah ini tawaran
Nana yang keberapa kali. Setiap liburan semester tiba, aku cuma berani
mengantarnya sampai di pintu bus saja. Aku tidak pernah punya keberanian untuk
menerima ajakannya. Terlebih-lebih Anton, yang selalu paling pertama menentang
ajakan Nana.
"Sekarang
kamu harus mau!" suara Nana ada tekanan.
Aku agak kaget juga.
Ini sebetulnya 'petualangan besar' buatku. Berlibur di kampung halaman orang
lain. Terus terang saja, aku tidak terbiasa bepergian dalam jarak jauh dengan
bus umum. Kalau tidak naik pesawat, ya kendaraan pribadi. Tapi ketika aku
mengenal Nana, ada ‘sesuatu' yang selama ini tidak pernah menyentuh
kehidupanku.
"Bagaimana,
Tina? Mau?"
Aku berpikir
keras. Aku belum berani mengiyakan ajakan Nana. Aku takut, karena belum pernah
mengalami liburan seperti yang ditawarkannya. Selama ini aku cuma memesan tempat
untuk berlibur lewat biro-biro perjalanan. Segalanya sudah serba teratur dan
menyenangkan. Naik pesawat; kalau tidak ke negara tetangga atau beberapa kota
di Eropa dan Australia, paling sial ke Bali, Lombok, dan Medan. Tidur di hotel
dengan menu makan yang terjaga.
Dan sekarang
berlibur ke kampung halaman Nana?
"Kamu akan
aku ajak keliling Banten, Tina. Akan aku kenalkan pada pesona yang
sesungguhnya," Nana serius sekali.
"Nanti aku
bicarakan dulu sama Papa dan Mama," itu yang keluar dari mulutku.
"Juga
Anton," Nana tampak berusaha menyimpan kekecewaannya.
Sebetulnya aku
sudah tahu apa jawaban mereka nanti; Mama, Papa, Robby, dan terlebih-lebih
Anton. Tak akan ada seorang pun yang mendukung. Tapi aku berharap Papa akan
mendukung, jika aku punya keinginan yang kuat.
"Apa? Liburan
ke Banten?" begitu jelas tergambar kengerian di wajah Mama pada saat makan
malam. Ini tidak berbeda ketika aku utarakan pada awal-awal persahabatanku
dengan Nana. Juga oleh Anton sebelumnya.
Papa dan Robby
tertawa, sampai-sampai terbatuk.
"Nanti kamu
nggak akan bisa pulang!" Robby menyambar air putih. Meminumnya. Tambahnya
masih tertawa, "Cowok di sana 'kan terkenal jago pelet!" sambil
menyebutkan 'ilmu' yang biasa digunakan lelaki untuk menjerat wanita. Hal ini
pun sudah dikatakan oleh Anton dengan perasaan was-was.
Aku bergidik juga
mendengar kata 'pelet' tadi. Aku memang pernah mendengar bahwa suka ada lelaki
yang menggunakan pelet untuk mendapatkan wanita idamannya.
"Ayo dong,
dimakan kacangnya!" ledek Susi, putri Solo.
Nana cuma
tersenyum. Dia tampaknya memaklumi guyonan mereka tentang imej daerahnya, yang
sudah kondang dengan permainan debus-nya. Bahkan yang kurang ajar, beberapa
kawan sekelas memohon-mohon pada Nana untuk diajarkan cara memikat lelaki impian.
Memang, setelah
pekan orientasi selesai, Nana menjelma jadi pusat perhatian. Hampir semua
lelaki se-fakultas ramai menggunjingkannya. Katakanlah Nana menjadi
"primadona kampus". Tapi sebagian menganggap, karena Nana berasal
dari Bantenlah kenapa semua lelaki di fakultas terpusat padanya.
"Diapasti
punya 'apa-apa'!" omongan seperti ini sering aku dengar.
"Heh,
'apa-apa' bagaimana, sih?"
"Ah,
bego!"
"Ora mudeng,
aku!"
"Itu lho,
semacam peletlah!"
"Atau
susuk!"
Aku yang terbiasa
diajarkan untuk menggunakan logika di rumah, cuma geleng-geleng kepala saja.
Aku pernah membaca di koran gosip tentang beberapa artis yang menggunakan susuk
agar tetap bersinar nasibnya di dunia perfilman atau tarik suara. Tapi terjadi
pada Nana? Bagiku ini cuma karena Nana yang selain cantik, juga pandai bergaul
dan tak pernah pilih-pilih teman. Di senat dia aktif. Di kelompok pecinta alam
mahasiswa, dia semakin menonjol. Dalam kegiatan sosial kampus, wah, jangan
ditanya. Itu saja. Tak ada pelet atau susuk pada diri Nana.
Tapi untuk
memuaskan rasa ingin tahu sekelompok orang, dengan tenang Nana menyuruh mereka
datang ke tempat kosnya. Nana menjanjikan akan memberi 'apa' yang mereka minta.
Aku pun termasuk yang datang.
"Jangan
berebut!" kata Nana.
Ada sebuah bungkusan
sebesar buku di halaman rumah kosnya. Nana menyuruh mereka mengambil isinya dan
dimasukkan ke dalam kotak korek api, yang sudah mereka persiapkan sebelumnya.
"Rahasiaku
ada di kotak itu!" kata Nana meyakinkan.
"Apa
isinya?" kataku.
"Buat memikat
cowok!" aku lihat Nana menahan tawa.
Hidungku yang
sudah terbiasa dengan wewangian mahal, mengisyaratkan lain. Tapi kawan-kawan
sudah begitu kebelet. Bungkusan itu dibuka. Lalu terdengar jeritan; rasa jijik,
dan kebingungan.
"Apaan
ini!" bungkusan berisi kotoran kerbau itu dibuang.
"Olesin aja
di pipi cowok impian kalian!" kata Nana tertawa senang, karena sudah
berhasil 'membodohi' mereka. "Ditanggung manjur. Kalian pasti
dikejar-kejar!"
Sebetulnya ini
lelucon tidak lucu, yang memperlihatkan "kebodohan" kami.
Keterlaluan. Tapi aku selalu tertawa sendiri jika ingat kejadian itu.
Akibatnya, setelah kejadian 'memalukan' itu tak ada lagi yang 'mengusik' Nana
tentang hal-hal aneh daerahnya.
Papa menatapku.
"Betul kamu mau liburan dengan Nana?" Papa seperti memberi kekuatan
padaku.
Aku mengangguk
ragu-ragu.
"Bagaimana
dengan Arjunamu, si Anton?"
"Akan Tina
beri pengertian, Pa," aku menghibur diri, walaupun tahu Anton yang paling
keras menentang setiap rencana liburanku dengan Nana.
"Jangan, Pa!
Jangan kita izinkan Tina berlibur ke sana!," Mama masih khawatir.
"Bagaimana kalau nanti sampai terjadi apa-apa pada Tina?"
"Terjadi
apa-apa, bagaimana?" Papa tertawa. "Mama ini terlalu banyak baca
cerita mistik. Soal black magic-lah; santet, teluh, atau peletlah!
Sekarang hal-hal
seperti itu sudah jadi bumbu-bumbu pariwisata, Ma. Misalnya, kesenian Banten
yang kesohor itu, debus, malahan sering mengharumkan negara kita di
negara-negara lain. Jadi, jangan berprasangka dulu. Apalagi sekarang sudah abad
komunikasi. Era globalisasi," Papa menekankan pembicaraannya.
"Kalau ada
lelaki yang melet Nana?" Mama terus saja berusaha melarang.
Papa tertawa,
"Kalau 'pelet' itu betul ada, kenapa mesti si Nana? Anak kita 'kan nggak
terlalu cantik," Papa melirik padaku. "Mendingan Liz Taylor atau
Brooke Shield sekalian!"
Aku merajukdan
menggelayut di bahu Papa. Mama cuma bersungut-sungut, tidak bisa berbuat
apa-apa lagi.
Robby nyeletuk,
"Nana ternyata sudah mengubah Tina!"
Dalam hati aku
mengiyakan pendapat Robby.
Aku jadi teringat
pertengkaran dengan Anton seminggu sebelum keberangkatan. Semua berpangkal cuma
pada Nana. Anton merasa kalau aku lebih mementingkan Nana ketimbang dirinya.
"Ingat,
Anton. Sudah berkali-kali kamu menentang Nana untuk mengajak aku berlibur di
kotanya. Lantas kalau ajakannya kali ini pun kamu larang, sampai kapan aku bisa
memilih acara berlibur sendiri, Anton?
Aku jadi kesal,
kok dilarang-larang! Emangnya kamu berhak mengatur hidup orang lain,
Anton?"
Episode 3
Senja di Selat Sunda
"Kapan aku
melarang kamu, Tina, kecuali rencana 'gila'mu yang satu ini?" nada kalimat
Anton tegang.
"Kalau
begitu, apa masalahnya aku berlibur bersama Nana!"
"Masalahnya?
Sudah berulang-ulang aku bilang, jangan berlibur ke sana! 'Kan masih banyak tempat
yang bagus, Tina! Kalau kamu bosan ke Bali, Lombok, ayo kita berlibur ke Irian
kalau perlu!"
"Kenapa mesti
risau, Anton? Daerah itu sama saja dengan daerah-daerah yang lain! Masih tetap
di Indonesia."
"Tapi tetap
jangan berlibur ke sana!"
Aku tidak habis
pikir dengan 'kebodohan'nya kali itu, yang tetap bersikeras melarang aku
berlibur bersama Nana ke Banten. "Aku tetap pergi, Anton, apa pun
taruhannya! Aku nggak peduli kalau nanti ada cowok sana yang melet aku!
Syukur-syukur ada, kalau itu bisa membuatmu puas!" akhirnya aku
mengultimatum.
Anton tampak kaget
melihat aku bicara begitu. "Ngomongmu ngawur, Tina! Bisa kualat
kamu!" dia memperingatkan.
"Aku nggak
peduli!"
"Gara-gara
kamu berkawan sama 'anak kampung' itu, hubungan kita jadi kacau!" dia
memaki dengan tidak sopan. Aku merasa tersinggung mendengar makiannya waktu
itu. "Kamu anggap Nana seperti itu? Jadi kamu ini 'anak kota', Anton?!
Lebih beradab ketimbang Nana, begitu?!" otot leherku tertarik saking
marahnya.
Anton wajahnya
merah padam dibentak-bentak oleh aku.
"Baik, baik,
Anton! Kalau modernisasi atau istilahmu 'anak kota' itu diukur oleh yang
namanya cineplex, fast food, mall, rally mobil, disco, dan tetek bengek
lainnya, berarti selamat tinggal modernisasi!
Aku akan siap disebut
sebagai 'anak kampung' oleh kamu, karena semua merek modernisasi itu aku
tinggalkan! Ternyata nggak buruk jadi 'anak kampung' seperti Nana, yang begitu
peduli terhadap lingkungan!" aku membentak-bentak lagi. "Ketimbang
jadi 'anakkota' sepertimu, yangcuma hura-hura!" aku masih belum puas.
"Tina!"Anton
memegang bahuku.
"Apa pun yang
kamu katakan, aku tetap akan pergi dengan Nana!"
"Walaupun
taruhannya hubungan kita, Tina?" ancamnya.
"Ya, hubungan
kita!"
Aku sebetulnya
berharap untuk tidak kehilangan dia. Anton memang pacarku yang kesekian, tapi
kali ini aku berusaha untuk menjadikan dia sebagai yang terakhir. Tapi, apa
boleh buat. Sebuah hubungan yang menjalin dua perasaan, aku kira, kalau sudah
ada usaha untuk memaksakan kehendak yang satu pada yang lainnya, itu tidak akan
jadi baik. Bukankah semua harus bermula dari rasa saling pengertian dan
bermuara pada kesamaan sikap?
Anton meninggalkan
aku dengan amarah yang terpancar dari sorot mata dan wajahnya. Dia tampaknya
serius dengan ucapannya. Terbukti setelah pertengkaran itu, aku tidak pernah
melihatnya lagi.
"Anton
ngambek?" Nana merasa tidak enak ketika aku tidur-tiduran di kamar kosnya.
Aku menutup wajah
dengan majalah.
"Ajak saja
Anton berlibur."
Aku lempar
majalah. "No, no way!" kataku tegas. "Liburan kita bisa runyam
kalau Anton ikut!"
"Aku nggak
ingin hubungan kalian..."
"Lupakan
hubunganku dengan Anton!" aku memotong.
"Maksudmu?"
Nana merasa tidak enak.
"Aku memilih
pergi dengan kamu, Nana, daripada diatur oleh Anton!"
"Oh, ajakanku
kali ini ternyata memakan korban!" Nana membenturkan telapak tangannya ke
dahi. "Maatkan aku, Tina."
"Sekarang,
bawalah aku ke kotamu, Nana! Akan aku buktikan, apakah betul segala cerita di
majalah atau omongan orang-orang itu!"
"Cuma sekedar
itu, Tina?"
"Aku ingin
jadi diri sendiri, Nana, seperti halnya kamu selama ini. Yang tak pernah takut
melakukan segala hal yang kamu sukai," aku memang iri padanya.
Nana tersenyum
tipis, "Rasa 'takut' itu tentu ada, Tina. Pada semua orang. Aku juga.
Dengan adanya rasa 'takut' itu, kita jadi bisa menghargai apa arti hidup
ini."
Aku sering
mendapat 'pelajaran' berharga dari setiap omongannya. Betapa luas pandangannya
tentang 'apa itu hidup'. Dia seolah-olah tahu apa yang akan diperbuat dan tahu
bagaimana menemukan jalan keluar yang terbaik ketika dalam kesulitan. Mungkin
ini tejadi pada semua orang yang merantau. Aku kira, "Iya".
Kini keputusanku
untuk ikut berlibur bersama Nana semakin kuat. Aku rasa ini terdorong oleh
'ingin membuktikan sesuatu', yang selama ini tidak pemah aku peroleh atau rasa
'solidaritas perempuan', yang selalu identik dengan ketergantungan pada orang
lain. Pada lelaki.
"Sudah, pergi
saja, Tina. Jangan kamu gubris omongan Mamamu dan si Robby!" Papa
merangkul bahuku ketika nonton TV di malam yang hangat. "Juga lupakan itu
si Anton!"
Papa, Mama, dan
Robby mengantarkan aku ke tempat bus malam. Sebelum aku naik ke bus, Mama
berulang-ulang mencium pipi dan memelukku. Saat itu aku merasa jadi boneka
tontonan yang aneh bagi penumpang bus. Bahkan mereka masih saja membuntuti bus
yang aku tumpangi sampai batas kota. Aku tahu itu atas suruhan Mama.
Nana cuma tertawa
saja melihat kejadian yang aku alami. Menjadi anak yang terlahir di atas
kehormatan dan kekayaan tidak melulu enak. Setidak-tidaknya itulah yang aku
alami. Ada yang terasa kurang dalam kehidupanku. Mungkin aku bisa
mendapatkannya dari Nana nanti.
Bus malam
Yogya-Merak terus meluncur menyambut pagi yang basah.
Aku sikut Nana.
Dia menggeliat. Aku lihat dari balik kaca jendela bus, di kiri-kanan jalan,
banyak orang-orang sebayaku berdiri. Aku perhatikan malah lebih banyak kaumku
ketimbang lelaki. Mereka sedang bergerombol di pintu gerbang pabrik-pabrik. Aku
lihat mereka sedang sarapan alakadarnya; bacang, ketan, lontong, atau bubur
seharga 100 perak-an.
"Mereka
karyawan pabrik," Nana sudah bangun. Dia menghaluskan sebuah kata yang
tidak enak, 'buruh', jadi 'karyawan'. Euphemism yang sia-sia buatku.
Di Indonesia
segalanya memang serba dihaluskan agar kedengaran manusiawi. Nanti bisa
menyinggung perasaan. Bisa dibilang bukan bangsa yang beradab. Wah,
jangan-jangan sebutan 'pembunuh' bisa dirubah jadi 'mengambil nyawa' atau
'korupsi' bergeser jadi 'menyembunyikan uang'. Ini juga euphemism yang sia-sia.
Aku lihat betapa
banyak pabrik berdiri di tanah-tanah produktif; menghimpit perkampungan dan
persawahan. Sedangkan yang aku tahu tentang arti nama kota "Serang"
bukankah "sawah"? Tapi, ke mana sekarang sawah-sawahnya?
"Pabrik sudah
merajalela di sini. Jauh berbeda ketika aku masih kecil, Tina. Persawahan di
mana-mana. Sungai yang bening, anak yang menggembalakan kerbau serta itik, jadi
lukisan sehari-hari," Nana rupanya merasakan pikiranku.
Episode 4
Senja di Selat
Sunda
Nana menceritakan
keprihatinannya yang lain, "Sekarang polusi sudah bukan milik orang kota
lagi, tapi mulai merambah ke kampung-kampung. Sungai Cidurian, batas
Serang-Tangerang tadi, contohnya. Semua penduduk yang hidup di sepanjang Sungai
Cidurian kini merasakan tak bisa nyaman lagi memanfaatkan airnya yang sudah
tercemar. Mereka jadi korban segala macam penyakit yang kini mewabah.
"Aku benci
sekali, Tina, dengan boss-boss pabrik itu, yang cuma mau memikirkan
keuntungannya saja tanpa mau memperhatikan kehidupan lingkungan di sekitar
pabriknya. Mereka saling tuding; melemparkan tanggung jawab. Dan, memang,
sangat pintar serta licik bersembunyi pada kebijakan pemerintah."
Aku
manggut-manggut. Ternyata bukan cuma Teluk Jakarta saja yang hancur biota
lautnya, karena limbah sialan dari pabrik-pabrik yang berjejer di dua belas
sungai yang bermuara di perairan Tanjung Priuk itu. Tapi sungai-sungai di
kampung pun bernasib sama. Ini buatku seperti pertanda dari Tuhan, bahwa jika
alam dirusak, maka akibatnya malapetaka.
Tapi aku tidak
pernah memikirkan hal-hal seperti itu. Paling-paling sesekali, jika ada dompet
bencana alam dikoran-koran, aku suka iseng mengirimkan uang agar namaku tertera
di koran.
"Kamu tahu,
Tina, apa dampaknya yang lain dengan adanya pabrik-pabrik itu?"
Aku menggeleng.
"Krisis pembantu!"
Aku hampir saja
tertawa.
"Sekarang,
Tina, gadis-gadis kampung lebih tergiur kerja di pabrik daripada jadi pembantu.
Kenapa? Karena kalau kerja di pabrik, kata mereka, ada santainya. Bisa saling
lirik jika ada cowok cakep, ngegossip, dan tentu statusnya lebih bergengsi
dibandingkan dengan pembantu.
Padahal gaji
seorang karyawan pabrik seperti mereka tidak lebih tinggi dari pembantu rumah
tangga."
Aku mendengarkan
'sarapan pagi' dari Nana dengan 'lahap'. Ini 'menu' istimewa buatku, yang tidak
pernah tersedia di 'meja makan' di rumah.
Nana berdiri.
Melihat ke depan."Sebentar lagi kita turun, Tina," katanya.
Bus berbenti di
mulut by pass. Agak di luar kota. Dibutuhkan waktu bampir 14 jam perjalanan
melintasi malam untuk sampai ke sini. Perjalanan yang 'menyebalkan'. Seluruh
tubuhku terasa gatal, dan bau keringat. Mulut pun begitu pahit dan tidak sedap
baunya.
Aku seret ranselku
yang masih baru. Perjalanan belum berakhir. Kami menyambung lagi dengan bus
kecil. Dari terminal bekas ibu kota eks Karesidenan Banten ini, bus meluncur 25
Km ke arah selatan. Aku sebetulnya sedang bermimpi mandi di bathtub, membasuh
badan yang bau dan lengket oleh keringat. Lantas berbaring di kasur empuk. Tapi
mau tidak mau aku harus merasakan dan menikmati 'penderitaan' ini.
Beberapa saat
setelah itu, "Heh, bangun!" Nana menyikut sambil tertawa lucu.
Aku tersentak.
Kaget juga. Aku tidak mempercayai apa yang terjadi. Aku tertidur tadi? Di atas
bus? Kalau saja Papa, Mama, Robby, dan Anton tahu! Tapi aku tidak sempat
memikirkannya lagi, karena Nana sudah berada di pintu belakang bus. Aku
tergesa-gesa dan agak malas mengikutinya.
Kini udara sejuk
menyelimuti tubuhku. Aku lihat Gunung Karang menjulang di depanku. "Sudah
sampai?" aku duduk di trotoar sambil memeluk ransel. Menunduk dan
menyembunyikan kepalaku, di antara kedua lenganku. Aku mencoba untuk tidur
lagi. Rasanya seluruh tubuhku begitu berat untuk digerakkan.
Nana tertawa. Dia
ikut duduk. Berbisik, "Kita jalan kaki sekarang. Nggak jauh, kok."
Suara ringkikan kuda tiba-tiba menyusup ke telingaku. Tak tik tok, tak tik
tok…, tapal kakinya beradu merdu dengan aspal jalanan. Ah. aku jadi teringat
kotaku. Yogya. Tampak satu-dua delman tertatih-tatih turun-naik di jalan kota,
yang terletak pada perbukitan lereng gunung.
Aku nikmati
keadaan kota yang bersih, sejuk, dan lengang. Tak ada becak yang hampir
berjubel seperti di Yogya atau Serang yang panas tadi. Kata Nana, selain
kondisi jalannya yang banyak tanjakan, pemerintah daerah pun melarang
transportasi roda tiga yang suka disebut sebagai biang kemacetan di kota besar.
Dan penggantinya motor ojek bersliweran jadi primadona, mengangkuti ibu-ibu
kampung yang belanja di pasar.
Betapa lengang
kota berhawa sejuk ini. Selain delman dan motor ojek tadi, sesekali bus antarkota
melintas di jalan-jalan kota yang lebar, ditimpali tawa ceria anak sekolah.
Seolah-olah kota yang miring ke timur di lereng gunung ini lebih suka dengan
kondisi gunung yang sepi daripada hingar-bingar seperti Puncak Pass. Terbukti
dengan tidak adanya bioskop, yang merupakan salah satu ciri utama sebuah kota.
Sekitar sepuluh
menit kemudian, aku melihat Nana diserbu seorang gadis kecil usia sepuluh
tahunan. Mereka berpelukan melepaskan rasa kangen.Aku tak pernah mendapatkan
suasana seperti ini. Rasa kangenku cuma sebatas pada hadiah atau oleh-oleh yang
dibawa Papa, Mama, atau Robby sepulang dari bepergian.
"Ini Mia,
adikku yang bungsu," Nana menarikku ke sebuah rumah yang persis di
kelilingi pepohonan; mangga, jambu air, pisang, rambutan, dan masih banyak
lagi. "Rumahku!" katanya tersenyum bangga sambil membuka kedua
lengannya lebar-lebar. Ayah Nana bekerja di instansi pemerintah dan ibunya
seorang guru di sekolah dasar. Sedangkan adik lelakinya, Uus di SMA, dan Maya
di SMP. Semuanya meninggalkan rumah di pagi hari. Cuma Mia, sekolah siang di
SD, dan seorang pembantu yang menunggui rumah.
Aku terkesiap.
Betapa nyaman dan asri rumahnya. Tiang-tiangnya dari batang pohon. Temboknya
setengah bata dan sisanya dari bambu. Atapnya terbuat dari weulit, daun kelapa
yang sudah kering kena sinar matahari. Sangat menyatu dengan alam. Dan
sayup-sayup aku dengar suara air gemericik.
"Di belakang
rumah ada sungai!" Nana menegaskan.
Aku semakin
terpesona.
"Teh, tadi
malam Aa Yanto dan Aa Eri ke sini," Mia mengabarkan sambil menggelayut
manja.
Belum juga sampai
di pintu depan rumah, aku melihat perubahan yang dahsyat di wajah Nana. Warna
merah menjalar dan sorot matanya tajam. Kalau sudah begini, berarti pertanda
buruk. Aku hafal betul dengan kemarahan Nana. Mia tampak merasa bersalah sudah
mengabarkan sesuatu yang membuat kakaknya tidak suka. Dia berlari ke dalam
rumah yang kosong. Dan bersembunyi di dalam kamarnya.
Nana melempar
ranselnya ke sudut ruangan tengah. Dengan kesal dia membanting tubuhnya ke kursi."Huh,
si Eri!" napasnya terlontar gemas. "Setahuku itu anak ada di
Kalimantan!" gerutunya. "Ah, kenapa si brengsek itu diajak!"
Tampaknya Nana
'alergi' pada nama 'Eri'. Tapi, siapa 'Eri '? Nana cuma pernah cerita padaku,
bahwa Yanto adalah ketua kelompok pecinta alamnya selagi di SMA. Liburan
semester ini, Yanto memberi kabar rencana reuni kelompok PA-nya di wilayah
Kanekes, Rangkasbitung. Siapa 'Eri', aku belum pernah mendengar Nana menyebut
atau menceritakan nama lelaki itu. Tentu aku bisa menanyakannya nanti. Sekarang
aku cuma ingin berbaring di atas kasur dan melunaskan tidurku yang tidak
komplet di atas bus malam Yogya-Merak.
***
Episode 5
Senja di Selat
Sunda
Mendung di Hati
Nana
Alun-alun kota ini
penuh tepuk-riuh oleh orang-orang yang menonton pertandingan sepakbola
antarkampung. Di keempat sisi jalannya yang saling mengikat, warna-warni oleh
gelak tawa anak sekolah yang latihan baris-berbaris dan drum band. Hampir
seluruh penduduk kota menghabiskan sisa hari dengan menonton pertandingan
olahraga, bermain, sekadar berkumpul, atau apa saja di sini.
Kota yang
mempunyai legenda Ki Amuk, meriam yang suka memporak-porandakan kampung,
keramaiannya terpusat di alun-alun. Lalu untuk menyelamatkan kehidupan rakyat,
disuruhlah seorang pande besi dari kampung Kadu Pandak membuat anting-anting
gelang. Diangkutlah meriam Ki Amuk itu ke Banten Lama. Lantas orang pun latah.
Kampung pande besi yang menjadi tempat gelang-gelang itu dibuat disebut
"Pandeglang".
Tapi ada versi
lain tentang Pandeglang yang "Betah" (Bersih, Endah, Tertib, Aman,
dan Hidup), yaitu berasal dari ungkapan "paneglaan". Artinya, tempat
melihat ke arah lain dengan jelas. Versi terakhir menyebut kota berhawa sejuk
yang berada 776 M di atas permukaan laut ini berasal dari kata "Pani-Gelang",
yang berarti tepung gelang. Tapi, bagaimana dan apa pun asal-usulnya, kota ini
seperti tetap memilih "diam" dulu daripada melaju seperti yang
terjadi di dua kabupaten lainnya; Serang dan Lebak.
"Nonton bola,
ya!" Nana menuju pintu gerbang. Alun-alun kota ini dipagari besi. Ada
empat orang perempuan menjaga. Di tangan mereka tergenggam segepok karcis
masuk. Sebetulnya nonton di luar pagar pun bisa. Tapi, tentu lebih mengasyikkan
jika kita masuk ke kawasan di dalamnya. Nana merogoh saku celana army look
kegemarannya. Dua ratus rupiah per orang. "Cuci matalah!" dia
tertawa.
Sudah seminggu aku
di sini.
Nana membawaku ke
seluruh lekuk pesona Banten. Dari mulai wisata sejarah di situs purbakala
Banten Lama, wisata kota di Serang dan pabrik baja Krakatau Steel di Cilegon,
wisata bahari di Pantai Anyer, Salira, dan Carita, serta dua hari yang lalu
mendaki Gunung Karang.
Dari alun-alun
kota aku bisa melihat gunung Karang dengan jelas dan takjub. Persis di depan
mata. Seperti hendak membentur kening. GunungKarang yang cuma 1778 meter itu
punya legenda Sumur Tujuh. Legenda ini bermula dari Syekh Mangyur yang pulang
dari Tanah Arab dan muncul tujuh kali di puncak Gunung Karang. Bekas
kemunculannya itu meninggalkan jejak tujuh buah sumur, yang sering diziarahi
orang untuk minta berkah. Atau legenda yang lain, tentang putri cantik Lenggang
Kencana yang dikawini raja jin, karena bosan digodai jejaka-jejaka kampung.
Konon, kalau ternak-ternak di kampung mati, itu artinya di kerajaan jin
Lenggang Kencana sedang ada pesta besar!
"Masih kuat
ke Baduy?" Nana menyebutkan nama penduduk yang mengasingkan diri di
wilayah Kanekes, Rangkasbitung, Banten Selatan.
Aku tersenyum dan
mengangguk. Baduy adalah babak akhir dari episode "Liburan Di
Banten". Rencananya dipimpin oleh Yanto, bersama beberapa orang anggota PA
lainnya, kami akan menjelajahi wilayah Kanekes, yang terlindung di antara
Pegunungan Kendeng, di mana orang Baduy bermukim.
Aku sangat ingin
pergi ke Baduy. Rasanya kalau cuma mendengar atau membacanya saja dari koran
atau buku, bahwa orang Baduy itu beginilah dan begitulah, tidaklah komplet.
Dari buku yang pernah aku baca saja, riwayat orang Baduy atau Kanekes sampai
kini masih menimbulkan perdebatan. Beragam versi dilontarkan. Oleh kaum
birokrat, mereka dicap sebagai suku terasing. Mereka dianggap "tidak
berbudaya". Itu artinya tidak sama atau berbeda dengan "kita",
masyarakat "yang berbudaya". Kadang kala dengan kondisi seperti ini
suka menimbulkan konflik. Terbukti "penolakan" orang Baduy terhadap
proyek-proyek birokrasi. Pembangunan sekolah dasar, puskesmas, dan
"bantuan" lainnya.
Di kalangan
antropolog saja masih mendua. Versi yang satu, orang Baduy adalah sisa-sisa
keturunan masyarakat Padjadjaran. Ketika kerajaan Hindu besar itu jatuh ke
tangan Islam, ada sekelompok bangsawan dan pengawalnya yang melarikan diri ke
pedalaman. Mereka memilih mengasingkan diri di tempat terpencil, yang sulit
dijangkau oleh orang luar. Wilayah Kanekes yang ditindih oleh Pegunungan
Kendeng, dipeluk oleh hutan rimba, dan dililit oleh beberapa sungai, memang
cocok sebagai tempat persembunyian.
Versi yang lainnya
sangat berbeda. Menurut cerita rakyat, para tetua, dan tokoh Baduy, mereka
menyebut tentang Ratu Banten yang melarikan diri dengan menyusuri Ciujung
sampai ke hulunya di Pegunungan Kendeng, karena diserang oleh Sultan Maulana
Hasanuddin, yang sedang menyebarluaskan ajaran Islam. Akhirnya Ratu Banten
menyerahkan kampung Cicakal sebagai taklukan kepada Sultan untuk di-Islam-kan,
dengan syarat kampung-kampung lainnya di wilayah Kanekes tidak diusik
keberadaannya. Bukti versi ini sangatlah mendukung. Yaitu kampung Cicakal yang
seluruh penduduknya beragama Islam.
Kami mengambil
tempat di sudut alun-alun. Duduk selonjoran di rumput sambil makan kacang
rebus. Memperhatikan orang-orang yang sedang asyik nonton bola. Kadang kala
beberapa kawan lama di sekolahnya menegurnya. Beberapa saat mereka saling
menanyakan kabar serta perkembangan kuliah.
Aku tahu kenapa
Nana memilih tempat ramai seperti ini, karena sedang kesal terhadap
keikutsertaan Eri ke Baduy. Jika Nana sedang marah, tempat-tempat sepi selalu
dihindarinya, karena dia bisa teriak-teriak seperti orang gila nanti. Kalau
teriak-teriak di tempat ramai 'kan malu. Itulah alasannya kenapa sekarang kami
nongkrong di alun-alun nonton bola.
"Kalau
keberatan Eri ikut, ya sudah, aku pulang ke Yogya," aku mencoba mengerti.
Nana terus saja
mengunyah kacang rebus.
"Betul nggak
akan berubah pikiran?"
Nana mengangguk
ala kadarnya.
"Padahal Eri
cakep, lho!" aku meledek.
Nana melotot.
Aku mengenal Eri
pada hari pertama liburanku di sini. Yanto datang bersama Eri di sore hari.
Tubuhnya tinggi langsing dan berkulit putih bersih. Pakaiannya serba jeans yang
compang-comping. Rambutnya gondrong tidak beraturan. Berkesan bohemian dan
tidak mengenal tata krama.
"Well,
rupanya ini anak Yogya!" sebuah permulaan dari Eri, yang kedengaran sangat
meremehkan. "Apa kuat nanti ke Kanekes? Jalannya naik-turun, lho!"
tambahnya ke babak yang lain.
Aku tersenyum
kecut.
Episode 6
Senja di Selat
Sunda
Ketika kami saling
berjabatan tangan dan menyebutkan nama, tanganku digenggam Eri dengan penuh.
Cukup lama. Aku merasakan getaran yang aneh. Kalau saja tidak karena Nana yang
mengusikku, mungkin aku sudah berada di dunia yang lain. Sebuah pengalaman yang
aneh buatku.
Aku mulai
menyadari, kenapa Nana tidak menyukai Eri. Ini menyangkut soal perasaan seorang
wanita. Eri memang punya daya tarik yang luar biasa. Semua wanita pasti akan
sependapat denganku jika mengenal Eri. Dia maskulin, betul-betul seorang
lelaki.
Aku saja langsung
terpesona. Terutama pada matanya. Bolanya bening dan hitam berkilat-kilat
seperti hewan liar. Tapi tidak setiap saat aku bisa mencuri-curi untuk
menikmati keindahan matanya yang misterius bagai lautan itu, karena wajahnya
yang tampan sesekali tertutup oleh rambut bagian depannya yang panjang.
Tapi Eri memergoki
aku sekali waktu. Dia cuma tersenyum. Sangat menggoda. Aku tidak berani
menikmati senyumnya lagi. Ini bisa menjebak. Aku pikir, ini mungkin yang
disebut "pelet" itu.
"Kapan pulang
dari Kalimantan, Eri?" pertanyaan dari Nana ini terdengar cuma basa-basi,
untuk membelokkan perhatian Eri padaku.
"Seminggu
yang lalu."
"Katanya mau
jadi orang Dayak!"
Eri menggeleng.
"Katanya
ingin mencari arti hidup yang sesungguhnya!"
Eri tersenyum
kecut.
"Katanya
nggak akan pulang sebelum dunia dijelajahi!"
"Kamu sinis
sekali, Nana!" Eri menengadah.
Nana menatap Eri
dengan perasaan kesal.
Aku rasakan
suasana dalam sekejap saja berubah jadi gerah. Ujung dan pangkalnya cuma ada di
antara Nana dan Eri. Entahlah siapa yang lebih dulu tersulut. Aku pikir mereka
menjadi sumbu sekaligus apinya. Ini persoalan pribadi, yang cuma bisa dirasakan
dan diselesaikan oleh mereka berdua. Palihg-paling soal "cinta". Geli
juga. Ternyata Nana yang keras kepala pernah punya kisah buruk dengan
"cinta".
Di kampus Nana
paling tidak peduli pada lelaki, walaupun kawan sehari-harinya hampir melulu
lelaki. Sebatas bergaul sih oke-oke saja. Tapi kalau sudah menjurus ke soal
cinta, dia langsung pasang pagar pembatas. Padahal banyak lelaki di kampus,
mulai dari anak pecinta alam, resimen mahasiswa, sampai yang doyan rally dan
pesta, mendambakan Nana. Tapi dia tidak (mungkinbelum) terusik.
"Apa yang
bisa diharapkan dari lelaki zaman sekarang, Tina, selain kita cuma jadi objek
mereka saja?"
Itu kata Nana,
ketika aku menyindirnya untuk memilih salah seorang di antara mereka.
Sekarang aku mulai
mengerti; kenapa Nana selalu bersikap menjaga jarak terhadap lelaki. Mungkin
Eri adalah "gelas"nya yang pernah "retak".
"Kamu ikut
juga ke Kanekes, ya!" nada dari Nana terdengar tidak setuju.
Aku lihat Eri
mencoba menahan gejolaknya dengan mempermainkan rambutnya yang gondrong;
menyibakkan, menyatukan, dan mengikatnya dengan karet seperti buntut kuda.
Tiba-tiba aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Semakin tampan, tapi
menyimpan kekerasan hidup. Dan matanya tampak semakin liar.
"Aku yang
mengajak Eri, Nana," Yanto menjelaskan. "Takut ada apa-apa,"
tambahnya.
"Takut ada
apa-apa, bagaimana?!" Nana ketus sekali.
"Kali ini
kita masuk lewat jalan belakang, yang sebetulnya nggak diizinkan. Bisa dua atau
tiga malam untuk sampai ke Cikeusik," Yanto menerangkan betapa panjangnya
perjalanan untuk mencapai tangtu, perkampungan Baduy Dalam.
Untuk mencapai
tangtu, yang terdiri dari Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, bisa ditempuh lewat
tiga jalan. Melalui Ciboleger sebagai pintu gerbang utara, pintu barat melewati
Kroya, dan selatan melintasi tambang emas Cikotok. Tapi satu-satunya jalan yang
diizinkan oleh puun, penguasa adat dan religi masyarakat Kanekes, adalah
melalui kampung Ciboleger. Ini memang rute untuk turis. Jalannya pun sudah
disediakan khusus dengan pos-pos tertentu. Sedangkan lewat pintu barat dan
selatan sangat tabu, karena kalau tidak hati-hati bisa-bisa
"menginjak" tanah larangan seperti Arca Domas dan Sasaka Domas,
tempat suci bagi orang Kanekes, yang lokasinya tidak diketahui di mana.
"Ini nggak
ada dalam perjanjian!" Nana bersikeras.
"Lho, kita
'kan nggak pernah bikin perjanjian?" Yanto berlagak bingung sambil tertawa
kecut.
Nana menggerutu.
"Apa hak kamu
ngelarang aku ikut, Nana?" Eri bergetar suaranya. "Selain aku alumni
PA sekolah, toh wilayah Kanekes bukan punya nenek moyangmu?"
"Eri 'kan
senior kita, Nana," Yanto mengingatkan.
Nana menggigit
bibirnya. Memandang ke arahku seperti meminta bantuan. Nana memang sudah
bersikap sinis terhadap Eri, tapi perkataan Eri tadi pun sangat menyudutkan
Nana. Aku berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja, walaupun perasaanku
tertekan. Bagaimanapun Nana adalah sahabatku. Aku merasakan apa yang sedang
bergejolak di dalam hatinya, karena untuk urusan "cinta", wanita
lebih mengandalkan perasaan ketimbang pikiran.
Tiba-tiba Nana
tidak bisa menahan gejolaknya. Dia berlari ke dalam rumah.
Aku pada mulanya
seperti patung bego yang kebingungan. Tapi setelah melihat Yanto memberi
isyarat, aku mengejarnya. Tapi Nana membanting pintu dan menguncinya dari
dalam.
"Begitulah
Nana kalau sudah ketemu Eri," kata ibunya. "Mereka masih kayak anak
kecil," wanita cantik setengah baya ini tertawa lucu.
Aku semakin yakin
kalau Nana dan Eri pernah ada "apa-apa". Ibu Nana saja sudah begitu
maklum; seolah-olah kejadian seperti ini bukan sekali-dua kali terjadi. Aku
kembali ke halaman belakang. Aku lihat Eri dan Yanto sedang beradu mulut.
"Aku bilang
apa!" sungut Eri. "Jangan bawa-bawa aku! Berantakan jadinya!"
"Ah, kapan
dewasanya sih kalian!" Yanto menimpali.
"Bukan aku,
Yanto ! Tapi, dia yang nggak mau dewasa!"
"Sama aja!
Itulah sebabnya, kalau punya cewek jangan ditinggal lama-lama!"
"Ah, itu lagi
yang dipermasalahkan! "
"Ya, apa
lagi?" Yanto tamlpak kesal sekali. "Kamu 'kan tahu, berapa cewek yang
patah hati gara-gara kamu?!"
"Tapi, 'kan
nggak berarti aku harus selalu di sisinya!"
"Ya, ya! Tapi,
mana kabar-kabarmu pada Nana setelah meninggalkan Yogya? Kamu tampaknya semakin
egois dengan kenikmatanmu traveling, tanpa pernah mau tahu bahwa ada seorang
wanita yang selalu mengharapkanmu.
Episode 7
Senja di Selat
Sunda
Misalnya, secuil
khabar darimu kek lewat kartu pos! Syukur-syukur mau menelepon! Eh, tiba-tiba
kamu nongol di depan aku. Di depan semua orang. Di depan Nana pula! Setelah
tiga tahun ngilang!" Yanto seperti menumpahkan kejengkelannya.
Eri menarik napas.
Dia tampak geram entah pada siapa. Posisinya sangat sulit untuk menyalahkan
"siapa" atau mengkambinghitamkan "apa" saat ini.
"Ayo, kamu
mau bilang apa?" Yanto menyudutkannya.
"Kamu yang
ngajak aku ikut ke Baduy, Yanto!" nada Eri kesal. "Sekarang aku nggak
ikut!" bentaknya.
"Hey, jangan
kayak anak kecil gitu, dong!" Yanto baru sadar. "Ayolah, jangan
campur adukkan soal Nana dengan rencana reuni PA. Aku butuh kamu!" Yanto
mencekal bahunya.
"Ya, lewat
rute normal aja!"
"Ah, bosan
dong!"
"Aku nggak
kepingin ngerusak acara liburannya! Kasihan tuh si Tina, jauh-jauh datang dari
Yogya!"
Aku berdehem;
mengingatkan mereka bahwa aku bukan patung. Mereka mencoba mengembalikan
suasana menjadi tenang lagi.
"Gimana, ada
perkembangan ?" Y anto mendekati.
"Kamarnya
dikunci," kataku tersenyum. "Ini pasti gara-gara kamu, Eri."
"Lho, kok
aku?" Eri tertawa kecut.
"Kamu apain
Nana?" kejar aku.
"Kamu pikir,
aku 'Drakula'? Suka ngisep darah perempuan?" Eri tampak berang.
Yanto tertawa
keras.
"Kamu jangan
cerita macam-macam, Yanto!?"
Yanto menggeleng.
"Ini pasti
soal cinta!" tembakku.
"Tuh 'kan,
apa kubilang!" Yanto tertawa lagi.
Eri salah tingkah.
Dia tampak begitu terpukul. "Aku sebetulnya kepengen banget ikut, Yanto.
Di rumah, kamu tahu, masih saja kayak neraka. Tapi, kalau kenyataannya Nana
nggak bisa nerima aku lagi, ya kenapa harus dipaksakan."
"Jangan
pesimis," Yanto tersenyum menghibur.
" Aku memang
salah. Egois. Selama ini cuma memikirkan kesenanganku saja; pergi dari satu
kota ke kota lainnya tanpa pernah memberi kabar padanya.
"Sekarang,
setelah tiga tahun tanpa kabar berita, datang begitu saja dan memaksa ikut
reuni PA sekolah.
Ini acara kalian,
bukan acaraku."
"Hey, hey,
kamu 'kan senior kami. Nggak ada alasan buat kami untuk melarang kamu ikut.
Apalagi di antara kami, cuma kamu yang tahu rute jalan belakang itu."
"Aku, memang,
sudah menyia-nyiakannya. Tapi, ah, sudahlah!" Eri tampak putus asa sekali.
Aku meminta
penjelasan pada Yanto.
"Yakinkanlah
dia, Yanto, bahwa aku sebetulnya nggak berubah."
"Aku udah
nyerah!" Yanto mengangkat bahu.
"Setidak-tidaknya,
aku masih ingin bersahabat."
"Sekarang,
nih! Minta tolong sama dia!" Yanto menunjuk ke arahku.
Eri menatapku
tajam. Tersenyum. Mengangguk. Lalu pergi meninggalkan seribu tanya di hatiku.
Aku masih belum mengerti, walaupun ini lagi-lagi soal "cinta".
"Apa dia
bakalan ikut ke Baduy?"
Yanto mengangguk.
"Bagaimana dengan Tina?"
"Mereka bisa
membedakan mana untuk urusan pribadi dan mana untuk urusan orang banyak."
"Kamu
yakin?"
Yanto tidak
mengangguk.
"Kamu mesti
cerita soal ini, Yanto," kataku.
"No
comment!" Yanto menuju dapur.
Aku memburunya.
Yanto mengambil air es di kulkas. Menyambar sepotong pepaya yang baru saja
diletakkan di piring oleh ibu Nana.
"Eri
mana?" wanita itu melongok ke halaman belakang.
"Biasa,
kabur!" Yanto menyambar sepotong lagi. "Kawinin aja sih, Bu!"
"Huss,
ngomong sembarangan kamu!" ibu Nana tersenyum.
Yanto
tergelak-gelak dan menarik aku ke teras.
"Sekarang
tergantung sama kamu, Tina!" katanya sambil mohon pamit.
Tinggal aku yang
kebingungan di teras. Ini di luar rencana semula, bahwa liburanku ini akan ada
sedikit ganjalan. Aku begitu ingin melihat Baduy, suku asli Sunda itu. Tanpa
Nana, tentu keinginanku itu tinggal harapan.
Aku ketuk pintu kamar
Nana.
Beberapa saat
kemudian Nana muncul membuka pintu. Tersenyum, "Maafkan aku ya,
Tina." Matanya tampak merah.
"Kamu sedang
nggak mau diganggu, Na?"
"Ayolah,"
Nana membetotku ke dalam kamar. "Udah pada pulang?"
Aku mengangguk.
Duduk di bibir pembaringan. Mencoba menyelidiki apa yang terjadi pada hatinya.
Untuk memahami perasaan kawan kita, terlebih dalam persoalan cinta, dibutuhkan
kesabaran dan rasa pengertian. Kata Mamaku, "Harus diemong." Tapi aku
belum pernah jadi seorang ibu, sehingga omongan Mama belum bisa aku buktikan.
"Jangan
ngelihat aku kayak gitu, dong," Nana serba salah.
Aku tertawa
melihat wajah Nana memerah seperti itu. Kalau saja anak-anak PA di kampus tahu
apa yang sedang terjadi pada Nana sekarang, aku yakin mereka akan merasa
surprise.
"Nggak akan
cerita soal Eri?" pancing aku.
Nana menggigit
bibirnya.
"Kamu
merahasiakan sesuatu, Nana."
Nana menuju
jendela kamar. Betapa sentimentil dia. "Liburan kamu kayaknya..."
Aku buru-buru
memotong, "Oh, jangan sampai itu terjadi, Na! Kamu udah janji akan
membawaku ke seluruh pesona Banten. Ingat, kamu yang mengajakku kemari,"
aku berusaha menyudutkannya.
"Tapi tanpa
Eri."
"Tanpa atau
dengan Eri, buatku nggak ada bedanya. Kamu nggak pernah menyinggung-nyinggung
soal ini sebelumnya."
"Aku minta
pengertianmu, Tina. Ini terlalu rumit."
"Bagaimana
aku bisa mengerti kalau persoalannya sendiri aku nggak tahu? Masa cuma
gara-gara nggak ketemu sama Eri selama tiga tahun, kamu korbankan aku?"
Nana menatapku, "Yanto cerita apa?"
"Pasti ada
'apa-apa' dengan Eri."
"Siapa yang
cerita?"
Aku tersenyum
menang, "O-o, ini bisa jadi headline di buletin kampus!"
Episode 8
Senja di Selat
Sunda
"Liburanmu
berakhir sampai di sini."
"Aku
pulang."
"Silakan."
"Bener?"
Nana tampak kesal
sekali.
"Tampaknya
Eri sangat istimewa di hati kamu."
"Sekarang
nggak."
"Sekarang pun
masih."
"Bagaimana
kamu bisa ngomong begitu?"
"Dari cara
kamu memperlakukan dia."
"Aku nggak
bermanis-manis sama dia."
"Nggak harus
bermanis-manis, kok."
"Lantas?"
"Perasaan itu
nggak bisa dibohongi. Itulah unsur yang masih tersisa dimiliki oleh manusia,
yang bisa kita percayai."
"Udah mulai
berfilsafat kamu."
"Filsafat
cinta!" aku tertawa gembira.
"Emang
bagaimana gitu perasaanku sama dia?"
"Kamu jawab
sendiri aja."
"Versi
kamu."
"Versiku?"
Kami tidur-tiduran
di karpet. Membicarakan lelaki memang sangat mengasyikkan bagi perempuan. Aku
kira lelaki pun suka membicarakan tentang wanita di waktu senggangnya. Aku
kadang kala suka memergoki kakakku, Robby dan konco-konconya membicarakan
wanita. Bahkan kadang yang porno-porno diselipkan, sehingga suasananya semakin
meriah.
"Kenapa sih
dengan Eri?"
"Nggak akan
aku ceritakan."
"Nggak perlu
merahasiakannya dari aku, Nana."
"Iya?"
"Ceritain,
dong."
"Rasa ingin
tahumu besar."
"Siapa tahu
aku bisa belajar dari pengalamanmu."
Nana terdiam.
Matanya menerawang jauh sekali.
"Tampaknya
ini berat sekali bagi kamu."
Nana mengangguk
pelan. Dalam sekejap matanya berkaca-kaca.
"Maafkan aku,
Nana, kalau ini jadi membuka luka lamamu lagi," aku merangkul bahunya.
Hatiku merasa tidak enak melihat sahabatku yang baik dirundung duka.
"Sudahlah, aku nggak akan bertanya-tanya lagi soal Eri," janjiku
tersenyum menghibur.
Nana menggeleng.
"Sebetulnya hal ini tak ingin aku ceritakan, Tina. Pada siapa saja. Selama
ini aku sudah kuat memendamnya sendirian. Tapi, begitu tadi melihat dia setelah
berusaha aku lupakan selama tiga tahun, aku mulai merasakan, bahwa ini terlalu
berat untuk ditanggung sendirian. Aku harus membagikan kisah dukaku ini pada
orang lain. Pada seseorang yang aku percayai," Nana terisak-isak.
Aku menatapnya.
Berusaha meyakinkannya, bahwa aku bersedia menjadi orang yang diberi
kepercayaannya. "Aku siap mendengarkannya, Nana. Ceritakanlah, kalau itu
bisa membuat hatimu lega," aku mengusap air matanya yang mulai jatuh.
"Tapi janji
ya, nggak cerita sama temen-temen!"
Aku memastikannya.
"Betul kamu
akan siap mendengarkan ceritaku?"
Aku mengangguk.
"Tapi tidak
sekarang."
"Kapan?"
"Besok sore
kita ke Pantai Carita. Aku ingin menikmati senja di Selat Sunda."
Aku menatapnya
tidak berkedip. Aku kini semakin yakin, bahwa Eri memang istimewa dihati Nana.
Mereka pasti pernah melalui jalan-jalan yang indah penuh bunga.
Yang paling aku
sukai tentu ketika Nana mengajakku menikmati senja di Pantai Carita keesokan
harinya. Kami menyewa sebuah kamar yang menghadap ke laut agar bisa leluasa
melihat bola merah raksasa yang akan tertelan batas horison Selat Sunda. Aku
lihat Nana saat itu sangat romantis dan melankolis sekali. Hal yang tidak
pernah aku lihat sebelumnya pada diri Nana.
"Senja di
Selat Sunda," aku bersajak.
Aku lihat Nana
tersentak.
"Tempat ini
menyimpan banyak kenangan buat kamu, Na?"
Nana tersenyum
getir.
"Pasti
Eri."
Nana menutup
wajahnya.
Senja di Selat
Sunda menggetarkan hati.
"Ayo,
ceritalah," aku sudah tidak bisa bersabar.
Bola mata Nana
menerawang lagi. Berkeliaran ke mana-mana. Wanita cantik dan perkasa itu sedang
mengumpulkan kenangannya.
"Ini bisa
semalam suntuk. Kamu tahan udara pantai?"
Aku mengangguk.
Dan pelan-pelan
dia bercerita tentang "luka" nya, yang selama ini rapih tersimpan di
sudut hatinya yang dalam. Sampai senja berakhir. Sampai bulan empat belas
muncul serta cahaya peraknya memantul di permukaan laut.
***
Episode 9
Senja di Selat
Sunda
Rhapsodi Pertemuan
Amplop lusuh itu
tergeletak di meja belajar Nana. Tak ada kesan istimewa dari bentuknya. Cuma
dihiasi strip merah-putih-biru di keempat sisinya. Amplop murahan yang harganya
paling-paling seratus perak tiga biji.
Sambil membuka
sepatu dan menggantungkan tas di pinggiran lemari, Nana terkesiap ketika
membaca nama si pengirim. Nana menendang sepatu ke kolong tempat tidur dan
langsung rebahan tanpa mengganti baju seragam dulu di tempat tidur.
Dengan rasa ingin
tahu yang besar Nana merobek bagian pinggir amplop:
Dearest, Nana!
Aku tiba di Yogya
pukul 11.00 keesokan harinya. Aku ngeluyur ngikutin kaki dan hati sambil terus
bergumam: Aku mesti menang! Aku mesti menang!
Lalu aku terdampar
di pojokan alun-alun. Aku punya " kompas " sekarang. Pasrahkan pada
yang di atas. Whatever will be, will be! So, aku kenalan dengan Steven,
Gondrong, Alex, dan masih banyak lagi. Mereka baik-baik. Pengamen dengan
ratusan jam terbang. Mereka bukan unggul di gitar; tapi di lagu. Puluhan lagu
mereka hapal, tapi aku? Tak pernah aku berusaha sebelumnya menghapal
lirik-lirik lagu. Aku pikir itu tak begitu penting. Ternyata sekarang begitu
penting.
Mereka peace man,
Nana. Selalu cari teman. Aku diterima di "kantor" mereka. Aku
"ngantor" pagi dan "pulang" malam; Aku masih terus
mengamati dan waspada terhadap segala sesuatu. Ini sebuah."negara".
Campur baur: Ada Ambon, Jawa, Sunda, Batak, Palembang, orang sinting, gembel,
pengompas, pelacur; campur aduk. Aku dapat kamar Rp. 15.000/bulan. Fasilitas
lengkap; dipan, tikar, bantal, dan si ‘mbok yang sudah punya cicit manis-manis.
Kawan-kawan baruku
selalu bertanya, " Ngapain ke Yogya?" Aku bilang cuma main-main. Aku
iri melihat mereka enjoy tiap hari. Dapat uang seribu-dua ribu perak. Sisakan
untuk makan dan bus. Sisanya patungan untuk mabuk -mabukan. Aku juga...
Aku punya cerita,
Nana. Kemarin ada anak yang lapar ngajak aku ngamen. Selagu-dua lagu. Aku
pikir, ayolah dimulai sambil nolong tuh anak. Aku nyanyikan lagu kesenangan
kita "More than words" di depan bule. Olala, suaraku nggak lepas.
Padahal itu bule (cewek lagi) udah interest. Penampilan pertama yang buruk.
Lalu keliling meja lainnya. Mulai lancar. Dapat berapa perak, aku nggak peduli.
Aku cuma tanya sama anak itu, "Cukup buat makan?" Dia bilang cukup.
Udah makan sana. Hehehe, aku bisa ngasih orang makan. Lumayan, ngurangin dosa.
Itulah cerita
awalku di Yogya. Seterusnya aku mau minta tolong sama kamu. Cariin dong lirik
lagu Duran Duran "Ordinary World (word?)". Itu lagu bagus, buat
digenjreng dengan gitar. Kamu tahu, aku biasa main gitar dipetik. Lagi ngamen
begini ternyata kurang klop. Mesti digenjreng. Sekalian "Blowing in the
wind" si Bob Dylan. Gini lagunya: How many roads, must…. Atau yang
lainnya. Pokoknya yang digenjreng. Nambah deh, "Blood money"-nyaBon
Jovi. Koleksi kaset kamu 'kan komplet.
Nana,
Bagaimana kalau
aku jadi orang yang tak berharga di mata keluarga dan masyarakat? Jadi orang
yang serba terpaksa. Terpaksa kerja. Kataku, ini bahaya. Aku bisa
"sakit" seumur hidup.
Terus terang,
Nana,
seperti yang
pernah kamu lihat di diriku sebelum berangkat, agak panik juga aku. Huh, kalau
saja kebakaran hotel tempatku bekerja itu tidak terjadi, entahlah apa yang akan
terjadi padaku. Mungkin sekarang aku sudah jadi penyanyi beken, ya. Sekitar 2
tahun, sejak aku mulai mengisi acara di bar-bar kecil sampai sebelum hotel itu
terbakar, aku menimbang, melihat, dan memutuskan segala kebimbangan. Aku
memilih untuk pergi saja dari rumah, yang masih saja begitu. Takada perubahan.
Masih kayak neraka.
Yogya adalah
pilihanku, Nana. Aku jadi ingat lagu Queen. Aku mungkin si "Sammy was
low". Just watching the show, over and over again, knews he was time, he
made up his mind, to live he dead behind! Spread your wings! Pull your self
together, cause I know I should do better, just because I am free man.
Bagaimana keadaan
rumahku, Nana ? Adakah Papa-Mama menanyakan tentangku sama kamu? Tak ada
pilihan lain bagiku, selain pergi meninggalkan rumah. Aku harap, kalau mereka
memang merasa memiliki anak, tentu akan menyusulku ke Yogya. Aku kemarin malam
interlokal. Mama yang nerima. Pada mulanya Mama menangis mengharapkan aku
pulang. Tapi setelah itu, Mama cuma menjelek-jelekan Papa saja dengan istri
mudanya. Mama mungkin lupa, bahwa penyebab utamanya juga adalah pacar-pacar
muda Mama (Oh, Nana, aku nggak nyangka kalau kedua orangtuaku doyan "daun
muda"!). Aku betul-betul bodoh selama ini, kalau ternyata kepergian
Papa-Mama ke Jakarta selain untuk urusan bisnis, juga ada "bisnis"
yang lain. Nggak kebayang, kalau berita-berita tentang "daun muda"
yang lalu-lalu lalang di pusat perbelanjaan Jakarta, seperti yang sering kita
baca di majalah, digaet kedua orangtuaku. Tapi, yang lebih kaget lagi, Papa ternyata
mengambil salah satu dari mereka sebagai istri muda-nya! Kalau saja Mama
ikut-ikutan latah seperti Papa, aku lebih baik terus seperti ini: tidak pernah
merasa diakui sebagai anak oleh mereka!
Bagaimana
sekolahmu, Na? Sebentar lagi ujian, ya. Wah, kamu bakal jadi mahasiswi. Kuliah
di mana nanti? Di Yogya aja, deh. Asyik lho di Yogya. Kota ini bisa dibilang
"kota internasional". Turis mancanegara dan lokal nggak ada
habis-habisnya. Sambil kuliah nanti, kamu bisa praktek bahasa di Yogya.
Nana, sambil aku
perangi kekhawatiran yang ada. Kalaupun aku kalah, aku tak kehilangan martabat
kemanusiaanku. Pernah aku bilang padamu, bahwa aku suka sekali bila melihat
jembatan. Kenapa? Karena sekaranglah aku sedang menitinya. Jika aku sampai di
ujungnya, aku akan menengok sambil tersenyum syukur. Oh, betapa manisnya
sejarah hidupku. Atau mungkin aku tak lagi menengoknya. I don't know, yet! Just
keep fighting! Aku tak ingin jadi teroris bagi nuraniku sendiri. Itu penjahat
kemanusiaan. Okey, I am nothing now. But not forever. I wish I could. Dan akhir
kata, wish me luck, Nana! I'll wait your answer!
***
Nana mengenggam
surat itu ke dadanya. Dia betul-betul terpekik sendirian di kamar ketika di
luar gemuruh petir mengagetkan. Surat yang ditulis di atas kertas buku tulis,
yang dirobek sembarangan itu masih digenggam erat-erat. Rasanya seperti baru
kemarin dia ada di sini. Senyumnya saja masih terasa di mataku.
Nana berjalan
menuju jendela samping. Angin berhembus keras menerbangkan gorden. Air hujan
berhamburan. Dia tutup jendela. Dia raba-raba kacanya. Di seberang tembok
pemisah, dia melihat rumah besar bercat putih itu semakin sepi saja.
"Hey!"
ada seseorang berteriak.
Nana mencari-cari
asal suara tadi.
Episode 10
Senja di Selat
Sunda
"Halo, yang
di bawah!" kali ini kepala Nana ditimpuk dengan buah mangga kecil.
Nana mendongak. Di
dahan pohon mangga dari rumah sebelah yang agak menjulur ke tembok rumahnya,
seorang pemuda gondrong bertampang trash mania asyik duduk sambil mengunyah
mangga.
Dada Nana berdegup
kencang, walaupun. senang bukan kepalang. Sudah beberapa hari ini dia
mengharapkan akan mendapat kawan baru sebaya dari rumah sebelah. Oh, the boy
next door! hatinya terpekik.
"Kenalan,
dong!" katanya. Nana tersenyum. Inilah yang ditunggu-tunggunya.
"Namaku
Eri!"
Nana menyebut
namanya dengan riang.
Eri memuji
namanya.
"Kok, baru
nongol sekarang?"
Eri cuma tertawa.
Nana memang baru
seminggu tinggal di perumahan mewah ini. Rumah om dan tantenya. Setelah lulus
SMP, ayahnya menyekolahkan dia di kota tetangga, Serang, yang lebih ramai
ketimbang kota asalnya, Pandeglang. Maksudnya agar bisa mengejar ketinggalan
segala-galanya. Sekolah di kota kecil, seperti Pandeglang, kata ayahnya,
janganlah terlalu diharapkan untuk bisa menyamai prestasi para pelajar dari
kota besar. Apalagi untuk bersaing nanti merebut kursi di perguruan tinggi
negeri. Risikonya Nana harus meninggalkan lingkungan kekeluargaan bersama para
tetangga yang sudah dibina bertahun-tahun. Juga kawan-kawan masa kecilnya di
kota asalnya.
Tadinya Nana tetap
memilih meneruskan sekolah di SMA di kotanya, tinggal bersama ketiga adiknya;
Uus, Maya, dan Mia daripada harus hidup bersama om-tantenya. Tapi om-tantenya
pun berharap sekali, karena Siska, anak mereka yang baru di kelas dua SD, butuh
seorang "kakak" di rumah; untuk menemani bermain atau belajar.
Baru satu hari
tinggal di sini saja, Nana langsung tidak kerasan. Tak ada kawan yang bisa
diajak bermain. Rumah-rumah berpagar tinggi di sebelah atau di seberang jalan,
seperti tidak ada penghuninya. Kehidupan antar tetangga seolah-olah tak
berdenyut. Kesannya individual. Terbukti ketika pertama kali pindah ke sini,
tak ada sambutan atau uluran tangan dari para tetangga, yang biasanya terjadi
di kampung-kampung.
Perumahan-perumahan
dari kelas real estate sampai BTN yang tipe 21 atau tipe rumah sangat
sederhana, memang bagai jamur musim hujan bermunculan di Serang. Om Oya, adik
ayahnya, memang lebih bernasib baik dibandingkan dengan keluarga ayahnya yang
lain. Bermula dari berdagang material, kini omnya menjadi kontraktor yang
sukses. Terbukti sanggup membeli rumah di kalangan yang kalau di Jakarta
sekelas dengan Pondok Indah. Dan ini cuma ada di sebuah sudut di kota Serang.
Persisnya di kawasan Industri Cilegon, yang melaju pesat. Mulai dari toko serba
ada, fast food sampai bar tersedia di kota baja ini.
Kawan-kawan
barunya di sekolah memang ramah menyambut murid baru. Bahkan terlalu ramah,
sehingga kesannya seperti mengolok-olok. Mungkin karena dia pindahan dari kota
tetangganya, yang bioskop pun tidak punya. Tapi ketika mereka tahu dia tinggal
di perumahan elit, sepulang sekolah beberapa orang "memaksa" untuk
mengunjungi rumahnya.
"Kamarmu
pasti besar, ya," Susan, kawan sebangku, tersenyum lebar. "Pasti
koleksi bonekamu banyak 'kan?"
"Aku tinggal
sama Om dan Tante. Mana punya aku koleksi boneka, " Nana menggeleng.
"Punya
koleksi gantungan kunci?" Hera menyerobot. "Nanti kita tukeran,
ya!"
"Itu aku
punya. Tapi nggak di sini. Di rumahku yang di Pandeglang! Malah koleksi
perangko segala!"
"Oh,
ya!" Hera tampak tertarik.
"Acaranya
makan-makanlah yaaa!" Rini mengusulkan.
"Hitung-hitung
merayakan perkenalan kitalah!" timpal Yuni.
Nana agak bingung,
walaupun tidak bisa menolak, karena takut kehilangan kawan-kawan barunya. Saat
itu juga Nana menelepon ke rumah, meminta kebijaksanaan tantenya, apakah
diperbolehkan mengajak beberapa kawan barunya di sekolah untuk makan siang.
Untung tantenya mau mengerti.
Hari pertama Nana
di sekolah, memang menyenangkan. Terbilang sukses. Dia langsung jadi bagian
dari mereka. Tapi setelah seminggu berjalan, belum ada seorang pun yang sebaya
dengannya, yang bisa diajaknya berkawan di perumahan elit ini. Terus terang
saja, dia kesepian sekali di rumah ini, karena om-tantenya jarang ada di rumah.
Paling-paling cuma ditemani dua orang pembantunya saja, kalau tidak ada kawan
sekolah yang datang, setelah main scrabble sendirian atau mengajari Siska
matematika. Atau setiap sore Nana cuma berangin-angin saja di halaman. Kadang
kala mengintip ke tembok sebelah, kalau-kalau ada orang yang bisa diajak
bercakap-cakap. Atau iseng-iseng mengambil buah mangga yang menjulur ke
halamannya.
Kini penantiannya
berakhir sore itu. Seorang pemuda tampan dan berambut gondrong dari rumah
sebelah muncul. Dia mengajak berkenalan.
"Kamu suka
nyuri manggaku, ya!" Eri turun bergantungan dari dahan ke dahan pohon
mangga.
"Kok,
tau?" pipi Nana terasa merah.
Eri tertawa
hinggap di pucuk tembok pemisah. Dia duduk di sana, "Aku pernah ngintip
kamu, kok! Duh, cewek kesepian. Nggak punya temen, ya!"
"Aku 'kan
nggak nyuri! Menurut peraturan, apa saja yang masuk ke halaman rumah kita,
berarti menjadi milik kita."
Eri melompat ke
halaman rumah Nana. Dia kini ada di hadapannya. "Kalau begitu, sekarang
aku jadi milik kamu!" senyumnya menggoda.
Nana tidak bisa
menjawab pertanyaannya.
Sore itu Nana
mencatat di buku harian sebagai hari yang bersejarah, karena Eri-lah orang
pertama dan satu-satunya teman yang dia peroleh di lingkungan perumahan ini.
Tak ada lagi selain dia, kecuali rumah-rumah yang terkunci dengan tembok pagar
bisu yang tinggi.
"Komplek ini
kayak kuburan aja," Nana mengeluh ketika duduk di pantai, menunggu senja
di Selat Sunda tiba.
"Om-mu salah
beli rumah!" Eri tertawa memetik gitarnya.
"Rumahmu aja
mirip rumah hantu. Nggak ada orangnya."
Eri berhenti
memetik gitar. Dia memeluk dan menopang wajahnya pada tubuh gitar. "Aku
juga merasa kesepian seperti kamu. itulah sebabnya kenapa aku lebih sering
beada di luar rumah.
"Kamu suka
hiking?"
Nana mengangguk
cepat.
"Ya,
berpetualanglah. Naik gunung, menyusuri pantai, atau cuma sekedar jalan-jalan
keluar-masuk kampung bersepeda.
Itu hobiku yang
lain selain main musik. Semuanya sangat menyenangkan ketimbang diam di rumah
yang kayak neraka!"
"Aku nggak
pernah lihat orang tuamu. Ke mana aja mereka?"
Eri menerawang.
Melihat ke langit timur. Bola merah raksasa itu sebentar lagi jatuh.
"Sebentar lagi kegelapan datang, Nana, dan hari pun menghilang,"
katanya pelan dan bergetar. "Cuma kegelapan saja yang ada di sekeliling
kita."
Nana mencoba
menangkap makna kalimatnya.
Episode 11
Senja di Selat
Sunda
"Itulah
hidupku, Nana."
Nana menatapnya.
"Orang tuaku
seperti tidak pernah merasakan, bahwa aku itu anaknya. Mereka selalu datang dan
pergi sendiri-sendiri. Jarang sekali kami bisa makan sama-sama di meja makan
dalam satu kesempatan seperti yang biasa kamu lakukan di rumah bersama Om dan
Tantemu.
Kalau aku makan,
kadang cuma dengan Mama, ya dengan Papa, atau malah cuma ditemani Bik Iyem,
pembantu kami.
Biasanya Papa
bilang, ‘Mana Mamamu?’ Aku sendiri tidak pernah tahu, apalagi yang sedang
dikerjakan Mama saat itu. Atau kebalikannya, 'Papamu belum pulang?' kata Mama.
Itu pun aku nggak pernah tahu, ke kota mana lagi Papa pergi. Sebuah keluarga
yang satu sama lainnya cuma bisa berhubungan lewat telepon genggam saja,"
Eri tertawa hambar.
Hari-hari Nana di
komplek elit itu kini beragam setelah ada Eri. Kalau tidak bersepeda ke
kampung-kampung di Minggu pagi, biasanya mereka naik kereta ke mana saja mereka
suka. Atau diisi dengan menikmati senja di Pantai Selat Sunda dan duduk-duduk
saja di halaman samping rumah sambil mendengarkan petikan gitar Eri. Biasanya
Nana yang jadi penyanyinya. Eri memang lebih mahir memainkan gitar daripada
menyanyikan lagunya.
Menjalin bubungan
dengan Eri mengantarkan Nana jadi menyukai alam. Dia lalu ikut bergabung denga
kelompok pecinta alam di sekolahnya. Dia jadi mengenal Yanto, sang pemimpin PA
dan beberapa orang lainnya selain kawan-kawan di kelasnya. Kalau PA sekolahnya
melakukan ekspedisi, Eri suka ikut serta sekalian menurunkan
"ilmu-ilmu"nya pada Yanto. Eri memang lulusan sekolahnya juga
sekaligus seniornya di PA.
Bersama Eri pula,
bagi Nana seperti sedang mengikuti sebuah drama keluarga. Atau seperti sedang
membaca sebuah novel dengan kisah yang klise. Tentang seorang anak lelaki yang
tumbuh kesepian di rumah yang besar. Harta yang melimpah ternyata bukan jaminan
kebahagiaan seseorang. Papanya memang sibuk luar biasa mengurusi perusahaannya
dan ibunya lebih memperhatikan bisnis perhiasan.
Sesekali Nana
diajak bersama kelompok Eri latihan band di sebuah rumah kosong. Kadang pula
dia menggantikan penyanyi utamanya jika terlambat datang. Atau kalau Eri
mengajak kawan-kawan bandnya untuk latihan di rumah, jika kedua orangtuanya tidak
ada di rumah, Nana pun ikut bernyanyi membikin gaduh seisi komplek.
Eri sudah setahun
menganggur. Dia tiga tahun di atas Nana. Ternyata dia tidak memilih meneruskan
kuliah, tapi semakin asyik dengan kelompok bandnya. Melewati jam terbang dari
satu panggung sekolah ke panggung seni lainnya. Kadang kala dia ikut festival
band ke kota-kota lainnya atau menjadi kelompok pembuka di bar-bar kecil di
kawasan Merak. Atau traveling sendirian ke mana saja dia suka. Terutama
mengunjungi Baduy; bersahabat dengan masyarakat yang mengasingkan diri di
Banten Selatan.
"Aku dapat
kerja!" Eri berteriak ketika kami sedang makan malam.
Eri menarik kursi.
Tante Oya langsung menyodorkan piring. Bagi tantenya, Eri sudah dianggap
sebagai pagian dari mereka. Bahkan Eri bisa leluasa melakukan apa saja di rumah
mereka. Begitu juga sebaliknya, mereka bisa menyuruh apa saja pada Eri, karena
tidak ada lagi lelaki di rumah ini selain omnya.
"Kerja di
mana Kak Eri?" Siska, mencoba membantu mengambilkan nasi.
"Pokoknya
Siska harus nonton, ya!" Eri mencomot paha ayam. "Ya. Tapi, nonton
apa?" Siska mulai tertarik.
"Eri and
group band, sekarang punya pekerjaan tetap! Nggak akan menclok ke sana-kemari
lagi!" Eri berteriak girang sambil menyebutkan salah satu bar kecil di
kawasan hiburan malam Cilegon.
"Wah,
selamat!" Om Oya tersenyum lebar.
"Siapa tahu
nanti ada yang tertarik merekam lagu-lagumu, Eri," Tante pun ikut memberi
perhatian.
Nana menatapnya
dengan perasaan gembira, "Kamu sudah memberi tahu orangtuamu, Eri?"
Lalu tanpa gairah
Eri bilang, "Aku nggak tahu mereka ada di mana sekarang. Lagian, mereka
pasti nggak akan pernah setuju dengan apa yang aku lakukan ini. Mereka
menginginkan aku kuliah. Lalu jadi sarjana ekonomi!
Tapi kini anaknya
malah jadi pemain band!" Eri tertawa hambar.
"Mungkin main
band sambil kuliah?" Tante memancing.
"Oh, saya
bukan seorang perfeksionis, Tante."
"Kenapa tidak
dicoba?" kejar Tante lagi.
Eri menggeleng.
Dia berpikir sebentar. "Orangtua saya, Tante, tidak pernah menggubris apa
yang sedang atau saya lakukan. Melihat saya masih sehat-sehat saja, buat mereka
lebih dari cukup.
Tapi ketika mereka
tahu anaknya gandrung musik, tanpa alasan yang jelas, mereka merasa bertanggung
jawab atas masa depan saya!"
"Itu gunanya
orangtua," Om nimbrung.
"Seharusnya
itu mereka lakukan dari sejak awal," Eri mulai gelisah.
"Kapan
mainnya?" Nana mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Minggu
depan."
"Saya kamu
ajak nonton 'kan?" Nana merajuk.
Eri mengangguk.
"Kalau bisa Siska, Om, dan Tante juga nonton, ya. Ini penting buat
pemunculan saya yang pertama."
Pada malam pertama
pemunculannya di bar kecil, mereka sekeluarga nonton. Tadinya Tante keberatan,
karena tempat itu tidak cocok bagi Siska, yang masih kecil. Untung Om mau
menyediakan waktu khusus untuk menemani.
Malam itu Eri
tampak bersemangat sekali memetik gitarnya. Dia tampil penuh percaya diri
mengimbangi suara penyanyi utamanya. Permainan mereka tidak mengecewakan.
Terbukti banyak orang-orang yang berjoget dan ikut berteriak-teriak mengikuti
irama lagu rock 'n roll tahun 70-an.
Tapi bermain di
bar kecil itu temyata tidak bertahan lama. Eri dan kelompoknya pindah ke sebuah
bar yang agak besar. Tentu dengan bayaran yang lebih besar pula. Cuma
akibatnya, Nana jadi jarang bertemu Eri lagi. Kalau Eri pulang, pasti dini
hari. Ketika dia bangun, Nana sudah ada di sekolah. Giliran Nana ada di rumah,
dia sudah sibuk dengan kelompok bandnya. Paling-paling sesekali Nana diizinkan
omnya untuk ikut Eri di malam Minggu.
Suatu malam,
jendela kamar Nana diketuk. Dia melihat Eri dengan wajah kusut. Dia membuka
jendela dengan gusar, "Ada apa, Eri, malam-malam begini?"
"Temani aku
malam ini, Nana," pintanya serius.
"Ke
mana?" Nana menguap.
"Ke pantai,
ya?" harapnya.
Episode 12
Senja di Selat
Sunda
Nana melihat jam
di meja belajar sudah melewati angka satu. Sebetulnya dia ingin sekali kembali
memeluk guling, tapi begitu melihat wajah Eri yang sangat memelas, dia urungkan
niat tadi. Inilah gunanya seorang teman. Siapa tahu dia pun mengalami hal yang
sama seperti Eri suatu saat nanti.
Dengan
tergesa-gesa Nana menulis surat. Dia kabarkan pada Om dan Tante tentang
kepergiannya pada dini hari bersama Eri ke pantai di Selat Sunda. Siapa tahu
mereka "geger" dan melaporkan "kehilangan"ku pada polisi,
pikir Nana.
Nana melompati
jendela.
Dengan jeep Eri,
mereka melaju ke Selat Sunda. Sepanjang perjalanan, Eri cuma berkonsentrasi
pada kemudi dan jalanan.
"Maafkan aku,
Nana," suaranya terdengar juga.
Nana cuma
tersenyum menghibur.
Kali ini tanpa
gitar, Eri menceritakan keadaan rumahnya, yang semakin hari semakin seperti
neraka saja baginya.
"Mereka
saling menyalahkan, Nana. Saling melemparkan tanggungjawab, karena merasa telah
gagal membesarkan dan mendidik aku," suara Eri seperti putus harapan. Nana
merapatkan jaket. Angin pantai memang berhembus keras.
Begini kira-kira
cerita Eri:
Begitu lagu
terakhir usai, Eri memilih untuk pulang lebih awal daripada menghabiskan sisa
malam dengan botol-botol bir atau wanita seperti kebiasaan para penyanyi rock
di bar-bar kecil. Perasaannya tidak menentu. Dia merasa sesuatu akan terjadi
malam ini di rumahnya.
Betul juga. Baru
saja Eri memasukkan jeep ke garasi, Papanya sudah bertolak pinggang di pintu
masuk. Mamanya cuma memperhatikannya dari ruangan dalam dengan perasaan cemas.
"Ternyata
begini Eri, balasan dari kepercayaan yang Papa berikan! Keluyuran setiap malam!
Tampang kayak anak jalanan!"
"Eri nggak
keluyuran, Pa," Eri menjawab seenaknya.
"Apa namanya
kalau pulang selalu menjelang pagi, kalau bukan keluyuran!" Papanya
semakin murka.
"Eri main
musik, Pa."
"Kamu bisa
apa dengan musik, heh?! Cuma membawakan lagu-lagu pinggiran jalan! Bikin
telinga orang jadi sakit! Apa sih yang kamu dapat dari musik, Eri?"
"Selain
kepuasan batin, Eri juga dibayar, Pa."
"Sudah kaya
kamu, heh! Berapa bayarannya ? Biar Papa nanti yang bayar kamu, kalau uang dari
Papa masih saja kurang! Yang penting kamu kuliah! Kalau perlu, Papa kirim kamu
sekolah ke Eropa atau ke Amerikar!"
"Sudah,
sudah, Pa. Malu sama tetangga," Mamanya menengahi. Wanita cantik itu
menuntun anak lelaki kesayangannya ke dalam rumah.
"Ini semua
gara-gara Mama, sih! Tuh, lihat anak kesayanganmu sekarang. Jadi liar dan tidak
intelektual! "
"Kok,
Mama?" Mamanya kini menggeliat.
"Harusnya
Papa! Ke mana saja Papa selama ini? Selalu rapat inilah-itulah! Padahal cuma
cari-cari alasan biar bisa berduaan dengan sekretaris itu!"
"Heh, heh,
jangan menyebar fitnah, Mama!" Papanya membentak. "Malah selama ini
apa yang Mama lakukan terhadap Papa? Tanggung jawab seorang istri terhadap
suaminya? Apa pernah Mama menyediakan Papa sarapan? Mempersiapkan tas, dasi,
atau jas sebelum Papa berangkat ke kantor? Semuanya dikerjakan oleh Bik Iyem!
Mama ini lebih mementingkan bisnis permata daripada ngurusin anak! Istri macam
apa itu!"
"Lho, bisnis
permata itu bernilai jutaan, Papa! Kalau Mama selama ini cuma diam saja, kita
mau makan apa? Bagaimana nanti dengan biaya listrik, telepon, iuran televisi,
gajih Bik Iyem, dan biaya sehari-hari Eri ? "
"Dari gaji
Papa saja itu semua sudah cukup!"
"Tapi
bagaimana dengan keinginan-keinginan Mama, Papa? Apa Papa selama ini bisa
mencukupinya? Mama ‘kan wanita. Butuh pergaulan, hiburan, dan perhiasan demi
menjaga citra suami!"
"Mama terlalu
mengada-ada!"
"Papa yang
tidak mau menerima Mama, sebagai istri yang berpikiran maju! Sebagai wanita
karir!"
"Tapijangan
kelewatan, dong!"
"Papa mungkin
yang kelewatan!"
"Tapi lihat
akibatnya pada anak kita!"
Eri tercengang.
Sebetulnya malam ini dia cuma jadi kambing hitam saja dari "peperangan
" kedua orangtuanya. Segalanya jadi jelas kini, bahwa kedua orangtuanya
sudah tidak bisa mengarungi bahtera hidup lagi bersama-sama. Mereka lebih
merasa ketakutan tidak bisa membayar rekening ini-itu daripada memikirkan
pertumbuhan dirinya. Untuk alasan lain tentang ketidakharmonisan papa-mamanya,
misalnya ada orang ketiga, Eri belum melihatnya.
Eri mengunci
dirinya di dalam kamar. Dadanya terasa terhimpit. Sebetulnya ingin sekali dia
menceritakan kebanggaannya, bahwa dia sudah bisa mendapatkan pekerjaan. Sudah
bisa memperoleh uang dari keringatnya sendiri. Ingin betul dia melihat
papa-mamanya memeluknya bangga, karena sudah bisa memilih hidup, tanpa perlu
menggantungkan diri dari fasilitas orangtua.
Tapi mana mau
papa-mamanya mengerti. Mereka cuma mau dirinya meneruskan kuliah dan jadi
manusia intelektual dan mentereng dipandang rekan sejawat Papa. Mereka tidak
pernah bisa mengerti kalau yang dibutuhkan dirinya sekarang adalah menjadi
lelaki merdeka, yang bisa bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Dia sedang
butuh pengakuan dari sekelilingnya, untuk bisa tumbuh di masyarakat. Dan itu
cuma bisa diperolehnya dengan bekerja. Dengan mendapatkan uang dari tetesan
keringatnya sendiri.
Malam terus
menggelincir. Pagi mulai menggeliat-geliat. Kesibukan baru berputar lagi.
"Papa
berpendapat, menjadi seorang pemusik itu bukan pekerjaan intelektual," Eri
menelungkupkan wajahnya di kemudi.
"Mungkin
karena dandananmu yang mirip berandalan," Nana tertawa.
"Maksudmu?"
"Cobalah
potong rambutmu. Rapih sedikit. Ganti jeans-mu yang pada bolong itu dengan yang
agak sopananlah. Syukur-syukur berjas-dasi," Nana mengusulkan sambil
tertawa.
Eri ikut tertawa,
walaupun kecut.
"Aku harus
pergi sekolah," Nana menguap.
Eri mengangguk.
Dia menyalakan jeepnya.
"Moga-moga Om
dan Tante nggak marah, ya," katanya pelan. Tapi Eri tidak menarik kopling.
Lengannya merengkuh jemari Nana. Eri menoleh. Menatapnya.
Ombak berdebur di
hati Nana.
"Aku takut
kehilangan kamu, Nana," suara Eri bergetar.
Lengan Eri
mengangkat wajah Nana. Dia mengecup keningnya sambil berbisik, "Aku
mencintaimu, Nana."
Nana terkesiap.
Matahari pagi kini menyeruak perlahan. Membangunkan mimpi-mimpi semua orang
yang sedang terlena. Hari baru kini di hadapan; harus mereka lalui tanpa tahu
apa yang akan terjadi.
***
Episode 13
Senja di Selat
Sunda
Rhapsodi
perpisahan
Hai, Nana!
Suratmu nyampe.
Ternyata alamat Poste Restante, GPO Yogyakarta mantep juga. Aku nggak usah
bingung-bingung buat nyari alamat surat kalau bepergian sekarang. Thank's juga
kiriman lirik-lirik lagunya. Membantu banget dalam perjalangan ngamen-ku.
Aku masih betah di
Yogya. Sehat, gemuk, dan bersih. Sungguh! Walau kegiatan sehari-hari di jalan,
tetaplah aku yang masih menyisakan bekas "keteraturanku". Tak bisa
tak peduli pada tubuhku sendiri, karena itu aset mendasar.
Nana, sepatu
western-ku disambar maling. Raib, dah! Sandal jepitan aku sekarang. Aku masih
merokok sedikit. Susah ngeberentiinnya. Alkohol, no! Drugs, apalagi. Ngamen,
cuma ini yang baru bisa aku lakukan. Setiap hari aku dipelototin mata, yang
entah apa artinya. Mungkin kasihan, mungkin aneh, dan terkadang juga
kilatan-kilatan mata sebal. Aku tak peduli, walaupun suka ada juga cewek-cewek
kampus yang larak-lirik (pengamennya 'kan keren, hehehe). Yang jadi pedomanku,
semuanya aku lakukan dengan penghayatan. Itu jarang aku lakukan ketika masih
maen sama kawan-kawan. Wah, kalau saja si Uzi sekarang ngikut ngamen sama aku,
bakalan panen terus, deh.
Tapi Nana, di lain
waktu aku merasa pada saat dulu di mana mestinya aku jadi orang baik-baik,
patuh, dan lurus, malah pengen coba-coba jadi orang liar. Sekarang di Yogya,
ketika mestinya aku jadi orang jalan yang liar dan impulsif, malah jadi seperti
orang yang terpencil. Di antara kawan-kawan baruku di jalanan, cuma aku yang
nggak minum. Cuma aku yang nggak senang bergerombol. Cuma aku yang tak terlalu
bergairah. Terutama pada cewek-cewek senasib. Oh, betapa bebasnya pergaulan
mereka. Kehidupan seperti ini sebetulnya tidak terlalu aneh betul untukku.
Hanya saja sekarang bobotnya lebih kuat. Iya, betul-betul anak jalanan, yang
sehari-harinya di jalan melulu. Jalanan Yogya lumayan keras juga, di mana
berlaku motto "Daripada menang, lebih baik mengalah". Apa ini pernah
aku tulis di surat kemarin? Aku belum pernah clash fisik, memang. Tapi semenjak
datang, semenjak aku mengenal kata pasrah pada Tuhan, tertanam di benakku: Aku
tak boleh dan tak akan dipermalukan oleh siapa pun. Itu suara rendah dari
hatiku. Dan aku enjoy sambil tetap jaga mulut.
Ngamen itu tak
bisa diandalkan buat cari kekayaan, Nana. Tapi bisa dipakai sebagai jembatan
pengubah nasib. Itu yang tampaknya tak dihiraukan para kolegaku. Begitu dapat
duit, mereka langsung asyik dengan alkohol. Aku sempat nonton konser "Raja
Pengamen", Iwan Fals di Yogya. Hebat. Dia orang hebat. Berkharisma dan
tahu persoalan. Dia "pahlawan". Dia idola bagi orang-orang sisa.
Seperti katanya: Kita memang sampah, tapi bukan sampah plastik. Mungkin
maksudnya, sampah plastik diolah cuma jadi sampah plastik lagi.
Dari dulu aku
tahu, jika terlalu banyak keinginan akan makin membuat kita menderita. Dulu
keinginanku banyak, ingin punya keluarga hebat gitaris rock. memiliki kamu
(ehem), dicintai kamu (huuuuu), punya album kaset, dan entah apa lagi. Ternyata
setelah dihayati, tidak terlalu banyak keinginan itu yang membuat kita enteng,
tapi sekaligus mandeg. Aku sekarang, sehari-harinya keinginanku cuma memenuhi
kebutuhan dasar saja; makan, minum, dan istirahat (tidurlah). Keinginan untuk
corat-coret bikin lirik lagu, kadang jadi males kalau tidak dipaksakan.
Kawanku bilang:
Arti hidup itu adalah saling berhutang. Itu karena kawanku itu suka ngutang di
warung 'kali. Mungkin maksudnya, hidup itu saling ketergantungan. Ada benarnya.
Yang pasti, hidup tolong-menolong dan saling mendukung itu ada di kalangan
bawah. Orang-orang kebanyakan. Contohnya para pengamen inilah. Aku perhatikan,
yang paling sering dan ihklas memberi adalah sesama rakyat kecilnya. Mahasiswa,
yang katanya kaum intelektual dan peka terhadap aspirasi rakyat kecil, juga
pegawai pemerintah, weh, ternyata lebih banyak yang ogah melirikkan matanya
pada kami (aku kini digolongkan jadi bagian dari pengamen).
Sering aku tidak
paham diriku. Kadang merasa hari ini aku sedang marah pada diriku, marah pada
orangtua yang nggak becus ngurus anak, dan marah pada ketololanku, pada
negaraku, dan masyarakatku. Di lain hari aku merasa damai, aman, dan ikhlas.
Okey, Nana, untuk
sementara aku tetap ngamen dulu. Hidupku memang tak bisa lepas dari musik. Oh
ya, kemarin aku naik Gunung Merapi. Asyik juga. Di surat ini aku nggak ingin
ngomongin orangtuaku. Kamu pasti bosen. Sampai di sini dulu, ya!
***
Nana mendekap lagi
surat itu. Dia membayangkan Eri yang kesepian sendiri. Tak ada kawan jika
sedang gundah-gulana. Nana sadar, bagaimanapun Eri tetap merahasiakan kisah
hidupnya pada kawan-kawan sesama pengamennya. Kalau mereka mengamen itu untuk
menyambung hidup, Eri cenderung untuk sekadar pelepasan hati atau menghibur
kegetiran hidupnya. Uang sebetulnya bukan segala-galanya bagi Eri, tapi
kedamaianlah yang dicari Eri.
"Sekarang
betul-betu1 perang dunia ketiga," Eri menutup wajahnya dengan kedua
telapak tangannya, seolah tidak mau melihat perahu nelayan yang begitu
tenangnya dipermainkan ombak di Selat Sunda.
"Ada apa
lagi?" Nana menyenderkan tubuhnya ke punggung Eri. Sebetulnya dia rindu,
karena Eri seperti menghilang begitu saja selama sebulan. Tapi, ketika sepulang
sekolah tadi Eri mencegatnya dengan jeep di muka sekolah, Nana bisa menebak
bahwa kerinduannya akan sia-sia. Wajah Eri begitu kusut dan terhimpit beban.
Mereka kembali
duduk di pantai, sedang menunggu senja turun di Selat Sunda.
Eri berdiri.
Nana menggerutu,
karena terguling ke pasir.
"Papaku punya
bini muda," suara Eri tertelan ombakSelat Sunda.
Nana terperangah.
"Sebulan yang
lalu Mama menangis di kamarku. Mama memperlihatkan potret pemikahan Papa.
Pengantin wanitanya tak jauh beda dengan kamu. Lebih pantas aku anggap kakak
ketimbang ibu tiri."
"Oh,
Eri," Nana cuma bisa memeluk tubuh lelaki itu. Mencoba meredakan badai di
dadanya yang bergejolak.
"Apa yang
harus aku lakukan, Nana?" Eri mulai menggeliat.
Episode 14
Senja di Selat
Sunda
"Aku nggak
tahu, Eri," Nana belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Dia baru saja
di bulan-bulan awal kelas dua SMA.
"Oh, kalau
saja mereka tahu, betapa aku menginginkan mereka hidup rukun. Betapa aku
menyayangi mereka."
Nana menuntun Eri
ke pantai. Nana merasa seperti sedang membawa benda tak bernyawa. Rapuh sekali.
Mereka duduk.
Eri menangis terisak-isak.
Saat inilah dia
baru percaya, bahwa menangis itu bukan cuma milik wanita. Lelaki pun bisa
terjebak di dalamnya. Sebetulnya tak perlu diributkan betul kalau "lelaki
menangis itu cengeng dan senjata wanita adalah menangis". Anggap saja
"menangis" itu milik semua orang; lelaki dan wanita. Menghadapi
situasi seperti ini, Nana cuma ingat pesan ibunya, "Mendengarkan adalah
hal paling bijaksana."
"Ketika hal
itu aku tanyakan, Papa tidak membantah. Papa malah balik menyalahkan Mama, yang
katanya suka keluyuran dengan 'daun muda’ di Jakarta.
Aku betul-betul
seperti anak bodoh, yang dilempar ke sana-kemari. Mama menyalahkan Papadan
begitu juga sebaliknya.
Aku pikir dalam
hubungan Papa-Mama sudah nggak ada keharmonisan lagi. Kini komplit sudah.
Selain soal melulu materi, ternyata ada orang ketiga.
Tadinya, aku
pikir, Papa memang mata keranjang. Cuma ingin menang sendiri dengan
mengkambinghitamkan Mama saja. Aku sampai perlu menguntit Mama ke Jakarta untuk
membuktikan omongan Papa.
Oh, Nana!"
Eri menjambak rambut gondrongnya ke belakang.
Nana menggigit
bibirnya.
Ombak Selat Sunda
menggelora.
"Mama memang
berbisnis permata. Tapi, Mama ternyata kelayapan ke Mall-mall; melirik
cowok-cowok yang sebaya dengan aku. Bahkan menggaetnya ke hotel."
Aku sampai hilang
pikiran saat itu.
Aku hajar cowok
buaya itu di depan Mama.
Mama menangis
seperti orang kesurupan."
Ombak berdebur
memukuli pantai. Ujungnya yang putih seperti busa seperti memanggil-manggil
mereka agar mendekat. Ujung ombak putih itu kini ibarat janggut putih penguasa
laut, yang datang hendak menghibur mereka.
Eri berdiri lagi.
Dia mondar-mandir. Betul-betul anak manusia yang kehilangan arah mata angin.
Tak tahu harus bertindak apa dan bagaimana.
"Tahu apa
yang Mama bilang, Nana? 'Ini lebih baik ketimbang papamu, Eri! Yang
mengkhianati Mama dengan mengawini salah satu dari mereka!"
"Apa betul
itu berbeda, Nana?
"Yang mereka
pikirkan adalah dirinya sendiri, bukan aku, sebagai anak mereka.
"Aku pikir,
perceraian adalah hal yang terbaik buat mereka. Tapi mereka tidak memilih itu.
Mereka masih takut dengan hukum masyarakat tanpa pernah mau memikirkan
aku."
Beberapa hari
setelah itu, Eri mengajak Nana untuk menonton pertunjukannya. Wajah Eri dari
hari ke hari semakin kusut. Seperti tak ada gairah hidup lagi.
"Kok, main di
sini?" Nana keheranan ketika jeep diparkir di sebuah hotel terkemuka di
pesisir Selat Sunda.
"Kami
dikontrak 6 bulan di sini," Eri berusaha tersenyum.
"Oh,
congratulations!"' Nana terpekik memeluk Eri. Mengecup pipinya. "Ini
harus kita rayakan, Eri!"
Eri berusaha
tersenyum lagi.
"Oh, Eri,
betapa aku ingin duduk-duduk di pantai di sekitar hotelnya. Melihat keindahan
Krakatau malam-malam, yang kadang menyemburkan letupan-letupan apinya!"
Nana betul-betul gembira.
"Aku mau
nyanyi malam ini, Nana."
"Oh,
ya?!" Nana menahan tawa.
"Aku nggak
akan jadi kalau kamu ketawa kayak tadi."
"Okey,
okey," Nana menepuk-nepuk pipi Eri. "Aku janji nggak akan
mentertawakan kamu." Eri mendelik.
"Swear!"
Nana mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya.
Eri kini
tersenyum.
Nana begitu
bahagia melihatnya. Kadang kala dia merindukan senyum Eri yang mempesona
sekaligus menggoda, seperti pertama kali Nana melihatnya. Oh, perkenalan itu
sangat membekas di hatinya. Ketika Eri menimpuknya dengan buah mangga. Lalu
mengajaknya berkenalan!
Eri menariknya ke
lobby hotel. Mereka melintasinya. Nana melihat ada beberapa track bowling. Para
tamu, yang mayoritas orang asing, sedang asyik menggelindingkan bola hitam itu
untuk menghancurkan barikade kendi-kendi putih.
"Nanti ajari
aku bowling, ya!" Nana merajuk.
Eri mengangguk.
Beberapa orang
kawan bandnya menyambutnya, yang juga membawa pasangan masing-masing. Mereka
saling merengkuhkan tangan, pertanda kekompakan mereka.
"Wah, kamu
nggak bakalan bisa nyanyiin rock 'n roll di sini. Apalagi metal!" Nana
meneliti pengunjung bar hotel ini, yang rata-rata berumur dan berduit.
"Kamu lihat
aja nanti!" kata Uzi, penyanyi utama sambil tertawa merangkul Yanti,
pasangannya yang tersenyum malu-malu.
"Kamu mau
nyumbang lagu?" si penggebuk drum, Adam, meledek.
Nana mencubitnya
keras-keras.
"Heh, enak
aja. Pacar orang, tau!" Dini, pasangan Adam, merajuk manja.
"Kamu udah
tahu Eri bakal nyanyi?" Uzi menahan tawa.
Eri menggepit
kepala Uzi dengan gemas. "Pokoknya, malam ini posisi kamu bakalan
kegusur!" Eri tertawa.
"Oh,
Boy!" Uzi tertawa keras. "Kamu denger itu, Opik!" Uzi meninju
bahu pemain keyboard.
"Aku jadi
penonton aja, deh!" Opik tertawa. Dia berlindung di balik Prety, pacarnya,
ketika Eri hendak menjambret rambutnya.
"Nggak janji
lah yaa!" Rehan, pasangan si pencabik bas, Mhaex, mengerling lucu dan
tertawa genit.
Tapi Nana sudah
berjanji tidak tertawa untuk hal ini.
Eri memanggil
seorang pelayan. Berbicara padanya. Lalu, "Kalian ikuti dia, ya,"
katanya pada Nana dan keempat cewek lainnya.
Nana mengangguk.
Kelima cewek itu mengikuti pelayan. Nana duduk menyender ke tembok. Meminta es
cola pada pelayan itu. Cahaya di bar mulai redup. Para pengunjung yang sedang
bersantai memenuhi dua pertiga ruangan masih asyik bercengkrama dengan lawan
bicaranya atau lamunannya masing-masing.
"Saya
deg-degan," Yanti meraba dadanya.
Episode 15
Senja di Selat
Sunda
"Kalian yakin
para tamu bakalan suka lagu-lagu mereka?" Dini juga ikut khawatir.
"Aku sedang
berdoa untuk itu," Prety memejamkan mata.
"Paling-paling
cuma suka sama pemain bass-nya," Rehan tertawa.
"Aku
serius!" Yanti mendelik.
"Kamu kok
diem aja?" Dini menyentuh lengan Nana.
"Kami ikut
prihatin, Nana, dengan apa yang terjadi pada Eri," Rehan merangkul
bahunya.
Nana mencoba
tersenyum.
Lampu mulai
menyorot ke panggung.
Eri dan Mhaex
menyelendangkan gitar, Adam mulai memukul-mukulkan stik drum, Opik berdiri di
depan piano, dan seketika itu pulalah melengking suara Uzi, "Oh
Darling!" dari Beatles.
Nana melihat para
pengunjung agak tersentak juga. Mata mereka perlahan-lahan berpindah ke
panggung di sudut ruangan. Suasana yang romantis dan penuh kenangan seperti
tercipta dari wajah-wajah tamu, yang rata-rata di atas 40-an tahun.
Lalu meluncur
lagu-lagu blues legendaris. Rupanya malam ini mereka tidak membawakan lagu-lagu
yang hingar-bingar atau jingkrak-jingkrak tanpa harus meninggalkan akar rock 'n
roll yang sudah biasa mereka bawakan.
Di atas panggung
tiba-tiba ada kelainan. Uzi menghilang ke belakang panggung. Rupanya saat
inilah Eri akan menyanyi. Seseorang muncul membawakan kursi.
Eri duduk di kursi
itu.
Hening sebentar.
Nana pada mulanya
tidak percaya kalau yang sedang membawakan "Mother"-nya John Lennon
itu adalah Eri, yang paling kesal jika disuruh menyanyi. Tapi Nana merasakan
Eri bukan sekadar menyanyi. Tiba-tiba Nana seperti melihat seseorang sedang
meronta-ronta, menjerit, menangis, dan berteriak-teriak marah pada keadaan.
"Oh, aku
nggak percaya Eri bisa nyanyi!" Yanti menutup mulutnya.
Nana merasa
kelopak matanya hangat. Dia mengusap air matanya, yang mulai mengalir
hati-hati. Dia tahu persis apa yang sedang berkecamuk di hati Eri. Kalau saja
papa-mama Eri malam ini hadir di sini, selayaknya mereka harus bahagia melihat
anaknya yang sangat mendambakan keharmonisan sebuah keluarga. Harta yang
melimpah memang tidak pernah bisa menjamin kebahagiaan seseorang.
"Bagaimana,
Nana? Bagus suaraku?" Eri meminta pendapatnya dalam perjalanan pulang tadi.
"Kamu nggak
nyanyi tadi," Nana meledek.
"Lalu,
apa?"
"Kamu
protes."
"Protes pada
siapa?"
"Pada
Tuhan."
Eri tertawa
hambar, "Para tamu 'kan nggak ada yang tahu masalahku."
"Aku 'kan
tahu. Uzi, Adam, Mhaex, dan Opik juga tahu. Yanti dan yang lainnya juga
ngerti."
"Kalian bukan
tamu."
"Tapi kamu
menyuruh aku dan pemain band untuk mendengarkan rintihanmu. Protesmu.
Seolah-olah kamu mengumumkan pada kami, bahwa Tuhan sudah nggak bersikap adil
pada kamu. Sementara kami hidup dengan keluarga yang bahagia, tapi kamu malah
hidup berantakan."
"Yang penting
pengunjung terpesona tadi dengan suaraku."
"Mereka cuma
memhayangkan John Lennon yang nyanyi tadi," Nana tertawa.
"Sekarang
kamu tertawa, Nana. Dan kedengarannya sinis."
Nana terpaksa harus
hati-hati. "Aku cuma bosan ngedenger persoalan-persoalan yang terjadi di
rumahmu, Eri. Seolah-olah kamu mengeksploitirnya. Minta dibelaskasihani sama
orang-orang, bahwa 'Nih, aku anak yang terlahir dari keluarga broken home' .
Kenapa aku bosan
ngedengernya? Karena aku nggak hisa ngebantu apa-apa. Seharusnya kamu bisa
lebih tabah dari yang terjadi seperti sekarang, Eri."
"Apa
maksudmu, Nana?" Eri meminggirkan jeepnya.
"Sudah ma1am,
Eri. Nantilah kita bicarakan hal ini."
"Jawab, Nana.
Kamu bosan dengan keluh-kesahku atau bosan dengan aku? Malah jangan-jangan ada
cowok lain, Nana?"
"Oh, Eri,
jangan kayak anak kecil."
"Kita memang
masih anak kecil, Nana. Kamu saja baru akan tujuh belas tahun. Aku belum lagi
dua puluh." '
"Ayolah
pulang, Eri."
"Aku memang
nggak bisa kayak cowok-cowok lain, Nana. Yang bisa menggembirakan pasangannya
di setiap malam Minggu, karena hidup mereka sendiri sudah hahagia.
Aku malah jarang
mengapeli kamu di malam Minggu. Mengajakmu nonton atau makan malam. Kalaupun aku
mengajakmu pergi, paling-paling aku menceritakan tentang keadaan rumah yang
seperti neraka."
Nana tidak
menjawab, walaupun hatinya mengiyakan.
Setelah kejadian
malam itu, Eri menghilang lagi selama seminggu. Seperti angin, yang datang dan
perginya tak pernah ketahuan.. Begitulah yang terjadi pada Eri, yang bisa
datang dan pergi semaunya saja. Kadang kala Nana melongok lewat pagar pembatas,
mencari-cari Bik Iyem, pembantu tetangga sebelah itu.
"Bik,
Bik," Nana memanggil pembantu itu.
"Eh, Neng Nana."
"Nggak ada
orang di rumah, Bik?"
Bik Iyem
menggeleng.
"Eri ke mana,
Bik?"
"Nggak tahu,
Neng. Malam-malam Eri bawa ransel. Bawaannya banyak, Neng. Mungkin pergi
kemping."
Nana menggerutu
sendirian, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah itu
kelompok band Eri datang memberondong Nana dengan beragam pertanyaan.
Membuatnya kesal dan tidak bisa memihak siapa-siapa.
"Kemping ke
mana Eri?" Uzi penasaran.
"Mana aku
tahu!" Nana histeris.
"Ayolah,
jangan main rahasia-rahasiaan!" Adam kesal.
"Kacau,
kacau!" Mhaex nimbrung. "Bubar, bubar deh! Ke mana sih tuh
anak!"
Episode 16
Senja di Selat
Sunda
Cuma Opik yang
bisa memaklumi. "Mungkin Nana nggak tahu ke mana Eri pergi. Ya, sudah.
Kalaupun Nana tau, kita nggak punya hak untuk memaksa mengatakannya,"
katanya pada yang lain.
"Sudah empat
hari kami nggak main. Tanpa Eri, kita nggak bisa main. Malam ini peringatan
terakhir. Kalau tetep nggak main, kami akan dipecat!" Uzi begitu kecewa.
"Cari aja
pengganti Eri!" usul Nana.
"Nggak akan kami
lakukan itu, Nana," Opik masih tenang.
"Kenapa?
Karena setengah dari uang pembelian peralatan band uangnya dari Eri?" Nana
menyindir.
Mereka
bersungut-sungut.
"Untuk
sementara aja sambil menunggu Eri pulang," Nana tetap pada pendiriannya.
"Inget, ini
kamu yang mengusulkan!" Uzi menunjuknya.
"Iya, ini
atas usulku!" suara Nana tegas.
"Gimana,
Opik?" Uzi meminta pendapatnya.
"Kalian punya
pilihan?" Opik melemparkan lagi persoalan.
Mhaex menyebut
sebuah nama.
"Kita
cobalah," Adam tidak bergairah.
Tapi keesokan
paginya di sekolah, orang-orang meributkan tentang kebakaran yang melanda hotel
ternama di Pantai Selat Sunda. Hotel di mana Eri dan bandnya biasa tampil
menghibur para tamu di bar.
Nana cuma bisa
terisak-isak sendirian di kamarnya. Kenapa hal ini terjadi padamu, Eri? hati
Nana meratap nelangsa.
"Sekarang
semuanya berakhir, Nana," Uzi tidur-tiduran di rumput. Yanti
membelai-belai rambut kekasihnya dengan iba.
"Ada di mana
kamu, Eri!"Adam berteriak.
"Kami nggak
nyangka, bahwa malam tadi adalah malam terakhir kami main di hotel itu,"
Mhaex meratapi nasib.
"Tanpa
Eri," Opik tersenyum kecut.
"Bagaimana
itu bisa terjadi?" Nana panik.
"Biasa,
korslet listrik!" Rehan yang bersender di bahu Mhaex, nyeletuk.
"Ya, siapa
bisa membaca garis tangan hidup kita," Opik menarik napas. "Aku
pikir, kita akan istirahat panjang dari main band. Ini ada baiknya juga. Aku
agak jenuh juga main di bar-bar."
"Maksudmu?"
Uzi bangkit.
Adam dan Mhaex
juga menatapnya tidak enak.
"Tadi pagi
kakakku menelepon. Dia tahu kebakaran hotel semalam dari berita TV. Aku
ditawari kursus piano di Bandung," Opik memegangi terus lengan Prety.
"Kamu mau
meninggalkan kami?" Adam tidak percaya.
"Aku mau
serius di musik sekarang. Dukunglah aku," Opik memohon. "Kalian juga
bisa melakukan hal sama seperti aku."
"Ya, benar
apa yang dibilang Opik," Nana menyumbang pendapat. "Kalian 'kan nggak
akan selamanya main di bar-bar. Tentu suatu hari bermimpi masuk studio rekaman.
Bermimpi bikin lagu sendiri dan didengar oleh semua orang."
"Sebaiknya
kita tunggu Eri pulang," kata Uzi lemah.
"Kalau dia
masih hidup!" Adam masih jengkel.
Nana menarik napas
panjang.
***
Episode 17
Senja di Selat
Sunda
Rhapsodi Penantian
Nana!
Jika kamu terima
suratku ini, mungkin aku sudah melakukan perjalanan lagi. Kayaknya terus ke
timur menenteng gitar. Kalau lagi suntuk, ngamen adalah hiburanku. Setelah aku
merasakan beberapa kali ngamen, kini 'plong'. Aku bisa merasakannya. There is
something different. Entah apa namanya. Tak tahu aku. Cuma yang aku rasa, jadi
bosan sendiri ngamen di Yogya. Sekarang aku menyingkir dululah. Dengan
kawan-kawan baruku di Yogya nggak ada masalah, kok. Hanya aku perlu cari udara
lain.
Nana, bila
perjalanan ini sudah selesai dan aku pulang, itu artinya aku jadi manusia
instan yang fleksibel. Lentur dan elastis. Manusia serba siap. Termasuk siap
melempar jangkar. Aku punya tali yang panjang, kok. Tak sepanjang milik orang
lain, sih. Tali yang panjang, artinya tidak tergantung pada suatu tempat. Aku punya
dua "titik" sekaligus. "Titik" tempat jangkar menancap dan
"titik" bagi kapal terapung. Tidak seperti pasak yang cuma satu titik
dan lurus, tegak, dan kaku melawan gelombang. Bukan mengikuti arusnya. Tali
punya cakupan wilayah yang luas, Nana, dibanding pasak.
Mungkin tak perlu
jadi kapal. Perahu kecil yang lincah ke segala arah, tapi rentan pada badai dan
gelombang. Hidup memang banyak pilihan dan aku masih terus melihat-lihat. Wah,
aku sebetulnya berlayar saja belum, ya! Kadang aku berpikir, Nana, tak akan
meninggalkan rumah terlalu jauh. Kasihan Papa dan Mama. Kami keluarga kecil.
Akulah dinasti penerus mereka. Aku tentu akan memelihara kerajaan kecil kami.
Nana, kapankah
kita bisa ketemu lagi? Aku pikir kamu nanti bakalan kesulitan membalas surat-suratku.
Entahlah, aku nggak punya alamat sekarang. Aku mungkin cuma bisa meratapi rasa
kangenku padamu. Kenanglah aku di hatimu. Tapi aku akan berusaha untuk tetap
memberimu kabar.
Tentang
orangtuaku, bagaimana kabar mereka? Sesekali aku menelepon mereka. Tapi aku
nggak berani menelepon kamu. Aku takut bisa "gila" jika mendengar
suaramu. Aku takut setelah mendengar suaramu, kerinduanku padamu taktertahankan
lagi. Aku nggak mau itu terjadi. Ini bisa menyiksaku.
Terima kasih, itu
saja yang bisa aku ucapkan sama kamu. Nanti aku kabari lagi.
***
Nana mendekap lagi
surat itu. Dia membayangkan Eri sedang kelelahan menyandang ransel dan
gitarnya; menahan haus dan lapar dalam perjalanan. Sedang menuju ke mana dia
sekarang? Batinnya nelangsa. Ah, kenapa kamu tidak pulang saja Eri?
Setelah kelompok
band Eri datang membawa kabar kebakaran hotel tempat mereka bekerja, dua hari
kemudian, di Minggu siang, Eri menimpuk Nana dengan ranting kecil pohon mangga.
"Hey,
ngelamunin aku, ya!" teriaknya dari dahan pohon mangga.
Ingin sekali Nana
berteriak girang saking rindunya. Tapi itu diurungkannya. Sebagai perempuan,
kata ibunya, tidak baik mengumbar perasaan. Menunggu adalah hal terbaik yang
harus dilakukan perempuan. Ibunya memang terhitung wanita konservatif dalam
soal cinta.
"Marah,
ya!" Eri meloncat turun dan kini sudah duduk di rumput.
"Ke mana aja,
sih!" Nana cemberut.
"Aku ke
Baduy."
"Kok, nggak
bilang! Aku 'kan kepingin juga ke Baduy."
"Di luar
rencana, sih."
"Aku pikir
nggak bakal pulang lagi."
Eri tersenyum.
"Hotelmu
kebakaran."
"Aku denger
di radio."
"Lho, katanya
di Baduy nggak boleh denger radio?"
"Sembunyi-sembunyi,"
Eri tertawa kecil.
"Wah, itu
merusak lingkungan namanya!" Nana protes.
Eri mencubit
pipinya.
"Udah ketemu
kawan-kawanmu?"
Eri mengangguk.
"Kami sepakat untuk mencari jalan sendiri-sendiri dulu. Opik kursus piano
di Bandung, Uzi mau adu nasib di Jakarta. Siapa tahu ada band yang butuh
penyanyi. Adam ikut bisnis pamannya ke Semarang dan Mhaex memilih mengurus
lebih serius sanggar lukisnya."
"Kamu?"
Nana bermanja-manja.
"Itulah
sebabnya aku kemari. Ada yang ingin aku bicarakan sama kamu, Nana. Ini mendesak
sekali," nadanya serius.
"Apa lagi,
sih?" Nana ogah-ogahan.
"Please, ini
untuk yang terakhir, Nana."
Nana menatapnya
penuh ingin tahu. Tiba-tiba dia merasakan ada 'sesuatu' menyusup ke hatinya.
Dia merasakan rasa sepi yang panjang. Sorot matanya pun jadi redup. Eri
menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya. Rambutnya yang gondrong menutupi
seluruh wajahnya.
Mereka meluncur ke
pantai di Selat Sunda. Menghabiskan hari sambil menanti senja. Nana seperti
merasakan pertemuan dengan Eri ini untuk yang terakhir kali.
"Kamu seperti
mau pergi jauh, Eri," perasaannya diungkapkan.
Eri memegang
lengannya. Dia tidak ingin kehilangan gadis yang selama ini selalu hadir, jika
dia sedang bersusah hati. Gadis yang selalu menemaninya dalam kegembiraan.
"Aku
renungkan berhari-hari di Baduy sana, Nana. Dan aku semakin mantap setelah
hotel tempatku bekerja kebakaran."
Nana
menyembunyikan wajahnya. Dia tidak berani untuk menatap layar yang membentang
luas di atas Selat Sunda. Dia seperti takut untuk menyaksikan matahari
tenggelam di layar itu, karena dia sudah merasa hatinya berubah jadi gelap. Tak
ada cahaya. Pernyataan Eri tadi cukup menggoncangkan jiwanya.
"Aku ingin
melupakan dulu masalah-masalah yang sepertinya nggak berhenti menimpaku.
Sebutlah aku pengecut. Tak apa. Yang penting, aku sedang berusaha untuk
memperbaiki keadaan. Aku cuma ingin meninggalkan Papa-Mama; mencari suasana
baru. Kalau terus-terusan begini, aku bisa stress, Nana. Bisa frustasi di usia
muda.
Episode 18
Senja di Selat
Sunda
"Mungkin ini
jalan keluar yang terbaik."
"Betul itu
pilihanmu, Eri?" Nana memeluk Eri.
"Sudahlah,
Nana, jangan menangis," Eri mengusap air mata di pipinya. "Aku
menyesal sudah membuatmu sedih." ,
"Kenapa kamu
tidak tinggal di sini saja. Toh ada aku, Siska, Om dan Tante."
"Bagaimanapun mereka bukan milikku, Nana."
"Setidaknya
kami akan menghiburmu."
"Ketulusan
hati kalian memang membuatku terhibur. Bahagia rasanya jika aku berada bersama
kalian, Nana. Tapi ada yang lebih penting dari itu, kehidupanku sendiri.
Aku masih muda.
Jalanku bisa saja terbentang lurus, panjang, atau berkelok-kelok. Dan aku harus
melaluinya."
"Tapi, kamu
butuh pertolongan."
"Aku akan
minta pertolongan pada Tuhan."
"Tapi nggak
mesti sendirian."
"Aku sedang
ingin sendiri."
"Kamu akan
meninggalkan aku?"
"Kamujuga
masih muda, Nana. Malah jalanmu lebih mulus dari aku. Laluilah.
Nikmatilah."
"Tapi, aku
ingin bersamamu melewati jalan itu."
"Sebaiknya
aku berterus terang saja," Eri berdiri. Dia berjalan menuju lidah ombak.
Kakinya terbenam di pasir sampai semata kaki. "Aku nggak tahu pasti akan
pergi ke mana dan pulang kapan," pelan suaranya.
"Oh,
Eri!" Nana seperti tidak mau mendengarnya.
"Sebaiknya
ketika aku pergi, janganlah aku pikirkan soal pulang. Kamu tahu, aku seperti
tidak punya tempat untuk pulang, Nana. Itulah yang aku rasakan saat ini."
"Aku akan
kehilangan kamu," Nana sudah berada di belakangnya. Mereka
berhadap-hadapan. Layar raksasa mulai kemerah-merahan. Sebentar lagi senja akan
turun di Selat Sunda. Ini seperti mengisyaratkan kisah-kasih mereka, yang akan
pudar dimakan oleh waktu.
Eri memeluk Nana.
Mendekapnyaerat-erat.
"Aku takut
untuk berjanji, Nana. Aku nggak ingin janjiku itu nanti akan membelenggumu.
Kita masih muda. Masih butuh menghirup udara sebebas-bebasnya."
"Aku akan
menunggumu pulang."
"Jangan,
jangan, Nana," Eri merapihkan rambut Nana yang jatuh di kening. "Itu
bisa jadi beban buatku di perjalanan nanti."
"Kamu akan
berkirim surat?"
Eri mengangguk.
"Janji?"
"Untukmu, apa
pun yang kauminta, akan aku lakukan."
"Apa yang
akan kamu cari, Eri?" Nana merebahkan kepala di dadanya.
"Aku ingin
menemukan diriku sendiri."
"Apa selama
ini kamu merasa bukan diri kamu?"
Eri menggeleng.
"Aku yang sekarang adalah ‘aku yang cengeng' .Yang begitu mudah rapuh oleh
hempasan hidup. Aku ingin jadi lelaki yang kuat, yang mengerti 'untuk apa seorang
lelaki hidup'.
Selama ini aku
hidup di atas kekayaan dan kehormatan semu dari orangtuaku. Apa pun yang aku
inginkan, terlebih-lebih materi, selalu tersedia. Kalau selamanya seperti ini,
aku tidak akan pernah siap jika suatu waktu barus betul-betul kehilangan Papa
dan Mama.
Aku harus
meninggalkan rumah untuk sementara waktu. Harus ada 'sesuatu' mengisi jiwaku,
karena bagaimanapun aku adalah pewaris tunggal mereka. Aku harus jadi
kebanggaan mereka suatu hari kelak."
Nana semakin
merapatkan pelukannya. Dia harus merelakan kepergian Eri untuk waktu yang tidak
terbatas. Seorang wanita cuma bisa memiliki lelaki seutuhnya dengan kelembutan
perasaannya. Tak akan bisa seorang wanita memiliki jiwa lelaki seutuhnya. Dia
berharap bisa begitu; merasakan terus kehadiran Eri di hatinya.
"Kamu tahu,
Nana, sekuat-kuatnya lelaki akan jadi lemah jika di hadapan wanita. Itulah aku
sekarang di depan kamu.
"Karenanya,
bantulah aku agar kuat. Janganlah tangisi kepergianku ini."
Nana harus
merelakan Eri 'pergi' seperti juga setiap manusia harus merelakan matahari
tenggelam di setiap senja.
***
Setelah tiga surat
terakhir Eri dari Yogya, Nana cuma menerima kartu pos-kartu pos saja dari Eri.
Kadang baru sebulan dia menerimanya tanpa bisa membalasnya. Tampaknya Eri mulai
kesulitan untuk berkirim surat padanya. Ini terlihat dari tempat Eri
mengeposkan surat. Kadang di kampung-kampung kecil di Madura, Bali, bahkan di
Nusa Tenggara Timur, yang tidak diketahuinya.
Hari bergulir
terus.
Pada tahun pertama
kepergian Eri, Nana pergi sendirian ke Pantai Selat Sunda. Menikmati senja. Dia
mencoba merasakan apa-apa yang pernah dilaluinya bersama Eri di sini.
"Ada di mana
sekarang Eri, Senja?" bisiknya pada matahari. "Apakah Eri sedang
duduk di pantai menikmatimu, Senja?" air matanya bergulir.
Ini adalah saat
perpisahan kecil bagi Nana menikmati senja di Pantai Selat Sunda. Dia akan
meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Setiap liburan
semester Nana menyempatkan diri pulang sambil berharap, semoga ada sepucuk
surat atau kartu pos lagi dari Eri. Tapi cuma kehampaan saja yang dia dapatkan.
Eri seperti hilang ke dasar samudra. Tertelan belantara bumi. Paling-paling dia
cuma bisa mengadu pada matahari senja di Selat Sunda.
"Berilah aku
kabar tentang Eri, Senja?" Nana menatap langit timur Selat Sunda.
"Apa yang terjadi dengan Eri?"
Lain saat,
"Aku kangen sama Eri, Senja."
Paling-paling Nana
melongok di pagar pembatas ke rumah sebelah. Jika ada Bik Iyem, dia
memanggilnya, "Eri ada di mana sekarang, Bik?"
"Bulan lalu
Bibik yang nerima tilpon. Den Eri bilang sih di Irian," Bik Iyem memandang
gadis cantik ini dengan iba. Dia bisa merasakan kerinduan hati si gadis pada
Eri.
"Ada kabar
mau pulang, Bik?"
"Den Eri mau
pulang kalau rumah ini sudah tidak seperti neraka," Bik Iyem melihat ke
rumah besar yang sepi itu. "Petaka apa lagi yang akan menimpa penghuni
rumah ini?" gumamnya.
"Hus, jangan
ngomong yang nggak-nggak, Bik."
Episode 19
Senja di Selat
Sunda
"Astagfirullah,"
Bik Iyem merasa berdosa.
Dari Bik Iyem-lah
Nana selalu tahu Eri berada .di mana. Cuma sekadar tahu. Tentang istri muda
papa Eri yang melahirkan bayi perempuan, Nana juga tahu dari Bik Iyem. Eri
pasti senang punya adik sekarang.
Kadang kala dia
tidak mengerti, kenapa Eri setega itu tidak memberinya kabar. Kalau menelepon
terlalu mahal, rasanya kartu pos tidaklah berlebihan. Tapi Eri seperti
bermaksud melupakannya.
Nana masih ingat
kartu pos terakhir yang dikirim Eri dari Kupang:
Cukup kenanglah
daku, Nana
Yang jauh di pulau
Aku tak tahu kapan
kembali
Kalaupun pulang
Ke mana harus
kulabuhkan hati?
Ya, aku cukup
dikenang saja
Langitmu masih
terbentang, Nana
Terbanglah kamu
Jauh dariku
Nana menangis
semalaman di kamar. Ini betul-betul halilintar, menyambar tanpa pilih bulu.
Setelah kabar terakhir dari Eri yang menyakitkan itu, Nana cuma bisa mengadu
pada senja di Selat Sunda.
"Kenapa Eri
meninggalkan aku, Senja?" air mata Nana gemerlap. "Haruskah aku
melupakan Eri, Senja?" begitu pengaduannya.
Senja tetap saja
terjadi setiap hari tanpa Eri di samping Nana. Ketika senja bergulir pada tahun
kedua dengan kehampaan, Nana merasakan sudah harus melupakan kenangannya
bersama Eri.
Senja di Selat
Sunda tertutup awan. Langit menangis, ikut bersedih melihat ada gadis cahtik
yang dirundung duka.
***
Nana menarik napas
kuat-kuat ketika mengakhiri ceritanya tentang Eri. Dilontarkan napasnya ibarat
membuang segala himpitan di dadanya. Tanpa terasa mataku menjadi hangat oleh
air mata. Kisah hidup sahabatku ini betul-betul menyentuh. Ternyata
"cinta" pernah melukai hatinya.
Nana kini tergolek
memejamkan matanya. Tampak wajahnya berseri-seri. Aku yakin sekarang Nana
merasa lega. Mungkin batu yang selama ini menghimpit dadanya sudah terangkat.
Aku lebarkan
selimut. Aku tutupi tubuh perkasa yang kini tampak kembali menemukan
kekuatannya. Wajah cantik alami itu tertidur pulas. Betapa damai. Kalau Eri
diizinkan untuk melihat Nana bahagia, inilah saat yang paling tepat untuk
melihatnya.
Aku betul-betul
terharu mendengar ceritanya. Tak kusangka betapa rapihnya dia menyimpan luka
lamanya. Dua tahun aku bersahabat dengannya dan tak secuil pun aku menaruh
curiga, bahwa dia pernah punya 'sesuatu' yang mengharu biru.
Aku baru bisa
tidur menjelang fajar menyingsing.
Ketika aku
menggeliat bangun, karena merasakan hawa panas di dalam kamar, Nana sudah tidak
ada di sampingku. Aku lihat jarum jam menunjukkan angka dua belas! Betapa lelap
tidurku!
Aku melongok di
jendela. Melihat ke pantai. Nana sedang duduk sendirian. Aku berteriak
memanggilnya. Nana melambaikan tangan.
"Mandi dulu,
sana!" Nana tertawa cerah.
Aku sangat gembira
bisa melihat Nana tertawa lagi.
Sepanjang hari
kami cuma jalan-jalan di pantai; membicarakan apa saja. Buatku ini penting
untuk mengembalikan tenaga, karena lusa akan menjelajah wilayah Kanekes.
"Betul nggak
akan berubah pikiran?" aku mengingatkan lagi.
"Sekarang aku
sudah plong," wajahnya berseri-seri.
"Eri ikut ke
Baduy?"
"Seperti kata
Yanto, selain dia senior PA, cuma dialah yang tahu rute lewat pintu belakang."
"Kamu tahu
kenapa alasannya Eri pulang?"
"Nanti aku
tanyakan."
"Kita akan
menikmati senja lagi hari ini, Nana?"
Nana mengangguk.
Tampaknya senja di
Selat Sunda tak bisa dilepaskan oleh Nana. Aku pun pasti akan melakukan hal
yang sama. Ini semata-mata bukan melulu kenangannya saja, tapi melihat senja
tanpa halangan apa-apa sangatlah indah. Kita seperti dibawa pada kebesaran
Tuhan, ketika bola merah kekuning-kuningan itu bergulir perlahan. Cuma beberapa
saat saja keindahan itu berlangsung. Lalu semuanya berubah jadi kegelapan.
Ketika kami sedang
asyik menunggu saat senja tiba, kami dikagetkan oleh suara langkah kaki. Kami
tak bisa berkata-kata begitu tahu seorang lelaki gondrong bertampang bohemian
berdiri dengan rasa bersalah.
"Aku nggak
tahu kalian ada di sini," katanya pelan. Suaranya tertahan di tenggorokan.
"Kalau kamu keberatan, aku akan pindah ke tempat lain."
Nana menggigit
bibirnya.
"Sebaiknya
aku pergi," kataku tidak enak.
Tapi Nana
menahanku. "Temani aku," bisiknya. "Ini terlalu cepat
bagiku."
"Lebih baik
kamu di sini menemani Nana," katanya padaku.
Aku mengangguk
dengan segan.
"Aku besok
mau ke Jakarta. Aku dapat kabar dari Uzi, bahwa ada pekerjaan di bar tempatnya
bekerja."
Aku menyikut Nana.
"Semoga
perjalanan kalian di Baduy menyenangkan," dia berjalan.
"Mau ke mana,
Eri?" akhirnya suara Nana terdengar.
Eri berhenti
seperti patung. Dia membalik, "Aku mau duduk di sana. Masih dilarangkah
aku menikmati senja, Nana?" nadanya menyindir.
Nana tersenyum
getir.
Aku menengahi,
"Duduklah bersama kami, Eri."
"Aku cuma mau
menikmati senja beberapa saat saja. Ini adalah kenangan paling indah yang aku
miliki. Aku tak ingin melewatkannya," suaranya berat dan bergetar.
"Eri,"
Nana mendekatinya.
Eri tampak
gelisah.
"Betul kamu
nggak akan mengantar kami ke Baduy?" kini Nana sudah bisa menguasai
emosinya.
Episode 20
Senja di Selat
Sunda
"Kamu yang
melarang aku, Nana."
"Sekarang
tidak lagi."
Eri melihat ke
langit timur.
"Kasihan dong
sama Tina. Jauh-jauh dari Yogya."
Eri duduk di
pasir. "Sebentar lagi senja, Nana," dia mengingatkan tanpa mengiyakan
apakah mau mengantar kami ke Baduy.
Lembayung di
langit timur sangat membius.
"Kenapa kamu
pulang, Eri? Pasti ada alasan untuk itu," aku dengar Nana mengusik.
"Aku kangen
sama kamu," Eri seenaknya saja bicara.
"Kan bisa
lewat surat," Nana agak protes.
"Aku memang
pengecut, Nana. Serba salah. Aku takut untuk mencintai kamu. Aku sengaja nggak
berkirim surat agar kamu benci sama aku. Agar kamu meninggalkan aku. Kamu salah
sudah menunggu aku, Nana. Apa yang bisa kamu harapkan dari aku, lelaki pengecut
yang tak punya tujuan hidup?"
Aku jadi semakin
tidak enak ikut mendengarkan percakapannya. Aku berdiri dan betul-betul
meninggalkan mereka. Biarlah mereka menumpahkan segala-galanya yang hilang
selama tiga tahun.
Setelah senja
berganti kegelapan, Nana masuk ke cottage dengan wajah yang sukar aku tebak.
Duduk di tempat tidur dan bersender.
"Anibody
home!" teriakku.
Nana tersenyum
hambar.
"Kenapa,
Na?" aku memegang lengannya.
"Apakah salah
jika aku menunggu Eri, Tina?" sorot matanya hampa.
"Menunggu
seseorang yang kita cintai?"
Nana mengangguk.
Aku bilang,
"Asal tidak sepihak saja."
"Tapi kamu
denger tadi Eri bilang apa."
"Ya,"
aku mencoba memberi pengertian.
"Aku
sebetulnya sudah melupakannya, Tina," Nana berjalan ke jendela. "Tapi
tiba-tiba dia muncul mengoyak kenangan lama."
"Eri ngomong
apa lagi?"
"Selain ingin
melihat adik tiri dan mamanya dirawat di rumah sakit, dia pulang memang sengaja
untukku. Dia cuma ingin minta maaf dan menjelaskan bahwa semuanya demi
kebaikanku.
Demi kebaikanku,
Tina?"
Aku mengangguk
pelan, "Apa yang dikatakan Eri memang betul." Nana mendelik.
"Duniamu
masih membentang luas. Eri nggak ingin mengikatmu, sementara kamu di sini
menunggu dengan ketidakpastian."
"Kalau memang
begitu, kenapa Eri nggak gamblang saja bilang?"
"Karena Eri
masih mencintaimu. Dia menyerahkan segalanya pada kamu untuk mengambil
keputusan. Apa pun yang kamu putuskan, dia akan menerimanya."
"Oh, begitu?
Setelah tiga tahun aku dalam penantian yang sia-sia, tanpa secuil pun kabar
darinya, tiba-tiba dia datang menawarkan 'cinta' lagi padaku?
Begitu, Tina?
Oh, tidak. Tidak,
Tina!"
"Jangan
bilang sama aku. Bilang sana sama Eri," aku tersenyum.
Nana betul-betul
gelisah.
"Eri,
mana?" aku melongok di jendela.
"Pulang."
"Nganter kita
ke Baduy?"
"Dia nggak
ngomong."
"Ya sudah,
lewat rute normal aja."
Nana mengambil
pakaian kotor dan memasukkan ke tas. "Kita check out sekarang, Tina!"
katanya bergegas.
Aku cuma bisa
melongo.
***
Episode 21
Senja di Selat
Sunda
Kabut di Selatan 1
Ada enam lelaki
dan empat perempuan -termasuk aku- berdiri di pinggir jalan. Mereka sudah
sepakat untuk melewati jalan lolongok, pintu belakang dari arah selatan tanpa
Eri. Toh, nanti bisa tanya sama orang-orang, begitu pikir mereka. Keinginan
mereka ini sudah lama terpendam: pergi ke Baduy menyusuri Pegunungan Kendeng.
Selama ini mereka cuma melewati rute turis, masuk lewat pintu gerbang Ciboleger
atau pintu samping Ciranji-Kroya.
Nana, Rini, dan
Yayah menyetopi truk. Mereka mengumbar senyum pada para supir, yang siapa tahu
mau mengangkut kami ke Malimping, jauh ke selatan. Kaum lelaki bersembunyi di
warung. Dengan taktik seperti ini, biasanya suka ada supir truk yang rela
mengangkut para petualang cewek. Kasih umpan cewek, yang nongol para begundal!
itu pepatah mereka.
Tiba-tiba kami
melihat seorang lelaki gondrong berlari-lari. Aku melihat reaksi Nana, yang
sukar sekali ditebak. Aku harus mau mengangkat jempol, karena Nana bisa begitu
cepat menguasai emosinya. Entahlah kalau ini terjadi padaku. Dan orang-orang
berseru girang.
"Masih ada
tempat buatku?" Eri tersenyum dan saling berjabat tangan. Dia tersenyum
padaku dan Nana. "Sorry, telat!" dia tertawa.
Aku membalas
senyumnya, tapi Nana cuma mengangguk.
Yanto meninju
bahunya.
Kami termasuk
beruntung juga ketika ada truk langsung mengangkut ke Malimping. Dari kota
kecamatan ini kami terus ber-liften ke Cikotok, tambang emas di Banten Selatan.
Menjelang senja kami tiba di Cikotok.
Tambang emas, yang
mulai dibuka oleh perusahaan Belanda, NV Mynbouw Maatschapij Zuid Bantem, 1936,
adalah sebuah desa bertampang kota. Rumah penduduk tumbuh di bukit-bukit hijau
yang indah, seperti anak tangga yang disusun teratur oleh seniman Agung.
Udaranya yang sejuk dan nyaman semakin mendukung panorama alami ini.
Penduduknya kebanyakan pendatang.
Setelah minta izin
pada penguasa setempat, kami membuka tenda di tanah lapang. Untuk meneruskan
perjalanan sudah tidak mungkin. Esok pagi kami akan melanjutkan lagi. Ada jalan
sepanjang 10 km yang masih bisa dilalui kendaraan roda empat.
Keesokan paginya
kami tetap beruntung lagi, karena ada kendaraan tambang yang mengangkut kami
sampai kampung Ciusul, batas terakhir yang masih bisa dilalui mobil. Kalau naik
angkutan umum, perorang kena seribu lima ratus perak.
Setelah itu kami
berjalan naik-turun bukit.
Ketika meniti
jembatan gantung yang sudah tua dan miring, aku merasa deg-degan juga begitu
melihat sungai di bawahnya yang kecoklatan. Apalagi ketika beberapa orang
bergurau, dengan menggoyang-goyangkan jembatan. Terutama Eri. Tampaknya dia
berusaha ingin melihat ada orang yang terjatuh ke sungai.
Kalau aku
perhatikan sepanjang perjalanan, Eri memang termasuk jail. Doyan iseng. Biang
keributan. Mulutnya tak mau diam dan dia bisa bergerak ke depan dan ke belakang
rombongan tanpa kenal lelah. Perjalanan memang jadi tidak membosankan. Tapi dia
tampaknya tidak berani lagi mengisengi Nana, karena jarak sudah terbentang
memisahkan mereka.
"Kalau nggak
kuat, biar aku gendong," Eri sudah berjalan di sampingku dengan cengiran
nakalnya.
Aku tersenyum.
"Bawain
ranselku, mau?" aku berharap.
"Hey, siapa
yang mau jadi porter cewek Yogya!" teriaknya kurang ajar. "Lumayan
lho, go ceng perjam!" tawanya menggema.
Orang-orang
tertawa.
Tiba-tiba Eri
dengan sangat tidak sopan membuang ingus di depanku. Menyadari reaksiku yang
jijik, dengan tenang dia bilang, "Sekaranglah saatnya kita melakukan
pelepasan. Membuang segala tata krama, basa-basi yang biasa kita lakukan di
kota.
"Mari kita
back to nature! Kembali jadi orang tak beradab!" teriaknya ngawur.
Nana menoleh ke
arahku. Lewat isyarat matanya, dia seperti menanyakan apakah aku baik-baik
saja. Aku mengangguk, walaupun kadang putus asa melihat tanjakan yang harus aku
daki.
Aku betul-tul
tercecer. Nana dengan setia menemaniku istirahat. Aku jadi tidak enak pada yang
lainnya, karena sudah menghambat perjalanan. Ketika aku betul-betul tertinggal,
Eri menyuruh Yanto untuk berjalan di depan. Si gondrong yang betul-betul jadi
tidak tahu tata krama ini mengambil tempat di belakang. Aku tahu dia
berjaga-jaga kalau aku tertinggal.
Nana yang merasa
serba salah aku beri isyarat untuk terus saja berjalan. Dia beberapa meter di
depanku. Yang lainnya sudah jauh di depan. Nana pun lama-lama sudah tak
kelihatan lagi.
Aku duduk
beristirahat di bawah pohon. Minum sebanyak-banyaknya.
"Jangan
terburu-buru minum," Eri sudah tiba. "Pelan-pelan saja. Nanti dada
kamu sakit," katanya lagi sambil mengkuliahi, bahwa suhu badan kalau
sedang panas jangan langsung kena air. Berilah tempo untuk menurunkan suhu
badan.
Akhimya aku
sependapat setelah aku batuk-batuk.
Akulah yang paling
terakhir datang di tempat beristirahat, di pinggir sungai berbatu-batu.
Matahari hampir menggelincir. Eri beberapa belas meter di belakangku. Aku tahu
kalau dia sengaja menjaga jarak, walaupun tetap menjaga keselamatanku.
Nana tersenyum
menyambutku. "Eri mengganggu kamu?" dia melihat Eri yang baru tiba
dan langsung membantu mendirikan tenda.
Aku menggeleng.
"Aku berani bayar berapa pun, Nana, kalau ada motor ojek!" aku
mengeluh.
Nana tertawa lucu.
Kami yang
perempuan, kebagian mengurusi dapur. Aku agak kikuk juga ketika ikut memasak.
Untung mereka membiarkan aku istirahat. Aku tertidur pulas di hammock, yang
diikat di antara dua batang pohon rindang.
Aku dibangunkan
setelah makan malam tersedia. Sebetulnya aku agak risih juga melihat nasi dan
mie rebus yang diciduk langsung dari panci dan kadang saling berebut,
piring-piring yang tampak kotor, serta cara makan mereka yang buatku jorok.
Episode 22
Senja di Selat
Sunda
Untung aku sudah
mempersiapkan makan malam yang lain. Roti, keju, dan coklat. Tapi sialnya,
selera makanku langsung hilang begitu Eri duduk di sebelahku. Dia makan tanpa
menggunakan sendok. Malah dengan sengaja piring itu diangkat dan didekatkan ke
bibir. Dia langsung menyeruputnya!
Perutku
memberontak.
"Enak lho
makan kayak gini," dia menjilati piringnya sampai licin. "Ini bisa
jadi obat penawar stress!" tawanya meledak. "Selera makanmu hilang?
Boleh minta rotinya? Buat cuci mulut!"
Aku sodorkan
bungkusan roti. Eri pun berteriak pada yang lain. Dalam sekejap rotiku pun
amblas. Untuk mengganjal perut, aku cuma makan coklat dan makanan kecil yang
sudah aku persiapkan. Tapi perbekalan darurat ini pun cepat menipis, karena aku
harus membagi-bagikan pada rombongan cewek.
"Kayaknya
acara makan berikutnya, kamu harus mau bergabung, ya?" Nana tertawa
senang.
Aku mengangguk
lemah.
Kami berkumpul
mengelilingi api unggun. Saling tukar cerita. Banyak pertanyaan terlontar
padaku. Terutama soal kehidupanku, yang menurut mereka sangat berbenturan
dengan kehidupan mereka. Aku memang paling "berbeda" di antara
mereka. Tidak segesit dan sekuat mereka. Aku cenderung "dilayani" dan
"diistimewakan" oleh mereka. Lalu beberapa lelaki menawarkan
membawakan ranselku.
Ini ide bagus.
Ranselku dibongkar. Barang-barangku dibagi-bagi kepada mereka. Kecuali
barang-barang "perusahaanku" saja, yang tetap aku bawa. Kini ranselku
terasa ringan.
Tapi ketika kami
melanjutkan perjalanan lagi keesokan harinya, ransel itu tetap saja membuat
punggungku sakit. Aku sadar bahwa setiap saat kondisi badanku semakin lelah,
sehingga barang yang semestinya ringan tetap terasa berat. Mungkin yang paling bagus,
aku tidak usah membawa apa-apa.
Menjelang tengah
hari, langit berubah gelap. Angin menderu-deru. Aku cuma melihat punggung
seseorang di depanku. Lalu hilang di tikungan. Aku menunggu Eri muncul dari
belakang. Aku merasa takut sekali ketika gerimis mulai turun.
"Kenapa?"
Eri menadahkan tangannya. "Bakalan gede nih hujannya!" katanya.
"Siniin ranselmu!"
Tanpa hanyak omong
aku serahkan ranselku. Punggungku terasa ringan sekali. Aku menarik napas lega.
Aku berjalan cepat-cepat. Eri tetap di belakangku. Ranselku disandang di
dadanya.
Gerimis semakin
rapat. Aku hampir putus asa ketika sadar, bahwa kampung itu ada di atas bukit.
Aku harus melalui tanjakan berbatu-batu yang panjang. Aku berlari semampuku.
Hujan mulai deras.
Tubuhku basah kuyup. Eri membantuku menaiki tanah menyerupai anak tangga. Aku
betul-betul putus asa dan menyesal sudah ikut ke sini. Aku betul-betul ambruk
ketika sampai di perkampungan.
"Kamu baik-baik
saja, Tina?" Nana menyambutku. Dibawanya aku ke rumah kepala kampung, di
mana orang-orang sudah bermalas-malasan di bale-bale-nya.
"Aduh,
Nana," tanpa merasa malu aku merebahkan badan di bale-bale. Beberapa orang
memberi tempat yang luas padaku. "Sebaiknya bajumu diganti dulu,"
Nana membangunkan aku.
"Badanku
kayaknya remuk," aku bangun dengan malas.
Setelah berganti
baju dengan yang kering, aku langsung meringkuk di sleeping bag di pojok. Hujan
tak ada tanda-tanda mau berhenti, malah semakin besar saja. Perjalanan terpaksa
dilanjutkan esok hari.
Kami bermalam di
kampung ini. Aku perhatikan suasana kampung ini sangat terisolir. Mustahil bisa
dimasuki mobil sampai tahun 2000. Tapi aku merasa trenyuh sekali melihat
penerimaan tuan rumah, yang sangat ramah dan manusiawi. Segala yang ada di
dapur, dihidangkan pada kami. Buat orang kampung, kedatangan tamu dari kota
memang sebuah kebanggaan.
Sebelum kami pergi
meringkuk, Bapak Kepala Kampung memberi nasihat, tentang pantangan di leuweung
kolot, hutan Baduy yang penuh misteri. Untuk sampai Baduy Dalam, kita memang
harus menembus leuweung kolot. Yang membuatku ngeri adalah ketika bapak itu
mengabarkan tentang tiga orang perampok dari Rangkasbitung, yang melarikan diri
ke wilayah Kanekes.
Aku berbisik pada
Nana, "Jangan-jangan kita ketemu mereka."
Nana cuma
tersenyum menghiburku.
Keesokan harinya
langit cerah. Kami melanjutkan perjalanan lagi; naik turun bukit. Menjelang
senja kami melintasi sebuah sungai kecil berbatu-batu. Lagi aku selalu tiba
paling akhir. Eri tetap setia di belakangku. Seharian tadi dia tidak
menggodaku.
Sungai
berbatu-batu ini perbatasan alam wilayah Kanekes, yang memisahkan dunia
"luar" dengan alam Baduy. Setelah itu leuweung kolot menjulang di
depan kami. Dan kampung Baduy ada di sana.
Aku duduk dan
membuka sepatu. Merendam kedua kakiku. Aku basuh wajahku dengan air sungai yang
jernih. Terasa segar, walaupun kulit wajahku terasa perih terbakar.
Nana
menghampiriku. "Hebat," katanya tertawa kecil. "Ternyata kamu
masih kuat jalan. Aku kira udah digendong Eri."
Aku semprot Nana
dengan air sungai.
Nana membalas.
"Kita
bermalam di sini aja!" Eri muncul di balik semak-semak. "Daripada
kemaleman di leuweung kolot!"
Yanto mengiyakan
sambil menyuruh beberapa orang untuk mencari tanah agak lapang.
Aris, Toni, Ato,
dan Maman membongkar ranselnya. Mereka mendirikan tenda. Peralatan berkemah
berhamburan. Sebuah flysheet, lembaran gantung, mereka rentang dan diikat di
dahan-dahan. Ini bisa jadi atap tenda jika hujan turun nanti.
"Mestinya
anak Yogya ini masak buat kita-kita!" Eri berteriak pada yang lain.
Nana melirikku
sambil mengulum senyum. Aku jadi serba salah. Nana tahu kalau aku paling tidak
bisa masak. Di rumah segalanya dikerjakan oleh pembantu. Paling-paling aku cuma
bisa merebus mie. Sialnya aku kebagian memasak nasi. Aku meminta pertolongan
Nana. Ini seperti kiamat buatku.
"Aku ajarin
deh," Nana menarik aku ke sungai.
"Eri cuma mau
mempermainkan aku saja," bisikku.
Episode 23
Senja di Selat
Sunda
Nana lagi-lagi
tertawa.
"Sana, kamu
kumpul sama mereka saja," suruhku.
"Betul?"
Nana menyelidik.
Aku mengangguk.
Biarlah aku kerjakan sendiri saja. Aku ingat-ingat kursus kilat yang diajarkan
Nana tadi. Aku cuci beras di sungai. Rasanya dadaku tertekan sekali, karena
setiap gerakanku seperti diperhatikan orang-orang.
Aku raba-raba
benda keras persegi empat berwarna putih ini. Para petualang menyebutnya
parafin. Aku nyalakan dengan korek api, malah tanganku yang tersundut. Aku
sembunyikan rasa perihku dengan menjilati jariku yang tersundut api tadi.
Beberapa kali aku coba menyalakan api, tapi selalu gagal. Benda
"ajaib" ini masih barang aneh buatku. Yayah yang kebagian merebus
mie, membantuku menyalakan api.
"Hati-hati,
nasinya jangan sampai hangus," Eri menyindir aku.
Aku pura-pura
tidak mendengar ocehannya.
Api di tungku
sudah menyala. Aku letakkan panci berisi beras di atasnya. Api pun
menjilat-jilat. Sesekali aku buka tutup panci, aku aduk-aduk. Akhirnya nasi pun
matang juga, walaupun di bawahnya terbentuk kerak lumayan tebal.
Eri
mengacung-acungkan kerak, nasi yang gosong, pada orang-orang sambil
tertawa-tawa. "Ini dia nasi made in Yogya! Lumayanlah!"
Kami mengitari api
unggun.
Aku lihat Nana
ingin menghentikan ulah Eri. Tapi Eri tidak peduli. Yang lain ngobrol
seperlunya saja. Yanto malah asyik main catur dengan Aris.
"Kamu tuh
noraknya nggak ilang-ilang!" tegur Nana.
Eri cuma tertawa.
Dia menghampiri aku. "Kamu marah, Tina?" si brengsek ini duduk di
sebelahku.
Aku menatapnya.
"Kalau sedang
begini, aku selalu bergembira, Nana. Kadang kala aku suka melakukan hal-hal
yang di luar dugaan. Entahlah. Yang penting aku bisa melupakan keruwetan di
rumah."
"Itukah
sebabnya kamu suka traveling?" tanyaku.
Eri mengangguk.
"Tapi itu
jangan dijadikan alasan untuk bikin kesal orang, dong!" protesku.
"Aku cuma
nggak betah dengan suasana sepi. Aku pingin semua orang bergembira dalam
perjalanan seperti ini."
Yanto menghampiri
kami. "Siapa yang duluan jaga, Ri?" katanya melihat ke sekeliling.
"Aku sama
siAris, deh!" Eri berdiri. "Sebaiknya kamu tidur aja. Kumpulin tenaga
buat besok,"
Eri tersenyum
padaku.
Aku merasa
terhibur melihat senyumnya yang mempesona. Aku lihat arlojiku. Sudah hampir jam
sepuluh! Aku masuk ke tenda lebih awal.
"Nanti tiga
jam lagi di aplus, ya!" aturnya pada Yanto. "Setelah Ato sama Maman,
kamu giliran yang terakhir sama Toni!" Eri masih memberi petunjuk pada
Yanto.
Malam merembet dan
gerimis mulai turun.
Di antara tidurku
yang setengah terjaga, aku dengar suara kasak-kusuk. Ketika aku buka mata,
betapa gelapnya suasana sekeliling. Aku hampir saja berteriak, karena dadaku
ini seperti terhimpit. Aku belum pemah tidur dalam kegelapan seperti ini. Tapi
mulutku langsung terkunci, begitu ingat aku sedang berada di mana. Aku
meraba-raba arlojiku. Mencoba melihatnya di keremangan cahaya. Aku pijit lampu
penerang arloji. Jam satu malam! Aku lihat Nana sedang dikerubuti
kawan-kawannya. Aku mencoba memasang kuping, mencuri percakapan mereka.
"Tadi Eri
ngeronda ke batas hutan," bisik Nana seperti takut kedengaran oleh aku.
"Dia lihat ada api di sana."
"Api
unggun?" Rini memegangi lengan Nana.
Nana mengangguk.
"Perampok
itu?" Yayah agak cemas.
"Belum
pasti," hibur Nana. "Eri, Yanto, sama Aris sedang menyelidiki. Siapa
tahu mereka rombongan seperti kita."
"Kalau
bukan?" Mira gelisah.
"Jangan
berisik," Nana melihat kepadaku.
Aku pura-pura
tertidur lelap.
"Kita balik
lagi ke kampung aja, deh," usul Yayah. "Tengah malam begini?"
Nana mengingatkan.
"Daripada
ketemu perampok!" Rini ketakutan.
Tiba-tiba Eri dan
Aris muncul.
"Yang lain
mana?" sura Nana tegang.
"Jaga-jaga,"
ini suara Aris.
"Tina
tidur?" Eri melihat ke arahku. "Bagus. Jangan sampai dia tahu,
ya."
"Gimana?
Betul mereka perampok itu?" Rini tak mau diam.
"Ada tiga
orang lelaki sedang berkemah di batas hutan," keterangan Eri ini
membangunkan aku.
"Apa?
Perampok itu ada di sini?" pekikku.
Nana memelukku,
"Tenang, Tina."
"Tenang
bagaimana, Nana?" aku meronta.
"Bakal bahaya
kalau kita semalaman ketakutan di sini," aku tetap memilih untuk kembali ke
kampung.
"Denger,
denger dulu," potong Eri. "Mereka nggak bakalan berani keluar dari
persembunyian, karena tempat ini sudah dikurung. Apalagi sampai dateng ke
tempat kita."
"Apa
rencanamu, Eri?" Nana tetap menenangkan aku.
"Kalian tidur
aja. Biar kami jaga-jaga di luar. Besok pagi baru kita putuskan, apakah mau
terus ke Baduy atau balik lagi ke kampung," Eri keluar dari tenda.
Nana berdiri dan
menyusul keluar tenda. Tinggal aku, Rihi,Yayah, dan Mira yang saling pandang
dan merasakan ketakutan. Tidak lama Nana muncul lagi. Wajahnya tetap tenang,
atau katakanlah ditenang-tenangkan agar kami ikut tenang juga. "Bagaimana,
Nana?" sambutku.
"Kita tidur
saja. Perjalanan kita masih panjang," Nana mengambil tempat.
"Apanya yang
tenang?" Rini gelisah lagi.
Nana tidak
menjawab. Dia menyelipkan tubuhnya di antara aku dan Mira. Kami
berdesak-desakan. Ketakutan akhirnya terkalahkan juga oleh rasa kantuk yang
menyengat.
Episode 24
Senja di Selat
Sunda
Kegelapan aku
rasakan membelenggu seperti jubah-jubah penunggu hutan. Kegelapan yang
menyeringai mempertontonkan gigi-gigi taringnya. Waktu menggelinding bagai
derit pintu tua, seperti ikut menyeramkan suasana malam.
Aku menggeliat
ketika seseorang menepuk-nepuk tubuhku. Burung-burung aku dengar bersahutan
dengan riang. Aku keluar dari tenda. Warna kemerahan pun mengambang di langit
timur.
Aku lihat Nana,
Yayah, dan Rini sedang merebus air. Menyiapkan teh atau kopi panas, dan sarapan
mie rebus. Selalu saja aku bangun paling akhir. Rasanya malu juga. Sebagian
lelaki membereskan tenda. Aku pergi ke sungai, mencuci muka.
"Kita kembali
ke kampung?" aku sudah membantu membukai bungkus mie.
"Ngapain
balik lagi!" sambar Eri. "Nanti sore juga kita sampai di Baduy!"
"Tapi
perampok-perampok itu?" aku menatapnya kesal.
"Sudah aku
bilang, mereka nggak bakalan berani menampakkan wajahnya. Apalagi berani muncul
di jalan setapak. Mereka itu sembunyi jauh-jauh di dalam hutan," Eri
bersikeras. Tiba-tiba Yanto menyentuhkan telunjuknya kebibir,menyuruh untuk
diam. Dia menyuruh kami untuk bersembunyi. Aku berlari mengikuti Nana ke
semak-semak. Eri, Toni dan Aris bersembunyi di batang pobon di mulut jalan
setapak. Yang lainnya cuma menanti saja dengan perasaan was-was di depan tenda.
Ah, ternyata cuma
serombongan Baduy Panamping, Baduy Luar yang hidup di sekitar Baduy Dalam;
Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Ada tiga gadis muda belia memakai pemerah
pada bibirnya. Mereka membawa buntelan. Dua bocah berambut panjang, yang
memanggul pisang. Dan dua lelaki dewasa, yang menggotong weulit, atap dari daun
kelapa. Mereka berpakaian serba bitam, yang menandakan identitas Baduy Luar.
Kalau pakaian Baduy Dalam selalu ada unsur warna putihnya. Atau bisa juga serba
putih.
Penduduk Baduy
Luar ini membawa hasil bumi untuk ditukar pada kampung-kampung terdekat dengan
kebutuhan sehari-hari, seperti garam, terasi, atau ikan asin. Begitulah
kebiasaan mereka, kalau tidak berdagang ya paling-paling bertandang untuk
melestarikan kehidupan bertetangga dengan masyarakat di luar wilayah mereka..
Lalu ada rombongan
kedua. Kali ini lebih banyak. Selain yang membawa pisang, weulit, ada seseorang
yang memanggul kayu bakar. Orang itu memakai topi laken dan pakaiannya kotor
sekali.
Eri keluar dari
persembunyiannya. Dia berlari mendekati si kayu bakar itu. Mencegatnya. Aku
melirik Nana, yang tampak tegang. Aku yakin bakal ada sesuatu yang terjadi.
Apalagi Yanto dan Aris ikut menghadang.
"Mau ke mana,
Kang?" Eri menelitinya.
Si kayu bakar
tidak menggubris. Dia mempercepat langkahnya, melewati rombongan Baduy
panamping.
"Tewak tah,
tewak! (Tangkap tuh, tangkap!)" teriak Eri mengejar.
"Rampok,
rampok!" Yanto menimpali.
Si kayu bakar
merasa posisinya terjepit. Dia membuang pikulan kayu bakarnya dan ngibrit. Tapi
Eri lebih cepat dan sudah menubruknya. Mereka bergulingan di tanah. Yanto
membantunya. Orang-orang Kanekes berhenti dan memperhatikan pergumulan itu. Eri
mencekal perampok itu. Yanto menggeledah tas kecilnya. Ada beberapa perhiasan
dan segepok uang.
"Mana yang
dua orang lagi?!" bentak Eri.
Perampok ini
menatapnya dengan beringas.
Eri menyuruh Aris
mengikat perampok ini kuat-kuat. Lalu menyerahkannya pada rombongan Baduy Luar.
Mereka menggiringnya ke kampung terdekat. Menyerahkannya ke kepala kampung.
"Kamu nekat,
Eri!" protesku masih was-was.
Eri malah tertawa.
"Yuk, kita berangkat!" katanya pada yag lain.
"Heh,
bagaimana kalau yang dua orang lagi melihat tadi?" aku menolak untuk
pergi. "Bisa berabe nanti!"
"Mereka
tinggal dua orang! Kita bersepuluh! Kalian takut?" tantang Eri.
"Percaya deh, mereka nggak bakalan berani menampakkan batang
hidungnya!"
"Asal jangan
kemalaman saja," Yanto buka suara.
"Nggak
bakalan. Sore juga udah nyampe," Eri meyakinkan. "Tanggung dong kalau
balik lagi. Ini justru keasyikannya!"
Aku meminta
pendapat Nana, yang tampak mulai terpengaruh oleh omongan Eri. Aku lihat yang
lainnya sudah membereskan ransel.
"Cuma
resikonya, kita nggak bisa mampir lama-lama di Cikeusik dan Cikartawana,"
Eri menyebut dua kampung Baduy Dalam. "Sasaran kita langsung ke Cibeo
aja!" tegas Eri.
Aku agak kecewa
juga. Berarti aku tidak akan melihat kehidupan di dua kampung Baduy Dalam yang
masih murni memegang aturan adat. Bahkan agak tertutup menerima tamu dari luar
wilayah mereka. Menurut Nana, kampung Baduy Dalam terakhir, Cibeo, sudah
tercampur dan agak terbuka pada kehidupan dunia "luar". Kampung
inilah yang tampaknya dipersiapkan untuk "terbuka" menyambut
wisatawan nusantara, yang ingin tahu tentang kehidupan mereka.
***
Episode 25
Senja di Selat
Sunda
Kabut di Selatan 2
Petualangan besar
buatku pun dimulai. Satu per satu kami memasuki leuweung kolot, hutan Baduy di
pintu selatan. Aku tahu bahwa masuk ke Kanekes lewat jalan lolongok sangatlah
tabu, karena dikhawatirkan akan "menginjak" tanah larangan, Arca Domas,
yaitu titik awal yang dipercaya orang Kanekes sebagai tempat bumi ini mulai
mengeras. Tempatnya di Bukit Pamuntuan, di hulu Ciujung pada ujung barat
Pegunungan Kendeng. Namun lokasinya sangat dirahasiakan. Cuma puun Cikeusik dan
beberapa orang kepercayaannya saja yang tahu.
"Bagaimana
kalau kita 'nginjek' tanah larangan?" bisikku khawatir pada Nana.
"Tanah
larangan itu ada di dalam hutan," Nana meyakinkan. Tambahnya,
"Sepanjang kita nggak keluar dari jalur jalan setapak, aman deh!"
Tapi beberapa kali
kami berpapasan dengan orang Kanekes, yang panamping atau tangtu. Wajah mereka
seperti berkesan tidak suka. Mereka cuma melintas apa adanya saja. Moga-moga
ini cuma perasaanku saja.
"Ati-ati nya,
aya rampok! (Hati-hati, ada perampok!)" aku mendengar seseorang dari
mereka memperingatkan.
Eri menerangkan,
bahwa seorang dari perampok itu sudah tertangkap basahdi perhatasan leuweung
kolot. Terus terang saja, selain lelah, hatiku tetap saja didera ketakutan yang
tidak enak. Selain akan serangan dari perampok yang tiba-tiba, juga
"kualat" karena melanggar tradisi setempat terus membayangiku.
Sepanjang
perjalanan Eri mencoha mengusir rasa takutku dengan joke-joke-nya. Aku tertawa
juga. Misalnya Eri melucu tentang seorang Baduy yang salah makan. Maksud hati
mengunyah sukro, apa daya kamper yang dimakan! Anekdot yang lainnya lagi,
ketika seorang Baduy keheranan melihat tamu dari kota memakan sabun (baca:
keju).
Hatiku agak
terhibur juga. Apalagi ketika orang-orang ikut tertawa ketika melewatiku.
Kedengarannya mereka bergembira. Tapi ketika melihat Nana yang tersenyum
simpul, aku jadi curiga. Pasti ada sesuatu yang tidak beres padaku.
Nana membalik.
Berjalan ke arahku. Dia mengambil sesuatu yang menggantung di ranselku. Huh,
kerak itu! Wajahku betul-betul panas dan merah. Bagi seorang wanita, ketahuan
tidak bisa masak sangat memalukan! Apalagi kepergok nasi yang ditanaknya
hangus! Aku tahu siapa biang keroknya! Aku pelototi Eri. Agak aneh anak ini.
Ketika orang-orang was-was dengan para perampok, dia masih sempat untuk berbuat
iseng. Tapi si brengsek itu cuma cengar-cengir. Aku ambil kerak itu. Aku lempar
sekeras-kerasnya pada dia.
Eri menghindar
sambil tertawa ngakak.
Nana menyuruhku
untuk melanjutkan perjalanan lagi. Dia berada di belakangku, bermaksud untuk
melindungiku dari gangguan Eri.
Aku cuma menggigit
bibir dan tersenyum saja ketika menyadari sedang berada di "dunia
kecil" yang masih mempunyai aturan hidup sendiri. Desa Kanekes ini luasnya
sekitar 5000 Ha. Terdiri dari tanah perkampungan dan pertanian (2000 Ha), serta
sisanya tanah tutupan (hutan lindung). Ada 46 kampung Baduy, termasuk tiga
kampung tangtu, Baduy Dalam.
Leuweung kolot
sudah kami tinggalkan. Pohon-pohonnya tidak terlalu besar, tapi cukup rapat.
Kami mesti hati-hati ketika menyusuri jalan setapak yang ditutupi akar-akaran.
Atau juga menyusuri aliran air yang berbatu-batu. Serba licin dan berlumut.
Beberapa kampung
panamping, Baduy Luar, kami lewati. Di kampung-kampung Baduy, pada siang hari
penduduknya pergi menggarap ladang atau mencari kayu bakar. Paling-paling
wanita tua dan bocah-bocah saja yang tinggal di rumah. Tapi untuk menjaga
keselamatan kampung diserahkan pada petugas ronda.
Orang panamping
sudah termasuk yang mau menerima kebudayaan modern. Hal-hal yang ditabukan
seperti radio, pakaian yang lebih dari dua warna (hitam dan putih), peralatan dapur dari
gelas dan logam, memakan binatang berkaki empat, sudah merasuki keseharian
mereka. Tapi apa pun perubahan yang terjadi di sini, kesederhanaan masih
terpancar jelas di wajah-wajah mereka. Kesederhanaan dalam pola pikir dan
hidup.
Walaupun mereka
sudah meninggalkan tradisi leluhur, yang masih dipertahankan oleh
saudara-saudara mereka di tiga tangtu; Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo, mereka
tetap tidak rakus. Mereka cuma memenuhi sekadar kebutuhan hidup saja.
Kesederhanaan itu bukanlah dikarenakan oleh ketidakberdayaan ekonomi, melainkan
ajaran hidup yang dianut. Bagi mereka kesederhanaan merupakan kewajiban yang
harus diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari.
Berbeda memang
dengan orang tangtu. Mereka berupaya memenuhi kebutuhan hidup dan ekonominya di
bidang pertanian secara tradisional. Mereka bertani dengan sistim slash and
burning, berpindah-pindah dalam siklus sekitar 4 -6 tahun, karena secara
tradisi perputaran kembali ke ladang semula harus terjadi dalam jangka waktu
yang ganjil. Jika mereka berpindah ke tempat yang lain, peremajaan hutan sudah
dilakukan. Menggarap lahannya pun tanpa cangkul, tapi menggunakan arit, karena
buat mereka bumi tidak boleh "dilukai".
Persis tengah hari
kami sampai di Cikeusik. Yang paling menarik, sebelum memasuki tangtu, di
setiap utara kampung selalu ada leuit. Pada tiang-tiangnya dibuat lempengan
papan seperti piring. Gunanya untuk mencegah tikus nakal naik ke lumbung.
Aku terperangah,
begitu memasuki kampung tangtu pertama ini. Rumah-rumah berdinding anyaman
bambu ini masih serba baru dan ada sisa-sisa bekas kebakaran. "Agustus
1993 lalu, kampung ini kebakaran," Yanto menerangkan.
"Semua rumah
musnah dilumat api!" sambung Eri.
"Kecuali
rumah puun," Nana menunjuk ke titik selatan dan agak terpencil.
"Rumah puun
memang kebal!" seseorang berdecak kagum.
"Puun 'kan
orang sakti!" tambah yang lain lagi.
Aku mencoba
berpikir rasional. Rumah puun letaknya di selatan, kondisi tanahnya lebih
tinggi, dan cukup jauh dengan rumah penduduk. Maka wajar kalau tidak terjilat
api. Kalau memang ada faktor-faktor di luar logika, entahlah itu. Tapi aku
harus percaya pada kenyataan sejarah yang ada, bahwa orang-orang natural; yang
menganggap "alam sebagai bagian hidup", selalu punya kekuatan gaib.
Nana menyambung
bahwa mereka punya filosofi hidup, "Bumi haruslah dipelihara. Jangan
disakiti." Itulah sebabnya rumah-rumah mereka tidak menggunakan paku.
Antara tiang-tiangnya cuma diikat dengan akar-akar pohon dan atapnya bukan dari
genteng, yang bahan bakunya diambil dari bumi, tapi dari daun kelapa. Serta
dindingnya dari bilik, anyaman bambu. Air sungai pun tidak boleh dicemari oleh
limbah kimia. Mandi memakai sabun, atau mencuci dengan deterjen dilarang keras!
Episode 26
Senja di Selat
Sunda
"Karena tidak
boleh 'menyakiti' bumilah, semua Baduy Dalam memasak di dalam rumah panggung
mereka. Tanpa alas yang representatif. Maka tidak heran kalau ada perkampungan
Baduy Dalam sering kebakaran!" Nana menjelaskan lagi tradisi turun-temurun
itu.
"Ya,
pantesan!" aku menggelengkan kepala.
"Kenapa
tradisi ini nggak ditinggalin aja, sih?"
"Menurut
mereka, kebakaran sudah hukum alam. Nggak bisa ditawar-tawar lagi," Eri
mencoba memuaskan rasa ingin tahuku. Tambahnya, orang tangtu tidak pernah
menyalahkan tradisi. Tapi semata-mata kecerobohan mereka saja. "Kalau
tradisi yang disalahkan, kata mereka, Baduy Dalam nggak bakalan pernah
ada!" Eri tertawa.
Benakku langsung
merekam pola kampung tangtu ini. Jika diibaratkan sebuah kotak, pusatnya adalah
alun-alun. Di titik selatan pada tanah yang agak tinggi, itulah rumah puun. Ini
disengaja, agar penguasa adat bisa mengawasi wilayahnya. Di sisi timur-barat
alun-alun, rumah penduduk berderet, mengikuti kondisi tanah yang berbukit. Di
antara rumah dengan rumah ada kamalir, saluran kecil tempat mengalirkan air
hujan dari atap rumah. Mereka tidak mengenal pagar, karena itu artinya mengaku
tanah sebagai milik pribadi. Untuk sekadar batas wilayah, mereka cuma mengenal
kayu wayang, berupa sebatang pohon atau batu.
"Perbedaannya
dengan kampung panamping cuma dalam tanahnya saja," Eri menerangkan
padaku. Dia menambahkan, kalau di tangtu, mereka tidak boleh merusak tekstur
tanah. Jadi konstruksi bangunanlah yang menyesuaikan dengan kondisi tanah.
Kebalikannya di panamping, mereka sesuka hati membangun rumah. Jika tanahnya
tinggi, mereka akan meratakannya. Kalau terlalu rendah, tentu akan ditinggikan.
Ketika melihat aku
berjalan menuju rumah puun, Yanto yang berada di dekatku, menyetop. Menurutnya,
orang "luar" seperti kami dilarang mendekati rumah puun dalam batas
tertentu.Aku kini yakin kenapa kita tidak boleh masuk ke Kanekes lewat jalan
lolongok (pintu selatan), karena selain dikhawatirkan "menginjak"
tanah yang disucikan, juga "halaman puun" ini.
Kami duduk di bale
kapuunan, di titik utara, tempat pertemuan resmi atau untuk menerima tamu. Di
sebelah kanan bale pertemuan, ada saung lesung, tempat penduduk menumbuk padi.
Setiap menjelang sore akan kita lihat wanita-wanita Baduy ngobrol sambil
menumbuk padi di sini.
Dua pria tangtu,
yang meronda, menghampiri kami. Memakai aros, sarung dari benang kasar berwarna
putih, yang dililitkan menyentuh batas lutut. Lebih menyerupai rok wanita.
Bajunya warna putih yang sudah kecoklat-coklatan. Tanpa kancing dan
kutung-seperti kaos. Juga telekung, ikat kepala berwama putih. Kalau telekung
itu dibuka, jangan kaget melihat rambut mereka yang panjang seperti penyanyi
rock!
Eri mengajak
mereka hercakap-cakap dalam bahasa Sunda. Orang Baduy ini tidak banyak bertanya
dan kesannya seperti menunggu saja. Jika ada pertanyaan, mereka menjawab dengan
singkat saja.
"Kita
disarankan untuk melanjutkan perjalanan ke Cibeo," kata Eri.
"Kenapa?"
"Soal
perampok itu."
Aku menarik napas.
Sebetulnya aku ingin sekali bermalam di sini. Selain untuk menyegarkan badan,
juga ingin melihat isi rumah Baduy Dalam. Mereka membaca keinginanku itu, tapi
tidak bisa berhuat apa-apa.
Satu tangtu lagi,
Cikartawana, kami lewati. Sudah sore. Dari tangtu kedua ini cuma memakan waktu
sekitar sepuluh menit menuju tangtu terakhir, Ciheo. Lagi-lagi kami disarankan
untuk meneruskan perjalanan, karena keadaan sedang darurat. Orang Kanekes kalau
berbicara sangatlah polos dan tidak ada basa-basi. Setiap omongannya mengandung
kebenaran dan tidak bisa ditentang. "Rencana nggak selamanya mulus,
ya!" Eri tertawa kecut padaku.
Aku minta break.
Kepada mereka aku bilang bahwa punggungku sudah tidak kuat lagi membawa ransel.
Eri dan Yanto langsung membongkar ranselnya. Barang-barang mereka disebar pada
ransel yang lain. Lalu ranselku dijejalkan ke ransel Eri. Aku berharap nanti
bisa melanjutkan perjalanan lagi dengan lenggang kangkung.
"Aku kepengen
ngerasain tidur di rumah Baduy," kataku kecewa. "percuma aku
jauh-jauh ke sini! Cuma capek doang!" keluhku lagi.
"Moga-moga
kita bisa tidur di panamping," Nana memberiku semangat.
"Apa kita
nggak bakalan kemalaman ?"
"Kita lewat
jalan potong!" Eri menegaskan.
"Kamu pernah
lewat sana 'kan, Ri?"
Eri mengangguk
cepat. "Yuk!" dia begegas.
Setelah
menyeberangi sungai dan menaiki bukit kecil, Eri membelok memasuki hutan. Kami
menyusuri jalan setapak yang tidak pernah dilalui orang, kecuali orang Kanekes
yang mencari kayu bakar. Jalan setapaknya tertutup daun-daun kering yang basah
dan akar-akar pohon.
Kami ternyata
berjalan di atas Gunung Paniga yang melingkar. Lagi-lagi aku merasa was-was,
karena di wilayah tangtu Cibeo ini ada hutan larangan yang lain, Sasaka Domas,
yang menjadi tanggung jawab puun Cibeo. Jangan-jangan kami
"menginjak"nya.
"Setelah
bukit itu pasti ada pancuran alam!" Eri berteriak.
Aku memandang
Nana.
Ada sebuah pohon
besar tumbang. Batangnya melintang menghalangi jalan. Kami memanjat ketika
menyeberangi pohon itu. Yanto membantuku naik.
Eri tampak berdiri
di batang pohon itu. Dia agak pendiam dan banyak berpikir sekarang. Mungkin
sedang mengingat-ingat ke arah mana yang betul, karena banyak cabang yang
membingungkan.
Eri melompat dan
berjalan lagi. Belum begitu jauh ada pohon lain yang tumbang. Lebih besar dari
yang pertama. Pohon yang ini tampaknya belum begitu lama roboh. Dahan-dahannya
belum dipotong semua. Eri kini kalang kabut.
"Salah jalan,
Ri?" Nana menegur.
"Kita balik
lagi ke pohon tumbang yang pertama!" Eri langsung membalik dan bergegas.
Aku merasa
kepalaku kosong dan membesar.
"Tenang,
Tina, tenang," Nana juga gelisah.
Beberapa orang
meneriakkan kekecewaan yang sama. Bahkan menyarankan untuk kembali ke jalan
simpang pertama.
"Ngapain
balik lagi? Tanggung! Malah lebih deket dari sini ke Ciboleger!" Eri
menyebut kampung base camp di pintu gerbang utara itu.
"Tapi mana
jalannya?!"
"Sudah jam
lima, nih!"
"Kalau
kemalaman di sini, waduh, gawat, Broer!"
Episode 27
Senja di Selat
Sunda
"Heh, jangan
ribut kayak gini dong!"
Eri tidak
menggubris. Dia turun ke sisi kiri ketika ada jalan getapak. Semakin ke bawah,
malah tidak jelas arahnya. Ternyata cuma jejak pencari kayu bakar. Terpaksa
kami naik lagi, kembali ke pohon pertama yang tumbang.
Kami mengikuti
lagi ke mana Eri. Terbentur ke lembah yang lain. Malah sekali waktu kami cuma
berputar-putar saja. Aku betul-betul panik dan kehabisan napas. Nana memapahku.
"Kasih aku
waktu!" Eri gelisah. "Kalian tunggu di sini!" Eri bergegas. Dia
mundur beberapa meter dari tempat kami berdiri. Dan hilang di balik
semak-semak.
Yanto menyuruh Ato
dan Aris untuk mencari kemungkinan jalan lain. Mereka mengambil arah yang
berlawanan. Menerobos semak-semak. Sepuluh menit kemudian mereka kembali dengan
wajah tegang. Bahkan kening Eri tampak berdarah.
"Hati-hati,
Ri," Nana langsung memberinya obat merah.
Eri tampak serba
salah diberi perhatian lebih oleh Nana. "Aku tahu jalannya ke arah
sana!" Eri menunjuk ke seberang lembah. "Tapi, kenapa nggak pernah
nyampe?!" Eri berteriak kesal. Tangannya seperti menyibak-nyibakkan
'kabut' di depannya.
Matahari semakin
menggelincir.
Kegelapan sebentar
lagi akan merengkuh kami.
"Ini pasti
ada yang ‘menghalangi' pandangan kita!" sungut Eri sambil membanting
tubuhnya ke tanah. Dia duduk bersender pada batang pohon. Wajahnya berkeringat
dan penuh rasa bersalah. "Aneh.Aku nggak ngerti," matanya menerawang
jauh, seperti mencoba menembus 'kabut' itu.
"Kena
'kualat' 'ngkali!" ada yang nyeletuk.
"Huss, jangan
ngomong sembarangan!"
"Ya, kita
sering ngelanggar aturan!"
"Buktinya
kita mandi di sungai pakai sabun!"
"Itu sih Eri,
Ato, sama Maman!"
"Enak aja,
kok nuduh aku! Tuh, Yayah sama Rini malah keramas pakai shampo!"
"Sudab,
sudah!"
Eri tampak
terpukul sekali.
"Kita coba
lagi, Ri," Yanto menariknya untuk berdiri.
Eri berdiri. Dia
merogoh senter dari ranselnya.
"Sebaiknya
kita berdoa dulu," Nana menyarankan. "Dalam situasi begini, kita
harus tetep kompak. Jangan saling menyalahkan. Juga jangan merasa yang paling
bersalah," Nana menyuruh semua orang untuk memejamkan mata.
Eri menatap Nana
dengan perasaan yang sulit ditebak. Kami berdo'a dalam hening. Minta petunjuk
pada Tuhan. Minta pikiran dijernihkan dari hal-hal buruk yang membelenggu. Dan
aku menangis, karena takut pada segalanya. Pada perampok yang setiap saat
mengancam, kualat karena "menginjak" tanah larangan, dan pada
kegelapan hutan.
Jubah-jubah hitam
sekarang berkepak-kepak menutupi bumi. Semua orang kini, selain pada Tuhan,
menggantungkan hidupnya pada nyala senter.
"Hey, ada
tanda jejak nih!" Eri berteriak girang. Senternya menyorot ke semak-semak.
Ada tanda panah
dari alang-alang. Tadi kami sudah melewati jalan setapak ini. Aneh. Ah, mungkin
saja tadi kami tidak teliti.
Dengan hati-hati
kami meniti jalan setapak yang menuju lembah. Lenganku tetap tidak mau lepas
mencekal lengan Nana. Aku tidak ingin berjalan sendirian. Kadang kala aku
menjerit kalau ada duri-duri pohon membeset kulitku.
Eri berteriak lagi
ketika ada tanda bacokan di batang pohon. Kami semakin turun ke bawah. Ada
patahan ranting. Aku merasa tanda-tanda itu seperti dibuat oleh 'seseorang'
untuk kami. Inikah pertolongan Tuhan?
"Hey, sini,
sini!" Eri berteriak-teriak di bawah sana. "Cepetan!" teriaknya
lagi gembira.
"Huma di atas
bukit!" Yantojuga berteriak senang.
Ada sebuah gubuk
di huma, ladang orang Baduy. Kadang kala orang Baduy suka bermalam di huma,
jika pekerjaan ladangnya belum selesai.
Aku langsung
menyuruh untuk bermalam saja. Aku tidak meminta persetujuan mereka. Ini seperti
perintah yang keluar dari mulut seorang amatir! Untung mereka mengiyakan juga.
Eri tampak sudah berhasil membuka pintu gubuk. Kebiasaan orang Baduy memang
tidak pernah mengunci rumah seperti kita. Rasa saling percaya tertanam kuat di
jiwa mereka.
Beberapa saat aku
terlelap kelelahan di pojok ruangan. Aku cuma bangun untuk makan mie rebus saja
beberapa suap. Setelah itu aku meringkuk lagi. Angin malam yang dingin
menakutkan, menyusup ke dalam gubuk lewat celah-celah dinding. Aku terbius dan
terbelenggu.
Tapi itu terasa
tidak lama.
Aku menjerit
ketika terdengar ribut-ribut. Ada dua orang lelaki mengobrak-abrik ransel kami.
Dua orang perampok itu! Mereka dengan rakus dan liar menyantap sisa makanan
yang kami punya.
"Jangan
coba-coba!" bentak yang wajahnya brewok sambil mengacungkan golok, begitu
melihat Eri bergerak mencurigakan.
Aku menangis
ketakutan dipeluk Nana.
"Heh, jangan
nangis kamu!" yang berkumis mengacungkan golok ke arahku.
Tangisku malah
tambah nyaring. Seluruh persendianku terasa copot dan bergetar. Oh, Tuhan, aku
merasa celanaku basah. Nana yang menyadari itu hampir saja tertawa. Mulutnya
memang terkunci rapat-rapat, tapi sorot matanya menandakan kegelian. Aku cuma
bisa pasrah saja.
"Kataku,
diem! Cewek cengeng kamu!" lelaki biadab itu berdiri. Dia berjalan ke
arahku.
Secara reflek
mulut aku rapatkan. Nana terus membantuku agar tenang. Dia berbisik
mengembalikan kepercayaan diriku. Pelan-pelan membantuku juga.
"Heh, kamu!
Sini!" si Brewok menghardik Yanto. "Ambil tali-tali itu! Iket
semuanya!" perintahnya.
Si Kumis membantu
Yanto mengikat. Satu-satu kami diikat. Ketika giliran aku, mata si Kumis
jelalatan. Wajahku langsung pucat dan aku meronta-ronta, menangis, dan
berteriak, ketika perampok bedebah itu menyeretku. Nana memegangi kuat-kuat tubuhku
dan Yanto menubruk si Kumis. Yang lain berteriak-teriak. Eri berusaha bangkit,
tapi ambruk lagi, karena tangan dan kakinya diikat.
"Heh,
minggir, minggir!" si Brewok menendang dan mengancam leher Yanto dengan
ujung goloknya.
Episode 28
Senja di Selat
Sunda
Aku menangis
menjadi-jadi. Aku pikir inilah kisah hidupku yang tragis berawal di sini.
Kisah-kisah seorang gadis korban perkosaan, yang sering aku baca di mass media
atau di film-film Amerika, sebentar lagi akan terjadi padaku.
"Apa-apaan
kamu!" bentak si Brewok. "Kita nggak punya waktu untuk
begituan!"
Si Kumis
bersungut-sungut.
Nana memelukku.
"Ayo, ikat
lagi mereka!"
Setelah Nana,
Yanto mengikatku. Aku tahu dia tidak tega mengikatku kencang-kencang. Lalu
Yanto pun diikat oleh mereka.
Kedua perampok itu
dengan gerak cepat mengambil beberapa pakaian dari ransel. Mencobai satu per
satu, sampai dirasa ada yang cocok. Aku kira yang pas dikenakan mereka adalah
pakaian Eri dan Yanto. Tubuh mereka sama tinggi dan besarnya. Lalu mereka mengobrak-abrik
peralatan mandi. Di dalam keremangan cahaya senter, mereka mencukur habis
jenggot dan kumis!
Aku baru menyadari
kalau mereka sedang mengganti penampilan. Mereka menyamar menjadi seperti kami
untuk menerobos keamanan. Aku semakin yakin ketika mereka mengambil dompet kami
dan memilih-milih mana yang cocok.
"Terima
kasih, ya!" kata mereka tertawa puas meninggalkan kami. Dengan ransel di
punggung, penampilan mereka jauh dari perkiraan buruk. Mereka kini tak ubahnya
seperti para petualang seperti kami.
"Aduh,
ranselku masih baru, tuh!" Yanto memaki, karena ranselnya diambil
perampok.
"Punyaku
juga!" Aris menggerutu.
"Ransel lagi
diributin!" Rini berteriak kesal.
"Pikirin nih,
gimana ngebuka tali!" teriaknya lagi.
Eri meronta-ronta.
"Kenceng amat sih ngiketnya, To!" katanya pada Yanto. "Si Amat
aja nggak kenceng-kenceng!" dia mencoba melucu.
"Nggak ada
waktu buat ngelucu, tau!" Yayah kini buka suara. "Kapok aku,
kapok!" jeritnya.
"Tolong,
toloong!"
"Berisik
amat, sih!"
"Diem kenapa,
sih!"
"Lagian siapa
yang ngedenger?"
Aku cuma
menggelengkan kepala. Dalam keadaan darurat begini, mereka masih bisa adumulut.
Aku kehabisan kata-kata. Aku cuma memejamkan mata, karena sudah terbebas dari
hal yang paling buruk tadi.
"Mendingan
sekarang tidur ajalah," Eri mengusulkan. "Besok pagi pasti ada orang
Baduy ke sini."
Aku mengiyakan
usul Eri tadi. Aku sentuh tubuh Nana. Aku lihat Nana pun mengangguk. Kami
akhirnya mencoba untuk pasrah; tidur meringkuk dengan tangan terikat, menunggu
sampai matahari terbit.
Kami semua terjaga
begitu suara pintu berderit. Mata kami terpicing, karena cahaya terang dari
pintu menyilaukan mata. Seorang lelaki Baduy berdiri memandang kami dengan
perasaan heran. Beragam suara pun berlompatan dari mulut kami. Kehidupan mulai
membias lagi di wajah kami.
Aku mengucap
syukur dalam hati. Pertolongan pun akhirnya datang. Lelaki Baduy ini seperti
sudah paham apa yang terjadi. Dia menyuruh kami untuk berkemas. Kami
mengikutinya menuruni bukit dan menyeberangi sungai kecil. Beberapa kali kami
naik-turun bukit, lalu sampai ke panamping Kadu Keter. Kampung ini adalah pos
terakhir jika kita masuk lewat pintu utara.
Beberapa petugas
keamanan dari Rangkasbitung menginterogasi kami. Ketika kami menceritakan
tentang kejadian semalam, para petugas itu tersentak. Mereka memang sudah
mendengar rombongan kami lewat handy talky, yang sudah menangkap salah seorang
dari ketiga perampok itu di wilayah selatan.
"Semalam dua
orang dari kalian sudah keluar dari sini," seorang petugas mengabarkan.
"Mungkin mereka sedang menuju Rangkas sekarang."
"Mereka
bilang terpisah dari rombongan," kata petugas yang lain. "Malam tadi
kami sedang ada di lapangan. Orang Baduy 'kan nggak bisa membaca surat
keterangan mereka," tambahnya.
"Aduh!"
Eri memaki.
"Mereka
perampok-perampok itu, Pak!" seru kami.
Para petugas itu
memang sudah terkecoh. Mereka langsung mengirim kabar lewat hatong ke
Ciboleger. Mereka masih yakin, bahwa di Rangkas kedua perampok itu akan
dibekuk.
Tapi perjalanan
buatku belum selesai. Masih satu jam perjalanan lagi untuk keluar dari wilayah
Kanekes. Masih banyak tanjakan yang harus aku daki sebelum sampai di Ciboleger.
Tengah hari kami
tiba juga di base camp. Kami terpaksa bermalam di sini, karena kendaraan ke
Rangkas cuma di pagi hari saja. Kami bermalam di rumah Pak Askari, seorang
penduduk yang sudah biasa menampung wisatawan nusantara yang akan pergi ke
Kanekes. Bahkan bapak berputra lima ini suka jadi guide amatir.
Tak ada yang kami
kerjakan selain bermalas-malasan. Aku lebih suka duduk menyendiri. Kadang kala
kejadian semalam membayangi terus. Memberati pikiranku. Kalau sedang begini,
aku jadi ingat rumah; Papa, Mama, dan Robby.
"Ngeganggu?"
Nana duduk di sebelahku.
Aku mencoba
tersenyum.
"Sudah rindu
Yogya?" Nana menyebutkan tanggal kepulanganku, yang tinggal empat hari
lagi.
Aku mengangguk.
"Kamu ikut pulang dengan aku 'kan?" aku berharap.
"Eri
mengajakku melihat senja di Selat Sunda," suaranya perlahan.
"Untuk
apa?" aku keberatan, karena akan pulang sendirian.
"Eri
memintaku untuk yang terakhir kali."
"Nanti malah
menjadi beban kamu."
"Aku belum
selesai ngomong."
"Pokoknya aku
nggak mau pulang sendirian."
"Aku bilang
tadi, Eri mengajakku. Aku 'kan nggak ngomong, bahwa aku mau diajak Eri."
"Berarti kita
pulang sama-sama 'kan!"
Nana mengangguk.
"Kamu sudah
siap kehilangan dia sekarang?"
"Sejak dia
pergi meninggalkan aku, sejak dia nggak pernah ngirim surat lagi, aku sudah
siap untuk kehilangan dia."
Episode 29
Senja di Selat
Sunda
"Terus, Eri
jadi kerja sama Uzi di Jakarta?"
"Akhirnya
antara anak dan ayah ada kesepakatan. Eri dikirim ayahnya sekolah musik di
Eropa."
"Wow! Dia
bakalan kecantol cewek bule di sana!"
"Mungkin
sekarang aku harus memilih salah satu cowok di kampus, ya!"
Aku menatapnya
tidak percaya, "Betul, Na?"
Lalu aku ajukan
Alfred, si Menado yang doyan rally, Boyke, ketua senat yang juga hobi naik
gunung, atau Mulyadi, jagoan karate kampus.
Nana cuma
mengangguk-angguk. "Pokoknya kamu jadi penasihatku, ya!" dia gembira
sekali saat ini.
Lalu Nana
menatapku dengan lucu. Aku tahu kalau dia bermaksud mengingatkan aku tentang
kejadian semalam, ketika aku ketakutan sampai-sampai buang air kecil di celana.
Aku tersipu-sipu,
"Aku betul-betul takut waktu itu."
Nana tertawa
keras.
Aku mencubitnya.
Nana kini
menjerit. "Ini bisa jadi gosip murahan di kampus!" teriaknya masih
tertawa.
Aku terus
mencubitnya.
"Hey,
hey," Nana memegangi kedua lenganku.
"Awas, kalau
sampai bocor di kampus!"
Nana menggeleng.
"Ada pesen dari temen-temen," katanya mencoba menahan tawa.
"Sore ini ada pelantikan. Kamu mendapat 'bintang kehormatan' dari
kami."
"Apaan, tuh
?" aku tertarik.
"Mereka
sangat terkesan, karena kamu berhasil menjelajahi Kanekes."
Aku
manggut-manggut.
Setelah aku
membeli tas koja khas Baduy, yang dianyam dari akar pohon, serta selendang
untuk suvenir di rumah, menjelang senja ada upacara kecil-kecilan di halaman.
Yanto memberi wejangan alakadarnya. Terutama mengucapkan syukur, karena sudah
lolos dari bahaya yang mengancam. Beberapa kali dia menyebut aku, yang tetap
dengan semangat tinggi melintasi Kanekes.
Lalu mataku
ditutup. Aku disuruh maju, karena akan dikalungi 'tanda kehormatan'. Eri maju
dan mengalungi aku. Dia tidak mengatakan apa-apa. Beberapa saat tidak ada
suara. Aku buka selendang yang menutup mataku. Tak ada siapa-siapa di halaman.
Aku dengar suara
orang tertawa riuh di dalam rumah Pak Askari. Aku berteriak ketika tahu apa
bandul kalung 'tanda kehormatan' itu. Kerak nasi itu! Aku betul-betul marah.
Bukankah kerak sialan ini sudah aku buang? Rupanya Eri memungutnya lagi. Anak
ini memang tukang iseng!
Tapi aku tersenyum
juga. Mungkin kalau sudah sampai di rumah nanti, aku akan minta diajari memasak
pada Mama. Rasanya tidak komplet menjadi seorang wanita kalau tidak tahu urusan
dapur. Ternyata liburanku kali ini membawa banyak kenangan buatku.
Tak akan pernah
aku lupakan. Tak akan pernah aku sesali sudah berlibur di sini.
Nana, memang,
sudah mengajari aku banyak hal lewat liburan ini.
*selesai*
0 komentar
Posting Komentar