Hujan itu berkah atau musibah? Aha, tentu saja bisa
kedua-duanya.
Hujan itu berkah bagi para petani yang sawahnya mengering.
Hujan berubah jadi musibah bila membuat banjir yang menenggelamkan apa saja.
Hujan rintik-rintik, kata orang, itu romantis. Hujan lebat
bikin hati miris. Hujan yang berlama-lama, kata orang Jawa, adalah criwikan
sing dadi grojogan — sesuatu yang awalnya kecil berubah menjadi air bah.
Pendeknya, ia ibarat dua sisi mata uang.
Sampean tentu juga kesan tersendiri dengan hujan, kan?
Seperti Dewi, misalnya, yang mengaku suka mencumbui hujan. Halah. Hujan kok
dicumbu? Cumbu dapur atau cumbu rujak?
Tapi jangan coba tanyakan tentang hujan kepada Bulik Lita.
Ia pasti akan bilang hujan itu sesuatu yang menjengkelkan bin menyebalkan.
Apa sebabnya?
Begini ceritanya. Ketika kemarin siang hujan mengguyur Jakarta
dengan deras, Bulik yang baik hati itu mengirimkan SMS ke saya. Isinya sebuah
keluh kesah.
“Sudah pakai putih, eh di jalan hujan. Naik motor, ban bocor
kena paku. Padahal sebentar lagi sampai di tujuan. Lapar pula, nggak sempat
sarapan. Pecas ndahe kiy.”
Terus terang saya ngakak begitu membaca SMS itu. Tapi,
supaya terlihat ikut bersimpati [hihihi … maaf ya, Bulik] saya pun membalas SMS
dengan nada penuh keprihatinan. Dalam hati, saya terbayang betul betapa
kesalnya Bulik Lita kemarin itu.
Lah wong sudah macak, dandan, necis dengan busana putih, eh
hujan jatuh. Kotor dong. Apalagi ban sepeda motornya pakai acara bocor.
Terpaksa ikut mendorong sampai tukang tambal ban. Ditambah perut keroncongan
pula. Wis jan, itu namanya sial pol. Tapi, hidup memang penuh tikungan yang
mengejutkan bukan?
Ki Sanak, apa sampean juga pernah beroleh kesialan
bertubi-tubi seperti itu? Yang semuanya sepertinya pas gitu loh. Pas mau
kondangan, mobil mogok. Pas mau pulang, bos memanggil dan meminta sampean kerja
lembur. Pas lapar, nasi sudah habis. Pas mau ngeblog, listrik mati. Pas baca
posting ini, tiba-tiba internetnya disco. Haiyah.
0 komentar
Posting Komentar