Label 3

My Visitor,,

free counters

Followers

Sabtu, 29 Desember 2012


الحمدُ للهِ، والصَّلاةُ والسَّلامُ على رسولِ اللهِ أما بعد:
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul termulia, keluarga dan seluruh sahabatnya. Wa Ba’du.
Seruan kepada taqriib (pendekatan) antara agama Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah dengan selain mereka dari kalangan Ahlusunnah, Zaidiyyah dan Ibadiyyah yang gencar di kumandangkan pada tahun-tahun terakhir ini telah menarik perhatian banyak orang untuk mengkaji permasalahan ini secara ilmiah. Dan shohibul fadhilah, penulis besar Islam Sayyid Muhibbuddin Al Khathiib telah melakukan pengkajian ini melalui buku-buku utama sekte Syi’ah guna mencari sarana taqriib ini dalam buku-buku tersebut. Dan terbukti bagi beliau bahwa terwujudnya taqriib adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini dikarenakan para penggagas agama Syi’ah tidak menyisakan satu sarana pun untuk terjadinya taqriib tersebut. Mereka telah menegakkan agama Syi’ah di atas pilar-pilar yang bertentangan dengan syari’at Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dan yang diserukan oleh para sahabat beliau, serta agama terang benderang nan bercahaya yang beliau wariskan, sehingga tiada orang yang menyeleweng darinya melainkan orang yang benar-benar binasa.
Karena berbagai nukilan yang disebutkan dalam karya tulis ini langsung diambil dari buku-buku utama sekte Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah, dengan disertai nomor halaman, serta penjelasan tentang edisi penerbitannya, sehingga tidak mungkin ada orang yang dapat mengingkarinya, maka kami merasa perlu untuk mempersembahkannya kepada seluruh manusia. Agar hidup orang yang hidup di atas penjelasan dan binasa orang yang binasa di atas penjelasan, dan hanya Allah lah yang menjadi pembela bagi orang-orang yang telah mendapat petunjuk.
Jeddah, 14 Rajab 1380 H
Muhammad Nashif
******
Mustahil Terjadinya Pendekatan Antara Islam dan Syi’ah
Prinsip-prinsip Dasar Ajaran Sekte Syi’ah Al Imamiyyah Mustahil Terjadi Pendekatan Antaranya Dengan Prinsip-prinsip Islam Dengan Berbagai Aliran dan Kelompoknya
Mendekatkan pemikiran, kepercayaan, metodologi dan tekad umat Islam merupakan salah satu tujuan syariat Islam, dan termasuk salah satu sarana bagi terwujudnya kekuatan, kebangkitan dan perbaikan mereka. Sebagaimana hal itu merupakan kebaikan bagi tatanan masyarakat dan persatuan umat Islam di setiap masa dan negara. Setiap seruan kepada pendekatan semacam ini -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan, dan pada perinciannya tidak berdampak buruk yang lebih besar dibanding kemaslahatan yang diharapkan- maka wajib hukumnya atas setiap muslim untuk memenuhinya, serta bahu membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.
Beberapa tahun terakhir, seruan semacam ini ramai dibicarakan orang. Kemudian berkembang hingga sebagian mereka terpengaruh dengannya, hingga pengaruhnya sampai ke Universitas Al Azhar -suatu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan terbesar yang dimiliki oleh Ahlis Sunnah, yang menisbatkan dirinya kepada empat Mazhab Fikih (yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Oleh karenanya Al Azhar mengemban misi “pendekatan” tersebut dalam lingkup yang lebih luas daripada misi yang ia emban dengan tak kenal lelah sejak masa Sholahuddin Al Ayyubi hingga sekarang ini. Oleh karenanya Universitas Al Azhar keluar dari lingkup tersebut kepada upaya mengenal berbagai Mazhab lainnya, terutama Mazhab “Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariyah”. Dalam hal ini, Al Azhar masih berada di awal perjalanan. Oleh karenanya, permasalahan penting ini amatlah perlu untuk dikaji, dipelajari, dipaparkan oleh setiap muslim yang memiliki pengetahuan tentangnya, dan digali segala hal yang berkaitan dengannya serta segala dampak dan risiko yang mungkin terjadi.
Dikarenakan berbagai permasalahan dalam agama amatlah rumit, maka penyelesaiannya pun haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat. Dan hendaknya orang yang mengkajinya pun benar-benar menguasai segala aspeknya, menguasai ilmu agama, bersifat obyektif dalam setiap pengkajian dan kesimpulan, agar solusi yang ditempuh -dengan izin Allah- benar-benar membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai dampak positif. Hal pertama yang menjadi catatan kami pada perkara ini -juga dalam setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- ialah: bahwa salah satu faktor terkuat bagi keberhasilannya ialah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.
Kita contohkan dengan perkara pendekatan antara Ahlusunnah dengan Syi’ah, telah dicatat bahwa guna merealisasikan seruan kepada pendekatan antara kedua paham ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir, yang didanai oleh anggaran belanja negara yang berpaham Syi’ah. Negara dengan paham Syi’ah ini telah memberikan bantuan resmi tersebut hanya kepada kita, padahal mereka tidak pernah memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di kota Teheran, atau Kum, atau Najef atau Jabal ‘Amil, atau tempat-tempat lain yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah
Dan dari berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut -pada beberapa tahun terakhir ini- beredar berbagai buku yang meruntuhkan gagasan solidaritas dan pendekatan, sampai-sampai menjadikan bulu roma berdiri. Di antara buku-buku tersebut adalah buku (Az Zahra) dalam tiga jilid, yang diedarkan oleh ulama’ kota Najef. Pada buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan selain dengan air mani kaum laki-laki!!? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh Ustadz Al Basyir Al Ibrahimi, ketua ulama’ Al Jazair pada kunjungan pertamanya ke Irak. Kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan kekejian mazhab semacam ini kepada “Seruan Pendekatan” lebih mendesak dibanding kebutuhan kita sebagai Ahlusunnah kepada seruan semacam ini.
Bila perbedaan paling mendasar antara kita dengan mereka berkisar seputar dakwaan mereka bahwa mereka lebih loyal kepada Ahlul Bait (Ahlul Bait ialah karib kerabat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam  -pent) dibanding kita, dan tentang anggapan bahwa mereka menyembunyikan -bahkan-menampakkan- kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak. Sampai-sampai mereka berani mengucapkan perkataan kotor semacam ini tentang Amirul Mukminin Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Maka obyektivitas sikap mengharuskan agar mereka lebih dahulu mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam dan agar mereka bersyukur kepada Ahlusunnah atas sikap terpuji mereka kepada para Ahlul Bait, dan atas sikap mereka yang tidak pernah lalai dari menunaikan kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (Ahlul Bait), kecuali kelalaian kita dari penghormatan kepada Ahlul Bait yang berupa menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Allah, sebagaimana yang dapat kita saksikan pada berbagai kuburan mereka yang berada di tengah-tengah penganut paham Syi’ah yang hendak diadakan pendekatan antara kita dan mereka.
Interaksi haruslah dilakukan oleh kedua belah pihak yang hendak dibangun toleransi dan pendekatan antara keduanya. Tidaklah ada interaksi melainkan bila antara positif dan negatif (pro dan kontra) dapat dipertemukan, dan bila berbagai gerak dakwah dan upaya pewujudannya tidak hanya terfokus pada satu pihak semata, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Kritikan kami tentang keberadaan lembaga pendekatan tunggal yang berpusatkan di ibu kota negeri Ahlusunnah, yaitu Mesir ini, dan yang tidak diiringi oleh pusat-pusat kota negeri Mazhab Syi’ah, padahal berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah gencar mengajarkannya, dan memusuhi paham lain, berlaku pula pada upaya memasukkan permasalahan ini sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar, selama hal yang sama tidak dilakukan di berbagai perguruan Syi’ah.
Adapun bila upaya ini -sebagaimana yang sekarang terjadi- hanya dilakukan pada satu pihak dari kedua belah pihak atau berbagai pihak terkait, maka tidak akan pernah berhasil, dan tidak menutup kemungkinan malah menimbulkan interaksi balik yang tidak terpuji.
Termasuk cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dimulai dari permasalahan furu’ sebelum membahas berbagai permasalahan ushul (prinsip)!. Ilmu Fikih Ahlusunnah dan Ilmu Fikih Syi’ah tidaklah bersumberkan dari dalil-dalil yang disepakati antara kedua kelompok. Syariat fikih menurut empat Imam Mazhab Ahlusunnah tegak di atas dasar-dasar yang berbeda dengan dasar-dasar syariat fikih menurut Syi’ah. Dan selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar hukum ini sebelum menyibukkan diri dengan berbagai permasalahan furu’, dan selama tidak ada interaktif antara kedua belah pihak dalam hal ini, pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, maka tidak ada gunanya kita menyia-nyiakan waktu dalam permasalahan furu’ sebelum terjadi kesepakatan dalam permasalahan ushul. Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu ushul fikih, akan tetapi ushul/dasar-dasar agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling mendasar.

******
Taqiyyah Dalam Agama Syi’ah

Permasalahan Taqiyyah
Penghalang pertama bagi terwujudnya solidaritas yang benar lagi tulus antara kita dan mereka ialah apa yang mereka sebut dengan At Taqiyyah. Taqiyyah adalah suatu keyakinan dalam agama yang membolehkan bagi mereka untuk berpenampilan di hadapan kita dengan penampilan yang menyelisihi hati nurani mereka. Dengan demikian orang yang lugu dari kalangan kita (Ahlusunnah) akan tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan solidaritas dan pendekatan, padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan, juga tidak rela, dan tidak akan menerapkan hal itu, kecuali bila hal itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja (yaitu pihak Ahlusunnah), sedangkan pihak lain tetap berada dalam kenyelenehannya tidak bergeser sedikit pun walau hanya satu rambut (yaitu Syiah). Walaupun para pelaku peran “Taqiyyah” dari mereka berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekat dengan kita, maka sesungguhnya masyarakat Syi’ah seluruhnya; pemuka mereka dan masyarakat awamnya akan tetap terpisah dari para pemeran sandiwara ini, dan tidak akan pernah menerima apapun apa yang dikatakan oleh para perwakilan yang telah memerankan peranan mereka.
Di antaranya hadits yang mereka yakini bahwa Imam kelima mereka, yaitu Muhammad Al Baqir meriwayatkan suatu hadits yang di antara bunyinya:
“At Taqiyyah ialah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku, dan tidak beriman orang yang tidak bertaqiyyah.” (Al Ushul Minal Kafi, bab: At Taqiyyah jilid: 2 hal: 219).
Syaikh ahli hadits mereka Muhammad bin Ali bin Al Hasan bin Babuyah Al Kummi telah menyebutkan dalam sebuah risalahnya yang berjudul Al I’tiqadaat:
“Bertaqiyyah wajib hukumnya, barang siapa yang meninggalkannya, maka ia bagaikan orang yang meninggalkan sholat.” Ia juga berkata: “Bertaqiyyah wajib hukumnya, dan tidak boleh dihapuskan hingga datang sang penegak keadilan (imam mahdi -pent), dan barang siapa yang meninggalkannya sebelum ia datang, maka ia telah keluar dari agama Allah Ta’ala, dan dari agama Al Imamiyyah, serta menentang Allah, Rasul-Nya dan para Imam.” (Baca risalah Al I’tiqadaat, pasal At Taqiyyah, terbitan Iran tahun: 1374 H).
Celaan Terhadap Al Quran
Sampai pun Al Quran Al Karim, yang semestinya menjadi rujukan penyatu antara kita dan mereka dalam upaya pendekatan diri kepada persatuan, akan tetapi ternyata prinsip-prinsip agama mereka tegak di atas penakwilan ayat-ayatnya dan memalingkan artinya kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para sahabat radhiallahu ‘anhum dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam , dan kepada pemahaman yang tidak pernah dipahami oleh para imam kaum muslimin semoga Allah merahmati mereka- dari generasi yang padanya diturunkan Al Quran.
Bahkan salah seorang ulama terkemuka kota Najef, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thobarsy, seorang figur yang mereka agungkan sampai-sampai ketika ia wafat pada tahun 1320 H, mereka menguburkannya di kompleks pemakaman Al Murtadhowi di kota Najef, di singgasana kamar Banu Al Uzma binti Sultan An Nashir Lidinillah, yang berupa teras kamar yang menghadap ke Kiblat yang terletak di sebelah kanan setiap orang yang masuk ke halaman Al Murtadhowi dari pintu kiblat di kota Najef Al Asyraf. Suatu tempat paling suci bagi mereka. Ulama kota Najef ini pada tahun 1292 H di saat ia berada di kota Najef di sisi kuburan yang dinisbatkan kepada Imam Ali -semoga Allah memuliakan wajahnya- menuliskan sebuah buku yang ia beri judul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.” (Makna judul buku ini: “Keterangan Tuntas Seputar Pembuktian Terjadinya Penyelewengan Pada Kitab Tuhan Para Raja” -pent). Ia mengumpulkan beratus-ratus nukilan dari ulama-ulama dan para mujtahid Syi’ah di sepanjang masa yang menegaskan bahwa Al Quran Al Karim telah ditambah dan dikurangi.
Buku karya At Thobarsy ini telah diterbitkan di Iran pada tahun 1289 H, dan kala itu buku ini memancing terjadinya kontroversi. Hal ini karena dahulu mereka menginginkan agar upaya menimbulkan keraguan tentang keaslian Al Quran hanya diketahui secara terbatas oleh kalangan tertentu dari mereka, dan tersebar di beratus-ratus kitab-kitab mereka, dan agar hal ini tidak dikumpulkan dalam satu buku yang dicetak dalam beribu-ribu eksemplar dan akhirnya dibaca oleh musuh mereka, sehingga buku tersebut menjadi senjata atas mereka yang dapat disaksikan oleh setiap orang. Tatkala para tokoh mereka menyampaikan kritikan ini, penyusun kitab ini menentang mereka, dan kemudian ia menuliskan kitab lain yang ia beri judul: Raddu Ba’dhis Syubhaat ‘An Fashlil Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab (Makna judul buku ini: Bantahan Terhadap Sebagian Kritikan Kepada kitab “Keterangan Tuntas seputar pembuktian terjadinya penyelewengan pada kitab Tuhan para raja”. -pent). Ia menuliskan pembelaan ini pada akhir hayatnya, yaitu dua tahun sebelum ia wafat.
Sungguh kaum Syi’ah telah memberikan penghargaan kepadanya atas jasanya membuktikan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan, yaitu dengan menguburkannya di tempat istimewa dari kompleks pemakaman keturunan Ali di kota Najef. Dan di antara hal yang dijadikan bukti oleh tokoh kota Najef ini bahwa telah terjadi kekurangan pada Al Quran, ialah pada hal: 180, ia menyebutkan satu surat yang oleh kaum Syi’ah disebut dengan nama “Surat Al Wilayah”, pada surat ini ditegaskan kewalian sahabat Ali:
يأيها الذي آمنوا آمنوا بالنبي والولي اللذين بعثناهما يهديانكم إلى الصِّراط المستقيم …إلخ
“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah engkau dengan seorang nabi dan wali yang telah Kami utus guna menunjukkan kepadamu jalan yang lurus…dst.” [3]
Demikianlah surat Syi’ah, gaya bahasanya buruk, lucu lagi tidak fasih, ditambah lagi kesalahan fatal dalam ilmu nahwu, membuktikan bahwa itu adalah surat non Arab, hasil rekayasa orang-orang non Arab Persia yang dungu, sehingga mereka mempermalukan diri sendiri dengan menambahkan surat ini. Inilah “Al Quran” yang dimiliki kaum Syi’ah, terdapat kesalahan, dengan gaya bahasa non Arab dan menyalahi ilmu nahwu! Adapun Al Quran milik kita –Ahlusunnah wal Jama’ah- adalah Al Quran dengan bahasa Arab yang nyata tidak ada kesalahan, sarat dengan rasa manis, dan keindahan, bak sebuah pohon yang penuh dengan buah, dan akarnya menghunjam ke dalam bumi, sebagai petunjuk bagi orang yang beriman, penyembuh, sedangkan orang-orang yang tidak beriman telinga mereka tuli dan mata mereka buta.
Dan seorang yang dapat dipercaya, yaitu Ustadz Muhammad Ali Su’udy -beliau adalah kepala tim ahli di Departemen Keadilan di Mesir, dan salah satu murid terdekat Syaikh Muhammad Baduh- berhasil menemukan “Mushaf Iran” yang masih dalam bentuk manuskrip yang dimiliki oleh orientalis Brin, kemudian beliau menukil surat tersebut dengan kamera. Di atas teks Arabnya terdapat terjemahan dengan bahasa Iran (Persia), persis seperti yang dimuat oleh At Thobarsy dalam bukunya: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.”
Surat ini juga dapat ditemukan dalam buku mereka yang berjudul “Dabistan Mazahib” dengan bahasa Iran (Persia), hasil karya Muhsin Fani Al Kasymiri, buku ini dicetak di Iran dalam beberapa edisi. Surat palsu ini juga dinukilkan oleh seorang pakar sekaligus orientalis yang bernama Noldekh dalam bukunya “Tarikh Al Mashohif” (Sejarah Mushaf-mushaf) jilid: 2 hal: 102, dan yang dipublikasikan oleh Harian Asia-Prancis pada tahun 1842 M, pada hal: 431-439.
Sebagaimana tokoh kota Najef ini berdalil dengan surat Al Wilayah atas terjadinya perubahan pada Al Quran, ia juga berdalil dengan riwayat yang termaktub pada hal: 289, dari kitab “Al Kafi” (Judul lengkap Kitab ini ialah: Al Jami’ Al Kafi, karya Abu Ja’far Ya’qub Al Kulaini Ar Razi) edisi tahun 1287 H, Iran -kitab ini menurut mereka sama kedudukannya dengan “Shohih Bukhori” menurut kaum Muslimin. Pada halaman tersebut dalam kitab Al Kafi termaktub sebagaimana berikut:
“Beberapa ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin Ziyad, dari Muhammad bin Sulaiman, dari sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan ‘alaihis salaam -maksudnya Abu Hasan kedua, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha, wafat pada thn 206- ia menuturkan: “Dan aku berkata kepadanya: Semoga aku menjadi penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Al Quran yang tidak ada pada Al Quran kita sebagaimana yang kita dengar, dan kita tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari anda, maka apakah kami berdosa? Maka beliau menjawab: Tidak, bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian.”
Tidak diragukan bahwa ucapan ini merupakan hasil rekayasa kaum Syi’ah atas nama imam mereka Ali Bin Musa Ar Ridha. Walau demikian ucapan ini merupakan fatwa bahwa penganut Syi’ah tidak berdosa bila membaca Al Quran sebagaimana yang dipelajari oleh masyarakat umum dari Mushaf Utsmani, kemudian orang-orang tertentu dari kalangan Syi’ah akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal yang menyelisihi Mushaf tersebut, berupa hal-hal yang mereka yakini ada atau pernah ada pada mushaf-mushaf para imam mereka dari kalangan Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam ).


Teks Lengkap Surat Al Wilayah
Pada buku aslinya, di halaman ini dimuat (Surat Al Wilayah) yang berhasil diperoleh dengan kamera dari salah satu Mushaf Iran, dan pada setiap kata terdapat terjemahannya dalam bahasa Persia:
يأيها الذين آمنوا آمنوا بالنبي وبالولي الذين بعثناهما يهديانكم إلى صراط مستقيم # نبي وولي بعضهما من بعض وأنا العليم الخبير # إن الذين يوفون بعهد الله لهم جنات النعيم # والذين إذا تليت عليهم آياتنا كانوا بآياتنا مكذبين # إن لهم في جهنم مقاما عظيما إذا نودي لهم يوم القيامة أين الظالمون المكذبون للمرسلين # ما خالفهم المرسلين إلا بالحق وما كان الله ليظهرهم إلى أجل قريب وسبح بحمد ربك وعلي من الشاهدين#
“Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul?? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”
Al Quran yang mereka yakini, dan yang mereka rahasiakan di kalangan mereka, dan tidak dipublikasikan, dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, seandainya seluruh ulama-ulama besar Syi’ah tidak meyakini bahwa Al Quran telah di selewengkan, mustahil mereka menyifati penulis buku yang memuat dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai sifat yang terpuji, misalnya ucapan mereka: semoga Allah menyucikan ruhnya, atau dia adalah imam para ahli hadits, Seandainya mereka meyakini selain ini, niscaya mereka akan ramai-ramai membantahnya, atau menentangnya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau orang kafir karena masih adakah keislaman bagi orang yang mengatakan bahwa Al Quran telah mengalami penyelewengan?! Upaya perbandingan antara Al Quran tersebut dengan Al Quran yang telah diketahui oleh setiap orang dan menyebar luas dan yang termaktub pada Al Mushaf Al Utsmani, adalah alasan yang mendorong Husain bin Muhammad Taqi An Nury At Thobarsy untuk menuliskan bukunya yang berjudul: “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab.” [4]
Apapun perihalnya, bukan hanya An Nury At Thobarsy pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) seorang yang menyatakan bahwa Al Quran telah diselewengkan, didapatkan ada imam-imam (Syi’ah) terkemuka lainnya yang sekelas dengannya menyatakan hal yang sama, misalnya Al Kulainy, penulis buku Al Kafi dan Ar Raudhah, Al Kummi penulis buku tafsir yang disebut oleh An Najasyi dalam buku Rijalun Najasy pada hal: 183: “Ia memiliki kredibilitas tinggi (tsiqah) dalam hal hadits dan kuat hafalannya, dapat dipercaya dan benar mazhabnya”, dan juga Syaikh Mufid yang dinyatakan oleh An Najasyi dalam Rijalun Najasy hal: 284: “Keahliannya dalam hal ilmu fikih, riwayat, kredibilitas (tsiqah) dan ilmu secara umum telah diketahui oleh setiap orang”, dan ia juga dipuji oleh sayyid Muhsin Al Amin dalam bukunya “A’ayanus Syi’ah” jilid 1/237, dan juga Al Kasyy, Al Ardubily, dan juga Al Majlisy.
Seandainya seluruh tokoh terkemuka kaum Syi’ah tidak meyakini terjadinya penyelewengan pada Al Quran, mustahil mereka memuji orang yang telah menuliskan sebuah buku yang menyebutkan dua ribu hadits yang membuktikan penyelewengan Al Quran dengan berbagai pujian ini, misalnya mereka menyebutnya dengan: Semoga Allah menyucikan jiwanya, atau dia adalah imam para ahli hadits. Seandainya mereka meyakini kebalikannya, niscaya mereka membantahnya, atau mencelanya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau mengafirkannya… karena apakah yang masih tersisa setelah seseorang meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan?
Walaupun kaum Syi’ah berusaha untuk mengesankan bahwa mereka berlepas diri dari buku An Nuri At Thobarsy dalam rangka menerapkan ideologi At Taqiyyah, akan tetapi buku tersebut memuat beratus-ratus nukilan dari ulama’ mereka yang terdapat pada buku-buku mereka yang terpercaya. Suatu hal yang membuktikan dengan pasti bahwa mereka meyakini dan beriman dengan adanya penyelewengan. Hanya saja mereka tidak menginginkan terjadinya kontroversi seputar keyakinan mereka tentang Al Quran.
Dengan demikian, ada dua Al Quran: yang pertama Al Quran yang telah menyebar luas dan diketahui oleh setiap orang, dan yang kedua: Al Quran khusus yang tersembunyi, yang di antara isinya ialah surat Al Wilayah. Dan dalam hal ini mereka mengamalkan pesan yang mereka rekayasa atas nama salah seorang imam mereka, yaitu Ali bin Musa Ar Ridha: “Bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian!!”
Di antara ayat yang menurut kaum Syi’ah telah dihapuskan dari Al Quran ialah ayat:
وجعلنا عليا صهرك
“Dan Kami jadikan Ali sebagai menantumu.”
Mereka beranggapan bahwa ayat ini telah dihapuskan dari surat أَلَمْ نَشْرَحْ Mereka tidak merasa malu dengan anggapan ini! Padahal mereka mengetahui bahwa surat أَلَمْ نَشْرَحْ adalah surat Makkiyyah (Surat Makkiyyah ialah surat yang diturunkan semasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  masih berada di kota Makkah dan sebelum berhijrah ke kota Madinah) sedangkan yang menjadi menantu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam  kala itu ialah Al ‘Ash bin Al Rabi’ Al Umawi, ia pernah dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dari atas mimbar masjid Nabawi As Syarif, tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu berencana menikahi anak wanita Abu Jahl sebagai madu bagi istrinya Fatimah radhiallahu ‘anha. Oleh sebab itulah Fatimah mengadukan suaminya Ali bin Abi Tholib kepada ayahnya yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam . (Pujian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  kepada menantunya Al ‘Ash bin Al Rabi’ Al Umawi ini diriwayatkan oleh Imam Bukhary dan Muslim. -pent)
Dan bila sahabat Ali adalah menantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  karena menikahi salah seorang putri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka Allah ta’ala telah menjadikan sahabat Utsman bin Affan juga sebagai menantu Beliau karena telah menikahi dua putrinya, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  bersabda kepadanya ketika istri keduanya (Ummu Kultsum) meninggal dunia:
لو كانت لنا ثالثة لزوجناكها
“Seandainya aku memiliki anak wanita ketiga, niscaya akan aku nikahkan engkau dengannya.” (Kisah ini disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitabnya Usudul Ghobah 1/749 & 1458 -pent).
Tokoh mereka yang bernama Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Tholib At Thobarsy -salah seorang syaikh Ibnu Syahruasyub wafat thn 588 H dalam bukunya: “Al Ihtijaj ‘Ala Ahli Al Lijaaj” menyebutkan bahwa sahabat Ali pada suatu hari berkata kepada salah seorang zindiq (kaum sesat) -ia tidak menyebutkan namanya-: “Adapun sikapmu yang tidak peduli dengan firman Allah ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوْا فِي اليَتَامَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
“Dan bila kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu suka.” (QS. An Nisa: 3)
Tidak ada kaitan antara berbuat adil kepada anak-anak yatim dengan menikahi wanita, dan tidaklah setiap wanita itu yatim. Ayat yang sebenarnya ialah apa yang telah aku kemukakan kepadamu, bahwa kaum munafik[5] telah menghapuskan berbagai perintah dan kisah dari Al Quran yang terletak antara firman Allah tentang anak-anak yatim hingga firman Allah tentang menikahi wanita, sebanyak lebih dari sepertiga Al Quran!?
Tidak diragukan bahwa kisah ini bagian dari kedustaan mereka atas nama sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, dengan bukti beliau sendiri tidak pernah mengumumkan sepanjang masa kepemimpinannya atas kaum muslimin sepertiga Al Quran yang telah dihapuskan dari tempat ini, dan tidak juga memerintahkan kaum muslimin untuk menuliskannya kembali, atau mempelajari dan mengamalkan kandungannya.
Dan tatkala pertama kali buku “Fashlul Khithab Fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabbil Arbaab” terbit dan beredar di tengah-tengah kaum Syi’ah dan lainnya di Iran, Nejef dan negri lainnya kurang lebih delapan puluh tahun silam -sedangkan buku ini penuh dengan puluhan bahkan ratusan kisah-kisah palsu atas nama Allah dan hamba-hamba pilihan-Nya semacam ini- kaum misionaris; musuh-musuh Islam bergembira dan segera menerjemahkannya ke berbagai bahasa mereka. Fenomena ini disebutkan oleh Muhammad Mahdi Al Ashfahani Al Kazhimi pada jilid 2 hal: 90 dari bukunya yang berjudul: “Ahsanul Wadi’ah”, yang merupakan penyempurna buku: “Raudhatul Jinan.”
Ada dua teks yang jelas dalam buku yang sederajat dengan Shohih Bukhori menurut mereka, yaitu buku “Al Kafi” karya Al Kulaini, teks pertama pada hal: 54, edisi thn 1278 H di Iran, yaitu, “Dari Jabir Al Ju’fi, ia menuturkan: Aku pernah mendengar Abu Ja’far ‘alaihissalaam berkata: Tidaklah ada seseorang yang mengaku telah menghafal Al Quran semuanya sebagaimana tatkala diturunkan melainkan ia adalah seorang pendusta, dan tidaklah ada orang yang berhasil mengumpulkan dan menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika diturunkan selain Ali bin Abi Tholib dan para imam setelahnya.” Setiap orang Syi’ah yang membaca kitab “Al Kafi” ini -yang kedudukannya bagaikan Shohih Bukhori menurut Ahlusunnah- pasti mengimani teks ini.
Adapun kita Ahlusunnah, maka kita berkeyakinan: Sesungguhnya kaum Syi’ah telah berdusta atas nama Al Baqir Abu Ja’far rahimahullah dengan bukti sahabat Ali radhiallahu ‘anhu sendiri selama masa khilafahnya -padahal beliau berada di kota Kuffah- tidak pernah beramal selain dengan Mushaf yang telah dikumpulkan dan disebar luaskan serta ditetapkan untuk diamalkan di seluruh penjuru -sebagai karunia dari Allah ta’ala- oleh khalifah Utsman radhiallahu ‘anhu, hingga zaman kita dan hingga hari kiamat. Seandainya sahabat Ali radhiallahu ‘anhu memiliki mushaf lain, -sedangkan ia adalah seorang khalifah dan penguasa, di seluruh wilayah kekuasaannya tidak ada yang berani menentangnya- niscaya ia akan mengamalkannya, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebar luaskan dan mengamalkannya. Dan seandainya ia memiliki mushaf lain, sedangkan ia menyembunyikannya dari kaum muslimin, maka ia adalah seorang pengkhianat terhadap Allah, Rasul-Nya dan agama islam!!
Sedangkan Jabir Al Ju’fi yang mengaku mendengar ucapan keji tersebut dari Imam Abi Ja’far Muhammad Al Baqir, walaupun dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya) menurut mereka, akan tetapi sebenarnya ia telah dikenal oleh imam kaum muslimin sebagai pendusta. Abu Yahya Al Himmani berkata: Aku mendengar Abu Hanifah berkata: Aku tidak pernah melihat dari orang-orang yang pernah aku temui seorang pun yang lebih utama dibanding ‘Atha’, dan tidak seorang pun yang lebih pendusta dibanding Jabir Al Ju’fi. (Silahkan baca makalah saya yang dimuat di Majalah Al Azhar hal: 307, edisi thn 1372 H).
Dan teks yang lebih nyata dustanya dibanding teks pertama dari Abu Ja’far yang terdapat pada buku “Al Kafi” ini, ialah teks dari anak beliau Ja’far As Shodiq rahimahullah ta’ala dan yang juga dimuat dalam Shohih Bukhori mereka “Al Kafi” hal: 57, edisi 1278 H Iran:
“Dari Abi Bashir, ia menuturkan: Aku pernah masuk menemui Abu Abdillah (Ja’far As Shodiq)……hingga Abu Abdillah berkata: “Dan sesungguhnya kami memiliki Mushaf Fatimah ‘alaihas salaam …ia menuturkan: Aku pun bertanya: Apa itu Mushaf Fatimah? Ia menjawab: Mushaf seperti Al Quran kalian itu tiga kali lipat (tebalnya), dan sungguh demi Allah tidaklah ada padanya satu huruf pun dari Al Quran kalian.”
Teks-teks orang-orang Syi’ah yang dipalsukan atas nama imam-imam Ahlul Bait ada sejak zaman dahulu, karena telah dibukukan oleh Muhammad bin Ya’qub Al Kulaini Ar Razi dalam bukunya “Al Kafi” lebih dari seribu tahun yang lalu, dan teks-teks tersebut ada jauh-jauh hari sebelumnya; dikarenakan ia menukilkan teks tersebut dari pendahulunya, para tokoh pendusta para arsitek pendiri paham Syi’ah.
Semasa Spanyol berada di bawah kekuasaan Bangsa Arab dan Islam, Imam Abu Muhammad ibnu Hazm beradu argumentasi dengan para pendeta Nasrani melalui teks-teks kitab mereka, dan beliau membuktikan kepada mereka bahwa kitab mereka telah mengalami penyelewengan dan bahkan kitab aslinya telah hilang. Maka para pendeta tersebut balik berdalil atas beliau bahwa kaum Syi’ah telah menetapkan bahwa Al Quran juga mengalami penyelewengan. Mendengar jawaban yang demikian, Ibnu Hazm menjawab mereka bahwa anggapan kaum Syi’ah tidak dapat dijadikan sebagai bukti atas Al Quran tidak juga atas kaum muslimin, karena kaum Syi’ah tidak termasuk kaum muslimin. Silahkan baca “Al Fishol Fi Al Milal wa An Nihal” karya Ibnu Hazm, jilid 2 hal: 78 dan juz 4 hal: 182, edisi pertama Al Kairo.
Satu fakta berbahaya yang kami merasa perlu untuk mengingatkan pemerintahan-pemerintahan Islam: bahwa prinsip paham Syi’ah Al Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariyyah yang dikenal juga dengan Al Ja’fariyyah berdiri di atas keyakinan bahwa seluruh pemerintah islam sejak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  hingga saat ini -terkecuali tahun-tahun kepemimpinan Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu- merupakan pemerintahan yang tidak syar’i (tidak sah), dan tidak boleh bagi seseorang yang berpaham Syi’ah untuk memiliki rasa loyal dan ikhlas dalam hatinya kepada mereka. Mereka berkewajiban untuk selalu memusuhi mereka dan mewaspadai mereka! Hal ini karena mereka beranggapan bahwa kekuasaan pemerintahan tersebut, yang telah lalu, dan yang ada sekarang serta yang akan datang merupakan kekuasaan hasil rampasan. Penguasa yang sah dalam paham Syi’ah dan ideologi mereka hanya ada pada para imam dua belas semata, baik mereka langsung yang menjalankan kepemimpinan atau tidak. Adapun selain mereka yang memegang kepemimpinan, semenjak Abu Bakar, dan Umar hingga para kholifah setelahnya hingga saat ini, apapun jasanya untuk agama Islam, dan apapun perjuangannya dalam menebarkan agama Islam dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi, dan memperluas negeri Islam, maka sebenarnya mereka itu adalah para penentang dan perampas kekuasaan hingga hari Kiamat!

******
Celaan Syi’ah Kepada Sahabat Nabi

Al Jibtu & At Thoghut: Abu Bakar & Umar
Oleh karena itulah kaum Syi’ah senantiasa mengutuk sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu ‘anhum dan setiap orang yang menjadi penguasa dalam sejarah Islam selain sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu. Sungguh mereka telah berdusta atas nama Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa, bahwa beliau telah membenarkan para pengikutnya menjuluki Abu Bakar dan Umar dengan sebutan “Al Jibtu & At Thoghut.” (Al Jibtu dan At Thoghut ialah segala sesuatu yang disembah atau menjadikan manusia menyeleweng dari agama Allah. -pent).
Disebutkan dalam kitab Al Jarhu wa At Ta’dil (Al Jarhu wa At Ta’dil ialah salah satu disiplin ilmu hadits yang membahas tentang kredibilitas dan biografi para perawi hadits dan tarikh. -pent) terbesar dan terlengkap yang mereka miliki, yaitu buku “Tanqih Al Maqal Fi Ahwal Ar Rijaal” karya pemimpin sekte Ja’fariyyah Ayatullah Al Mamaqani, pada juz 1 hal: 207, edisi Pustaka Al Murtadhowiyyah, Najef tahun 1352 H ada suatu kisah yang dinukilkan oleh Syaikh besar Muhammad Idris Al Hilli pada akhir kitab “As Sara’ir” dari kitab “Masa’il Ar Rijal Wa Mukatabaatihim” kepada Maulana Abil Hasan Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa ‘alaihissalaam dari sebagian pertanyaan Muhammad bin Ali bin ‘Isa, ia berkata: Aku menulis surat kepadanya menanyakan perihal seseorang yang memusuhi keluarga Nabi, apakah ketika mengujinya diperlukan kepada hal-hal lain selain sikapnya yang lebih mendahulukan Al Jibtu & At Thoghut? Maksudnya ia mendahulukan dua orang pemimpin dan sekaligus dua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dan dua pembantu kepercayaan beliau, yaitu Abu Bakar dan Umar radhaiallahu ‘anhuma. Kemudian jawabannya datang sebagai berikut: “Barang siapa yang meyakini hal ini, maka ia adalah seorang yang memusuhi keluarga Nabi.” Maksudnya: cukup bagi seseorang untuk disebut sebagai orang yang memusuhi keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam , bila ia mendahulukan Abu Bakar dan Umar (dibanding sahabat Ali bin Abi Tholib) dan meyakini keabsahan kepemimpinan mereka berdua.
Kata-kata “Al Jibtu” dan “At Thoghut” senantiasa digunakan oleh kaum Syi’ah dalam bacaan doa mereka yang disebut dengan “Doa Dua Berhala Quraisy”. Yang mereka maksudkan dari dua berhala dan dari kata “Al Jibtu” dan “At Thoghut” ialah Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma. Doa ini disebutkan dalam kitab mereka yang berjudul “Mafatihul Jinaan” hal: 114, kedudukan kitab ini bagaikan kitab “Dalaa’ilul Khairaat” yang telah menyebar luas di tengah-tengah berbagai negeri Islam. Bunyi doa ini sebagai berikut:
“Ya Allah, limpahkanlah sholawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan kutuklah dua berhala, dua sesembahan, dua tukang sihir Quraisy dan kedua anak wanita mereka berdua……”!![6] Yang mereka maksud dengan kedua anak wanita mereka ialah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Ummul Mukminin Hafshah semoga Allah meridhai mereka dan seluruh sahabat.

Hari Pembunuhan Al Faruq Sebagai Hari ‘Ied Terbesar
Kebencian mereka kepada tokoh yang berhasil memadamkan api kaum majusi di Iran dan yang berhasil mengislamkan nenek moyang penduduknya, yaitu Sayyidina Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu tiada batas, sampai-sampai mereka menamakan pembunuhnya, yaitu Abu Lulu’ah Al Majusi -semoga kutukan Allah menimpanya- dengan sebutan: “Baba Syuja’uddin” (Ayah Sang Pemberani). Ali bin Muzhohir -salah seorang tokoh mereka- meriwayatkan dari Ahmad bin Ishaq Al Kummi Al Ahwash, Syaikh kaum Syi’ah dan pemuka mereka, bahwa hari pembunuhan Umar bin Al Khatthab adalah hari ‘ied terbesar, hari kebesaran, hari pengagungan, hari kesucian terbesar, hari keberkahan, dan hari hiburan.
Dimulai dari sahabat Abu Bakar, Umar -semoga Allah meridhoi keduanya- Sholahuddin Al Ayyuby rahimahullah dan seluruh tokoh yang telah berhasil menundukkan berbagai dinasti dunia, dan memasukkannya ke pangkuan agama Allah, dan yang telah memerintahnya dengan nama Islam hingga hari kita ini -seluruh mereka itu menurut ideologi Syi’ah- para penguasa perampas, lalim dan termasuk penghuni neraka; karena kepemimpinan mereka tidak sesuai dengan syariat, sehingga mereka tidak berhak menerima loyal, kepatuhan, dan dukungan dalam kebaikan dari kaum Syi’ah, kecuali sebatas tuntutan penerapan ideologi At Taqiyyah dan sebatas upaya menarik simpati mereka dan menyembunyikan kebencian kepada mereka.



Keyakinan Nyeleneh Syi’ah Tentang Imam Mahdi
Di antara prinsip dasar dalam ideologi mereka ialah: Bila suatu saat nanti Imam Mahdi telah bangkit, yaitu Imam mereka yang ke dua belas, yang menurut mereka saat ini sudah hidup dan sedang menanti saat kebangkitannya/revolusinya agar mereka ikut andil bersamanya menjalankan revolusi tersebut. Bila mereka menyebutkannya dalam buku-buku mereka, mereka senantiasa menuliskan di sebelah nama, atau julukan atau panggilannya dua huruf (عج) kependekan dari:
عجَّل الله فرجه
“Semoga Allah menyegerakan kebangkitannya.”
(Tatkala Imam Mahdi ini telah bangkit dari tidurnya yang amat panjang yang telah melebihi seribu seratus tahun) Allah akan menghidupkan kembali seluruh penguasa umat Islam yang telah lalu bersama-sama para penguasa yang ada pada masa kebangkitannya terutama yang mereka sebut dengan Al Jibtu & At Thoghut; Abu Bakar dan Umar dan para pemimpin setelah keduanya!! Kemudian Imam Mahdi ini akan menghukumi mereka atas perbuatan mereka merampas kekuasaan dari dirinya dan dari kesebelas nenek moyangnya. Karena -menurut mereka- kekuasaan itu sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah hak mereka semata sebagai karunia Allah kepada mereka, dan tidak ada hak sedikit pun bagi selain mereka.
Dan setelah mengadili para thoghut tersebut, ia membalas mereka semua, sehingga ia memerintahkan untuk membunuh dan memusnahkan setiap lima ratus orang secara bersama-sama, hingga akhirnya ia genap membunuh sebanyak 3000 penguasa Islam sepanjang sejarah. Hukuman ini terjadi di dunia sebelum kebangkitan terakhir mereka, kelak di hari kiamat. Kemudian setelah mereka semua mati serta binasa, terjadilah kebangkitan terbesar, kemudian manusia masuk surga atau neraka. Surga bagi keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dan setiap orang yang berkeyakinan demikian ini tentang mereka dan neraka bagi setiap orang yang tidak termasuk kelompok Syi’ah.
Kaum Syi’ah menamakan penghidupan kembali, pengadilan dan pembalasan ini dengan sebutan “Ar Raj’ah”, dan hal ini merupakan bagian dari ideologi kaum Syi’ah yang tidak seorang Syi’ah pun yang meragukannya. Saya melihat sebagian orang yang berhati baik beranggapan bahwa ideologi semacam ini telah ditinggalkan oleh kaum Syi’ah akhir-akhir ini. Sudah barang tentu anggapan ini adalah salah besar dan menyelisihi realita, karena kaum Syi’ah sejak dinasti As Shafawiyyah hingga sekarang lebih ekstrem dalam meyakini ideologi-ideologi ini dibanding generasi sebelumnya. Mereka saat ini terbagi menjadi dua kelompok: orang-orang yang meyakini ideologi-ideologi tersebut dengan utuh dan orang-orang yang berpendidikan modern sehingga mereka menyeleweng dari berbagai khurofat ini kepada paham komunis. Penganut paham komunis di Irak dan Partai Tawaddah (Partai Kasih Sayang) di Iran, anggotanya ialah kaum Syi’ah yang telah menyadari kesalahan berbagai dongeng palsu mereka, sehingga mereka menganut paham komunis setelah sebelumnya menganut ajaran Syi’ah!!! Di masyarakat mereka tidak ada kelompok atau partai yang moderat, kecuali orang-orang yang menerapkan ajaran taqiyyah guna mencapai tujuan kelompok atau diplomasi atau partai atau pribadi, padahal ia menyembunyikan selain dari yang ia nampakkan.

******
Ideologi Ar Raj’ah dan Pembantaian 3000 Kaum Quraisy

Agar Anda memahami tentang ideologi Ar Raj’ah langsung dari buku mereka yang tepercaya, saya akan sebutkan untuk Anda ucapan Syaikh sekte Syi’ah Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin An Nu’man, yang lebih dikenal di kalangan mereka dengan sebutan “Syaikh Al Mufid” dalam bukunya yang berjudul: “Al Irsyad Fi Tarikh Hujajillah ‘Alal ‘Ibaad”. Buku ini dicetak di Iran dengan cetakan kuno, tidak disebutkan tahun terbitnya, dan dicetak dengan tulisan tangan Muhammad bin Ali Muhammad Hasan (Demikian disebutkan dalam buku aslinya, mungkin benarnya ialah: Muhammad Ali bin Muhammad Hasan) Al Kalbabakati:
Al Fadhl bin Syazan meriwayatkan dari Muhammad bin Ali Al Kufi dari Wahb bin Hafsh dari Abu Bashir, ia menuturkan: Abu Ja’far (yaitu Ja’far As Shodiq) berkata: Akan diseru dengan nama Al Qaim (maksudnya: Imam mereka ke-12 yang mereka yakini telah lahir lebih dari sebelas abad silam, dan ia belum mati, karena ia akan bangkit dan mengadili), akan diseru dengan namanya pada malam 23 dan ia akan bangkit pada hari ‘Asyura (tgl 10 Muharram), dan seakan-akan sekarang ini aku dapat melihat ia pada hari kesepuluh bulan Muharram sedang berdiri antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim, Malaikat Jibril berada di sebelah kanannya sambil menyeru: Berbaiatlah untuk Allah. Maka kaum Syi’ah berbondong-bondong dari segala penjuru dunia yang telah dipendekkan untuk mereka hingga akhirnya mereka semua dapat membai’atnya. Disebutkan dalam sebagian riwayat bahwa ia akan berjalan dari Mekkah hingga tiba di Kuffah dan ia singgah di kota Nejef kita ini, kemudian ia dari kota tersebut mengutus pasukannya ke berbagai penjuru dunia.
Al Hajjal juga meriwayatkan dari Tsa’labah dari Abu Bakar Al Hadhrami dari Abu Ja’far ‘alaihi salam (yaitu Muhammad Al Baqir) ia berkata: Seakan-akan aku menyaksikan Al Qa’im ‘alaihi salam sedang berada di Najef kota Kuffah, ia datang dari kota Mekkah dengan diiringi oleh 5000 malaikat, Malaikat Jibril di sebelah kanannya, Malaikat Mikail di sebelah kirinya, sedangkan kaum mukminin di depannya, dan beliau mengutus pasukannya ke berbagai negeri.
Abdul Karim Al Ju’fi juga menuturkan, aku pernah berkata kepada Abu Abdillah (yaitu Ja’far As Shodiq) berapa lama Al Qaim ‘alaihi salam akan menguasai dunia? Beliau menjawab: Tujuh tahun, hari-harinya akan menjadi panjang, sampai-sampai satu tahun kepemimpinannya sama halnya dengan sepuluh tahun biasa, sehingga lama kepemimpinanya sama dengan tujuh puluh tahun yang biasa kalian alami. Abu Bashir bertanya kepadanya: Semoga aku menjadi tebusanmu, bagaimana cara Allah memanjangkan tahun? Ia menjawab: Allah memerintahkan al falak agar berhenti dan tidak banyak bergerak, dengan cara inilah hari dan tahun menjadi panjang. Bila masa kebangkitannya telah tiba, umat manusia selama bulan Jumadil Akhir dan sepuluh hari dari bulan Rajab akan ditimpa hujan lebat yang tidak pernah dialami oleh manusia, kemudian Allah menumbuhkan kembali daging dan badan kaum mukminin dalam kuburan mereka, seakan-akan sekarang ini, aku sedang menyaksikan mereka membersihkan tanah dari rambut-rambut mereka.
Abdullah bin Al Mughirah juga meriwayatkan dari Abu Abdillah (yaitu Ja’far As Shodiq) ‘alaihissalaam ia menuturkan: Bila Al Qaim dari keturunan (nabi) Muhammad telah bangkit, ia akan membangkitkan 500 orang dari orang-orang Quraisy, kemudian ia akan memenggal leher mereka, kemudian ia akan membangkitkan 500 lainnya, kemudian memenggal leher mereka juga, kemudian membangkitkan 500 lainnya, hingga ia melakukan hal itu sebanyak 6 kali. Aku pun bertanya: apakah jumlah mereka mencapai sebanyak ini? (Ia merasa keheranan akan hal itu, karena Khulafa’ Ar Rasyidin, Dinasti Umawiyyah, Abbasiyah dan seluruh penguasa umat Islam hingga zaman Ja’far As Shadiq tidak sampai sebanyak itu, juga tidak sampai satu persennya) Ja’far As Shodiq menjawab: Ya, dari mereka dan juga dari pengikutnya. Dan pada riwayat lain: Sesungguhnya kekuasaan kita adalah kekuasaan terakhir, tidaklah ada satu marga pun dari mereka melainkan pernah menjadi penguasa, agar mereka tidak berkata bila telah menyaksikan perilaku kita: Bila kami berkuasa niscaya kami akan berlaku seperti perilaku mereka.

******


Bersama Datangnya Al Mahdi, Mushaf Yang Asli Akan Kembali

Jabir Al Ju’fi meriwayatkan dari Abu Abdillah, ia berkata: Bila telah bangkit Al Qaim (sang penegak) dari keluarga Muhammad, ia akan mendirikan pertendaan guna mengajarkan Al Quran yang asli sebagaimana kala diturunkan[7] sehingga Mushaf tersebut akan terasa sulit bagi orang yang telah menghafal Al Quran (yaitu menghafal Al Qur’an yang telah disatukan oleh Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, sebagaimana yang ada pada zaman Ja’far As Shodiq), karena mushaf tersebut berbeda susunannya.
Abdullah bin Ajlan meriwayatkan dari Abu Abdillah ‘alaihi salam, ia berkata: Bila Al Qaim (sang penegak) dari keluarga Muhammad telah bangkit, ia akan menghakimi manusia dengan hukum nabi Daud?!
Dan Al Mufaddhol bin Umar meriwayatkan dari Abu Abdillah, ia berkata: Akan keluar bersama Al Qaim (sang penegak) ‘alaihi salam dari luar kota Kufah 27 laki-laki dari kaumnya Nabi Musa?! Dan tujuh orang dari Ahlul Kahfi, nabi Yusya’ bin Nun, nabi Sulaiman, Abu Dujanah Al Anshary, Al Miqdad, dan Malik Al Asytar, dan mereka akan berada di hadapannya sebagai para pembela dan para hakim!!
Teks-teks ini dinukilkan secara utuh dan dengan penuh kehati-hatian dari kitab salah seorang ulama’ terbesar mereka, yaitu Syeikhul Mufid, dan yang diriwayatkan dengan rentetan sanadnya yang tidak diragukan lagi telah dipalsukan atas nama Ahlul Bait, sehingga para pendusta tersebut yang telah menjadi pengikut mereka merupakan musibah terbesar yang menimpa ahlul Bait. Dan buku Syeikhul Mufid telah dicetak di Iran, dan salah satu edisi kunonya tersimpan dan ada bersama kami.

******


Keyakinan Nyeleneh Syi’ah Tentang Sahabat Abu Bakar dan Umar

Abu Bakar & Umar Disalib Di Sebatang Pohon
Disebabkan ideologi “Ar Raj’ah” dan pengadilan para penguasa kaum Muslimin merupakan bagian dari ideologi dasar kaum Syi’ah, tidak mengherankan bila ulama mereka, yaitu Sayyid Al Murtadha, penulis buku “Amaali Al Murtadha”, yang sekaligus saudara kandung As Syarif Ar Radhi sang penyair dan sekutunya dalam pemalsuan tambahan kitab “Nahjul Balaghah”, yang mungkin saja mencapai sepertiga kitab aslinya, yaitu setiap bagian yang mengandung celaan dan kritikan kepada para sahabat. Sayyid Al Murtadha ini berkata dalam bukunya “Al Masail An Nushairiyyah” bahwasanya Abu Bakar dan Umar akan disalib di sebatang pohon pada hari tersebut, yaitu pada masa Al Mahdi (Yaitu imam mereka kedua belas, yang mereka sebut sebagai Al Qaim/penegak dari keluarga Muhammad), dan pohon tersebut sebelum penyaliban dalam keadaan hijau nan segar, dan akan menjadi kering seusai penyaliban!!?
Sepanjang masa, seluruh tokoh dan ulama sekte Syi’ah bersikap hina semacam ini terhadap kedua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  sekaligus dua orang kepercayaan beliau Abu Bakar dan Umar -semoga Allah senantiasa meridhoi keduanya, menerangi kuburnya, dan menyejukkan tempat persemayamannya- dan dari seluruh tokoh, para khalifah, penguasa, pemimpin, pejuang dan penjaga agama Islam, semoga Allah senantiasa meridhai mereka, dan melimpahkan balasan yang terbaik kepada mereka atas jasanya kepada agama Islam dan umatnya.
Dan saya pernah mendengar langsung dari da’i mereka -yang kala itu menjadi pengurus “Lembaga Pendekatan” dan sebagai donaturnya- mengaku kepada sebagian orang yang tidak berkesempatan untuk mengkaji permasalahan ini bahwa berbagai ideologi ini hanya ada pada masa silam, sedangkan sekarang ini semuanya telah berubah. Pengakuan ini nyata-nyata dusta dan merupakan penipuan, karena buku-buku yang diajarkan di berbagai lembaga pendidikan mereka mengajarkan ini semua, dan menganggapnya sebagai prinsip-prinsip sekte dan pokok-pokok utama ajarannya. Buku-buku yang dipublikasikan oleh ulama’ Najef, Iran, dan Jabal Amil pada zaman ini lebih jelek dibanding buku-buku mereka pada zaman dahulu, dan lebih keras dalam meruntuhkan berbagai upaya pendekatan dan toleransi.

******
Da’i Pendekatan “Al Khalisi” Mengingkari Keikutsertaan Abu Bakar & Umar Dalam Bai’at Ridwan

Sekedar contoh nyata akan hal di atas (kedustaan pernyataan mereka bahwa berbagai ideologi ini hanya ada pada masa silam, sedangkan sekarang ini semuanya telah berubah –ed muslim), kita sebutkan salah seorang dari mereka yang senantiasa mendengungkan di setiap pagi dan petang bahwa ia adalah salah satu pemrakarsa persatuan dan pendekatan, yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad Mahdi Al Khalisi, tokoh yang memiliki banyak kolega di Mesir dan lainnya dari para penyeru “pendekatan” dan para tokoh yang siang dan malam berupaya untuk menyosialisasikannya di antara Ahlusunnah.
Tokoh penyeru terhadap persatuan dan solidaritas ini -semoga ia mendapatkan balasan setimpal dari Allah- menafikan nikmat iman sekalipun dari Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma!! Ia berkata pada bukunya “Ihya’us Syari’ah Fi Mazhabis Syi’ah” jilid 1 hal: 63-64: “Dan bila mereka berkata: Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar termasuk orang-orang yang ikut andil dalam “Bai’atur Ridhwan” yang telah ditegaskan akan keridhaan Allah atas mereka dalam Al Quran:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh Allah telah ridha terhadap kaum mukminin yang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon.” (QS. Al Fath: 18)
Maka kami jawab: Seandainya Allah berfirman:
لقد رضي الله عن الذين يبايعونك تحت الشجرة أو عن الذين بايعوك
“Sungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang yang sedang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon” atau “telah membai’atmu” maka pada ayat ini terdapat petunjuk akan keridhaan Allah kepada setiap yang membai’at, akan tetapi karena Allah berfirman:
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh Allah telah ridha terhadap kaum mukminin yang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon,” maka tidak ada petunjuk pada ayat ini kecuali keridhaan terhadap orang-orang yang telah memurnikan keimanannya”!?
Makna dari ucapannya ini: bahwasanya Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma belum memurnikan keimanannya?! Sehingga tidak dicakup oleh keridhaan Allah?! Subhanallah¸ tentu ini adalah kedustaan yang amat besar, semoga Allah senantiasa meridhai keduanya, dan melimpahkan kepadanya kerahmatan dan keridhaan yang melimpah ruah, amiin.
Dan telah berlalu sebelumnya perkataan An Najafi (tokoh dari kota Najef -pent) -semoga kecelakaan senantiasa menimpa kedua tangannya- penulis buku (Az Zahra’) bahwa sayyidina Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa penyakit yang tidak dapat diobati melainkan dengan air mani kaum lelaki?! (Dan kita katakan kepada orang ini, dalam pepatah dikatakan: “ia menuduhku dengan penyakitnya sendiri, lalu ia lari bersembunyi”).
Inilah dua pemuka agama sekte Syi’ah yang hidup semasa dengan kami, dan termasuk orang-orang yang senantiasa mengaku-ngaku memiliki loyalitas tinggi terhadap agama Islam dan kaum Muslimin, dan andil besar dalam segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi keduanya. Bila semacam ini ucapan dua orang pemuka agama sekte Syi’ah dalam tulisan-tulisannya yang telah diterbitkan dan yang menjelaskan tentang ideologi keduanya tentang orang terbaik dari kaum muslimin setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, atau minimal termasuk orang yang terbaik dalam sejarah Islam, maka apakah yang akan kita harapkan dari upaya toleransi dan ikut andil dalam upaya pendekatan antar berbagai mazhab. Dan apakah mereka semua itu adalah murni barisan ke lima dalam tatanan masyarakat muslim?
Di saat mereka menghinakan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , para pengikut mereka (Tabi’in) dan seluruh pemimpin kaum muslimin sepeninggal mereka serendah ini, padahal merekalah yang telah membangun kekuasaan Islam dan mewujudkan dunia Islam ini. Pada saat yang bersamaan, mereka -sekte Syi’ah- berkeyakinan tentang imam-imam mereka berbagai keyakinan yang para imam tersebut pasti berlepas diri dari hal-hal tersebut. Al Kulaini telah menuliskan dalam bukunya “Al Kafi” -buku ini bagi mereka bagaikan kitab “Shahih Bukhori” bagi kaum muslimin- berbagai karakteristik dan sifat kedua belas imam mereka. Karakteristik dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat mereka dari manusia biasa hingga tingkatan tuhan-tuhan bangsa Yunani kuno. Seandainya kita hendak menukilkan hal-hal semacam ini dari buku “Al Kafi” dan buku-buku terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid buku besar. Oleh karenanya, kami akan cukupkan dengan menukilkan beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari buku “Al Kafi”, di antaranya judul bab-bab tersebut ialah:
1.     Bab: Bahwasanya Para Imam Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul (Al Kafi jilid 1/255, kitab Al Hujjah).
2.     Bab: Bahwasanya Para Imam Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwasanya Mereka Tidaklah Meninggal Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri. (Al Kafi jilid 1/258 kitab Al Hujjah).
3.     Bab: Bahwasanya Para Imam Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan Sesungguhnya Tidak Ada Yang Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu Apapun. (Al Kafi jilid 1/260, kitab Al Hujjah).
4.     Bab: Bahwasanya Para Imam Memiliki Seluruh Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala Perbedaan Bahasanya. (Al Kafi jilid 1/227, kitab Al Hujjah).
5.     Bab: Bahwasanya Tidaklah Ada Orang Yang Pernah Menyatukan Al Quran Secara Utuh Selain Para Imam, Dan Bahwasanya Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung Dalamnya. (Al Kafi jilid 1/228, kitab Al Hujjah).
6.     Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh Para Imam Dari Mukjizat Para Nabi. (Al Kafi jilid 1/231, kitab Al Hujjah).
7.     Bab: Bahwasanya Para Imam Bila Telah Berhasil Berkuasa, Mereka Akan Berhukum Dengan Hukum Nabi Daud (?!) Dan Keluarga Daud [8] (?!)Dan Mereka Tidak Akan Pernah Meminta Persaksian/Bukti. (Al Kafi, 1/397, kitab Al Hujjah).
8.     Bab: Bahwasanya Tidaklah Ada Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh Para Imam, Dan Bahwasanya Segala Sesuatu Yang Tidak Diajarkan Oleh Mereka, Maka Itu Adalah Bathil. (Al Kafi 1/399, kitab Al Hujjah).
9.     Bab: Bahwasanya Bumi Seluruhnya Adalah Milik Para Imam. (Al Kafi 1/407, kitab Al Hujjah).
Di saat mereka meyakini tentang 12 imam mereka hal-hal yang tidak pernah diakui oleh para imam tersebut, berupa pengetahuan tentang yang gaib, dan bahwasanya kedudukan mereka di atas kedudukan manusia biasa (Bahkan mereka meriwayatkan dari sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata, “Akulah yang telah menjadi tinggi kemudian menundukkan, dan akulah yang menghidupkan dan mematikan, akulah yang pertama dan terakhir, akulah yang nampak dan tersembunyi.” Sebagaimana disebutkan dalam buku “Al Ikhtishash” karya Syeikhul Mufid, sudah barang tentu berbagai sifat ini tidaklah dimiliki oleh selain Allah subhanahu wa Ta’ala. Dan juga seperti ucapan mereka, “Sesungguhnya para imam kami memiliki kedudukan yang tidak dapat dicapai oleh para malaikat yang didekatkan, tidak juga nabi yang telah diutus.”
Al Khumaini dalam bukunya: “Al Hukumah Al Islamiyyah” hal 52). Pada saat yang bersamaan sekte Syi’ah mengingkari segala hal yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dari hal-hal gaib, misalnya perihal penciptaan langit dan bumi, berbagai hal tentang surga dan neraka. Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam majalah “Risalatul Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga Pendekatan” yang berpusatkan di Kairo. Majalah ini memuat pada edisi ke-4, tahun ke-4, hal: 368, buah karya Kepala Mahkamah Syari’at Syi’ah Tertinggi di Lebanon, -seorang figur yang mereka anggap sebagai ulama’ mereka paling memikat tutur katanya- dengan tema: “Sebagian Dari Ijtihad-ijtihad Syi’ah Imamiyyah”. Pada makalah ini, ia menukilkan dari tokoh ahli ijtihad mereka yang bernama Syaikh Muhammad Hasan Al Asytiyani, bahwasanya ia berkata dalam bukunya: “Bahrul Fawaid” jilid 1, hal: 267: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  bila mengabarkan tentang hukum-hukum syariat, maksudnya: seperti hal-hal yang membatalkan wudhu, berbagai hukum haidh dan nifas, maka wajib untuk dipercayai dan diamalkan apa yang ia kabarkan. Dan bila ia mengabarkan tentang hal-hal gaib, misalnya tentang penciptaan langit dan bumi, bidadari dan istana di surga, maka tidak wajib untuk diimani, walaupun setelah kita tahu akan keabsahan hadits tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , terlebih-lebih bila keabsahannya masih diragukan!?
Ya Allah, amat mengherankan! Mereka berdusta dengan menisbatkan kepada para imam, bahwa mereka dapat mengetahui hal yang gaib, dan mereka beriman dengannya, padahal penisbatan hal tersebut kepada para imam tidak dapat dipastikan keabsahannya, di saat yang sama mereka menghalalkan diri untuk mengingkari berbagai berita tentang hal gaib yang telah terbukti keabsahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , serta maknanya amat jelas nan tegas, misalnya ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang penciptaan langit dan bumi, berbagai perihal tentang surga dan neraka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  pada setiap hadits yang terbukti shahih tersebut tidaklah berkata-kata atas dasar hawa nafsunya, hadits itu tiada lain kecuali wahyu yang telah diwahyukan kepadanya.
Setiap orang yang membandingkan antara berbagai hal yang dinisbatkan kepada para imam mereka dengan hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  yang mengabarkan tentang hal gaib, niscaya akan terbukti baginya bahwa hal-hal gaib yang terbukti benar periwayatannya dari Rasulullah, baik dalam Al Quran atau hadits mutawatir nan shahih tidaklah mencapai sebagian kecil dari hal-hal yang didakwakan oleh sekte Syi’ah tentang kedua belas imam mereka, berupa ilmu gaib setelah terputusnya wahyu Allah dari penduduk bumi. Dan seluruh perawi hal-hal gaib dari kedua belas imam tersebut telah dikenal di kalangan ulama’ ahli Al jarh wa ta’dil (salah satu disiplin ilmu hadits yang membicarakan tentang kredibilitas para periwayat hadits) dari kalangan Ahlusunnah sebagai para pendusta, akan tetapi para pengikut mereka dari kalangan sekte Syi’ah tidak menggubris akan kenyataan itu, dan tetap mempercayai segala riwayat mereka tentang hal-hal gaib yang dimiliki oleh para imam.
Pada saat yang bersamaan pula majalah “Risalatul Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga Pendekatan” memuat tulisan hakim Mahkamah Syari’at Tertinggi di Lebanon, sekaligus mujtahid mereka, yaitu Muhammad Hasan Al Asytiyani, yang mempropagandakan dan menyerukan anggapan tidak wajibnya mempercayai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dalam hal-hal gaib yang telah sah diriwayatkan darinya. Mereka hendak membatasi tugas kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dalam hal-hal yang membatalkan wudhu, hukum haid dan nifas serta berbagai perincian ilmu fikih yang serupa dengannya. Akan tetapi mereka mengangkat martabat imam-imam mereka dalam hal gaib melebihi martabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , padahal beliaulah yang mendapatkan wahyu, sedangkan para imam mereka tidak pernah mengaku mendapatkan wahyu. Dengan demikian, kami tidak tahu, pendekatan macam apakah yang mungkin dicapai antara kita dengan mereka setelah kita mengetahui fakta ini?!
Di antara hal yang dapat kita cermati pada setiap fase sejarah sekte Syi’ah dan sikap tokoh dan masyarakat umum mereka terhadap pemerintahan Islam, bahwa pemerintahan Islam apa saja, bila dalam keadaan kuat dan kokoh, mereka senantiasa menjilat kepada mereka sebagai penerapan ideologi Taqiyyah guna mengeruk kekayaannya, serta meraih berbagai jabatan. Kemudian bila pemerintah tersebut telah melemah atau diserang oleh musuh, segera mereka berpihak kepada barisan musuh dan melawan pemerintah islam. Demikianlah yang mereka lakukan pada akhir masa dinasti Umawiyyah, tatkala Bani Abbasiyyah mengadakan pemberontakan. Bahkan revolusi Bani Abbasiyyah terjadi berkat bujuk rayu sekte Syi’ah.
Kemudian mereka juga bersikap keji semacam ini dengan Dinasti Bani Abbasiyyah, tatkala mereka terancam oleh serangan Holako Khan dan Bangsa Mongolia para penyembah berhala terhadap Khilafah Islam, ibu kota kejayaan, pusat kemajuan serta ilmu pengetahuannya.

******
An Nushair At Thushi dan Ibnu Al Alqami Bersama Pasukan Holako Khan dan Bangsa Mongol Para Penyembah Berhala
Setelah ahli filosof sekaligus ulama Syi’ah yang bernama An Nushair At Thusi merangkaikan bait’-bait sya’ir guna menjilat kepada Khalifah Abbasiyah Al Mu’tashim, tidak berapa lama ia berbalik, pada tahun 655 H ia bersekongkol melawan sang khalifah dan menyegerakan runtuhnya kekuasaan umat Islam di kota Baghdad, dan ia berada di barisan terdepan dari iring-iringan pasukan pembunuh berdarah dingin Holako Khan!! Ia ikut serta menyaksikan pemenggalan leher-leher kaum muslimin dan muslimat, baik muda ataupun tua!! Ia juga rela dengan penenggelaman karya-karya ilmiah umat Islam di sungai Dijlah (Tigris), hingga air sungai mengalir berwarna hitam dalam beberapa siang dan malam akibat terkena tinta kitab-kitab manuskrip. Dengannya sirnalah berbagai peninggalan sejarah Islam, yang mencakup sejarah, adab, bahasa, syair, dan filsafat, terlebih-lebih ilmu-ilmu syariat dan karya-karya tulis para imam terdahulu para generasi terkemuka, yang hingga kala itu masih banyak di temukan, dan akhirnya ikut hancur bersama kehancuran peninggalan lainnya pada petaka ilmu pengetahuan yang tidak pernah terjadi sebelumnya[9].
Dan ikut serta pula bersama Syaikh sekte Syi’ah Nushair At Thusi dalam pengkhianatan besar ini dua orang sahabatnya: pertama, perdana menteri Syi’ah yang bernama Muhammad bin Ahmad Al ‘Alqami, dan kedua, penulis buku yang beraliran mu’tazilah yang lebih ekstrem dalam berpegang dengan paham Syi’ah, yang bernama Abdul Hamid bin Abi Al Hadid, ia adalah orang kepercayaan Ibnu Al ‘Alqami. Orang kedua ini sepanjang hidupnya memusuhi sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , oleh karenanya ia memenuhi buku karyanya yang merupakan syarah (penjabaran) dari buku “Nahjul Balaghah” dengan berbagai kedustaan yang telah mencoreng muka sejarah Islam. Dan hingga saat ini masih jua ada sebagian orang-orang yang tidak memahami hakikat masa lampau agama Islam dan berbagai sekte sempalan yang melekat kepadanya, sampai pun sebagian kaum cendekiawan dan terpelajar. (Al ‘Allaamah Abdullah bin Al Husain As Suwaidi telah menuliskan bantahan terhadap Ibnu Abi Al Hadid ini, dimana beliau menuliskan sebuah buku dengan judul: As Sharim Al Hadid Fi Ar Rad ‘Ala Ibni Abi Al Hadid ( الصارم الحديد في الرد على ابن أبي الحديد ) sebanyak 1000 halaman, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Zahid Al Kautsari dalam sebagian makalahnya).
Sesungguhnya Ibnu Al ‘Alqami yang telah membalas kelembutan Khalifah Al Musta’shim dan, kedermawanan beliau sehingga ia dipilih menjadi perdana menterinya, dengan pengkhianatan. Ia telah dikuasai oleh tabi’at aslinya yaitu pengkhianat dan jiwa yang hina sehingga ia sampai hati membalas buruk budi baik orang lain. Hingga saat ini sekte Syi’ah tak kunjung henti menampakkan rasa gembira dan merasa girang dengan permusuhan yang berhasil mereka lancarkan terhadap umat Islam pada petaka Holako Kan yang telah menimpanya. Dan barang siapa yang hendak mengetahui hal ini, silakan membaca biografi An Nushair At Thusi yang mereka tulis dalam setiap buku-buku biografi karya mereka. Buku biografi terbaru yang mereka tulis ialah buku “Raudhaat Al Jannaat” karya Al Khunisaari. Buku ini dipenuhi dengan pujian kepada para penumpah darah dan para pengkhianat dan ungkapan kegembiraan atas apa yang menimpa umat Islam kala itu, pelampiasan dendam terhadap para korban petaka itu, baik para tokoh atau masyarakat awam. Juga dipenuhi dengan ungkapan kegembiraan dengan pembantaian yang menimpa kaum muslimin dan muslimat, sampai-sampai anak kecil dan orang-orang tua renta. Suatu sikap yang musuh paling berbahaya dan binatang paling buas pun akan merasa malu untuk menampakkan kegembiraannya atas petaka tersebut.
Sub pembahasan ini telah terlanjur panjang lebar diutarakan, padahal kami berusaha untuk meringkaskannya dengan menyebutkan beberapa nukilan singkat dari berbagai buku rujukan terpercaya sekte Syi’ah. Dan kami akan tutup sub pembahasan ini dengan menukilkan satu teks lain yang berkaitan dengan masalah pendekatan, agar setiap muslim mengetahui bahwa pendekatan dapat saja terlaksana dengan berbagai aliran dan mazhab lain, sedangkan hal itu mustahil untuk terwujud bersama sekte Syi’ah secara khusus. Hal ini merupakan pengakuan dari mereka sendiri, sebagaimana dalam teks nukilan berikut ini:
Al Khunisaari -ia adalah seorang pakar sejarah sekte Syi’ah- menukilkan dalam buku “Raudhaat Al Jannaat” hal: 579, edisi ke-2 Teheran tahun 1367 H, tatkala ia menyebutkan biografi An Nushair At Thusi dengan panjang lebar, ia menyebutkan bahwa di antara ucapannya yang benar-benar bagus dan yang muncul dari sumber kebenaran dan penelitian, ialah ucapannya ketika ia menentukan Al Firqah An Najiyyah (kelompok selamat dari neraka -pent) dari ketujuh puluh tiga golongan, adalah kelompok Al Imamiyyah, ia berkata:
“Sesungguhnya aku telah mengkaji seluruh mazhab, dan aku telah mengetahui seluruh prinsip dan perincian mereka, kemudian aku dapatkan bahwa selain kelompok Imamiyyah memiliki keserupaan tentang prinsip utama dalam keimanan, walaupun ada beberapa perbedaan yang tidak berpengaruh sedikit pun terhadap keimanan, baik mereka menetapkannya atau mengingkarinya. Kemudian aku mendapatkan bahwa kelompok Al Imamiyyah menyelisihi prinsip-prinsip seluruh kelompok. Kalaulah seandainya ada kelompok selain mereka yang dianggap sebagai kelompok selamat, niscaya seluruh kelompok tersebut adalah kelompok selamat (Al Firqoh An Najiyyah). Ini membuktikan bahwa satu-satunya kelompok selamat tiada lain adalah kelompok Al Imamiyyah.”


******


Bagi Syi’ah, Dua Kalimat Syahadat Tidak Cukup Sebagai Bekal Masuk Surga
Al Khunisari berkata Seusai menukilkan ungkapan di atas, sayyid Ni’matullah Al Musawi berkata
“Dan penjelasannya sebagai berikut: Seluruh kelompok bersepakat bahwa dua kalimat syahadat adalah sumber keselamatan (dari neraka -pent), dengan dasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
من قال لا إله إلا الله دخل الجنة
“Barang siapa yang bersaksi bahwa ‘tiada sesembahan yang layak untuk disembah selain Allah’ niscaya ia akan masuk surga.”
Adapun kelompok Imamiyyah, mereka sepakat bahwa keselamatan tidak akan terwujud selain dengan sikap loyal kepada Ahlul Bait hingga imam kedua belas, dan berlepas diri dari seluruh musuh-musuh mereka (maksudnya Abu Bakar, Umar hingga manusia terakhir yang beragama Islam selain dari sekte Syi’ah, baik penguasa atau rakyat biasa), sehingga kelompok ini menyelisihi seluruh kelompok lain dalam hal ideologi ini yang merupakan sumber keselamatan.”
Sungguh At Thusi, Al Musawi dan Al Khunisari telah benar!! Dan dalam waktu yang bersamaan telah berdusta!!
Mereka benar bahwa seluruh kelompok memiliki kedekatan dalam hal prinsip dan berselisih dalam hal sekunder, oleh karena itu amat dimungkinkan untuk terjadinya solidaritas dan pendekatan antara berbagai kelompok yang dasar ideologinya saling berdekatan. Sedangkan pendekatan ini mustahil untuk terjadi bersama sekte Syi’ah Al Imamiyyah, karena mereka menyelisihi seluruh umat Islam dalam hal prinsip, dan mereka tiada pernah rela dari umat Islam hingga mereka semua mengutuk (Al Jibtu & At Thoghut) Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma serta setiap muslim selain mereka hingga hari ini. Dan hingga mereka berlepas diri dari setiap orang selain Syi’ah sampai pun putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  yang dinikahkan dengan Dzu An Nurain Utsman bin Affan dan tokoh bani Umayyah sang pemberani nan mulia yaitu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ yang telah disanjung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dari atas mimbar Masjid An Nabawi As Syarif dan di hadapan khalayak umat Islam kala itu, yaitu tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu hendak menikahi putri Abu Jahl, dan menjadikannya sebagai madu bagi putri pamannya Fathimah radhiallahu ‘anha (Setiap wanita anak saudara ayah seseorang yang manapun disebut juga sebagai anak paman, oleh karena itu penulis menyebut bahwa Fatimah radhiallahu ‘anha adalah sepupu sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, karena ia adalah putri saudara sepupunya) kemudian Fatimah mengadukannya kepada ayahnya. Dan juga (Syi’ah tidak akan pernah rela -ed muslim) hingga umat islam berlepas diri dari Imam Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi Tholib, dan seluruh Ahlul Bait yang tidak sudi untuk tunduk di bawah bendera Rafidhoh (Syi’ah Imamiyyah) dalam setiap ideologi mereka yang berkelok-kelok, yang di antaranya ialah meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan.
Dan sungguh mereka telah meyakini ideologi ini sepanjang masa dan pada setiap generasi mereka, sebagaimana yang dinukilkan dan dicatatkan oleh cendekiawan cemerlang sekaligus tokoh pujaan mereka, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thobarsi dalam bukunya “Fashlul Khithaab Fi Itsbaat Tahrif Kitaab Rabbil Arbaab”. Seorang tokoh yang telah melakukan tindak kekejian dengan menuliskan setiap baris dari buku ini di sisi kuburan seorang sahabat mulia pemimpin kota Kufah Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, yang dianggap oleh sekte Syi’ah sebagai kuburan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu.
Sesungguhnya sekte Syi’ah mensyaratkan kepada kita agar terwujud toleransi dengan mereka dan agar mereka ridha dengan pendekatan kita kepada mereka: hendaknya kita ikut serta bersama mereka mengutuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , dan berlepas diri dari setiap orang selain anggota sekte mereka, sampai pun putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dan anak cucu beliau, dan sebagai baris terdepan dari mereka ialah Zaid bin Zainal ‘Abidin, dan setiap orang yang sejalan dengan beliau dalam mengingkari perilaku mungkar sekte Rafidhah (Syi’ah Imamiyyah). Inilah sisi jujur dari teks yang dinukil dari An Nushair At Thusi, dan yang disetujui oleh Sayyid Ni’matullah Al Musawi dan Mirza Muhammad Baqir Al Musawi Al Khunisari Al Ashbahani, dan tidak ada seorang syi’ah pun yang menyelisihinya, baik dari kalangan yang dengan tegas menampakkan ideologi taqiyyah atau yang menyembunyikannya.
Adapun sisi kedustaan mereka ialah pengakuan mereka bahwa sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat adalah sumber keselamatan di akhirat menurut umat Islam selain sekte Syi’ah. Seandainya mereka berakal atau memiliki pengetahuan, niscaya mereka mengetahui bahwa dua kalimat syahadat menurut Ahlusunnah adalah pertanda masuknya seseorang ke dalam Islam. Dan orang yang telah mengucapkannya -walaupun ia sebelumnya adalah kafir harbi (Kafir Harbi ialah orang kafir yang menampakkan permusuhan terhadap Islam dan umat Islam -pent)- berubah menjadi orang yang dilindungi darah dan harta bendanya di dunia. Adapun keselamatan di akhirat, maka keselamatan hanya tercapai dengan keimanan yang benar, dan bahwasanya keimanan itu -sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mukminin Umar bin Abdul ‘Aziz- memiliki berbagai kewajiban, syariat, batasan-batasan, dan sunnah-sunnah, barang siapa yang menjalankannya dengan sempurna, maka ia telah mencapai kesempurnaan iman, dan barang siapa yang tidak menjalankannya dengan sempurna, maka ia belum mencapai kesempurnaan iman. Dan mempercayai keberadaan imam mereka yang kedua belas tidak termasuk dari syariat iman, karena sebenarnya ia adalah figur rekaan yang dinisbatkan dengan dusta kepada Al Hasan Al ‘Askari yang wafat tanpa meninggalkan seorang anak pun, dan saudara kandungnya yang bernama Ja’far mewarisi seluruh harta warisannya, dengan dasar karena ia tidak meninggalkan seorang anakpun.
Marga Alawiyyin (Yang dimaksud dengan Alawiyyin ialah anak keturunan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu -pent) memiliki daftar keturunan yang kala itu dipegang oleh seorang perwakilan dari mereka, sehingga tidaklah dilahirkan seorang bayi pun dari mereka, melainkan akan dicatat padanya, dan padanya tidak pernah terdaftar seorang anak pun bagi Al Hasan Al ‘Askari. Dan marga Alawiyyin yang semasa dengan Al Hasan Al ‘Askari tidak pernah mengetahui bahwa ia meninggalkan seorang anak laki-laki. Hakikat yang sebenarnya telah terjadi adalah: tatkala Al Hasan Al ‘Askari wafat dalam keadaan mandul, dan silsilah keimaman para pemuja mereka yaitu sekte Imamiyyah terputus, mereka menghadapi kenyataan bahwa paham mereka akan mati bersama kematiannya, dan mereka tidak lagi menjadi sekte Imamiyyah, karena tidak lagi memiliki imam. Oleh karena itu, salah seorang setan mereka yang bernama Muhammad bin Nushair, salah seorang mantan budak Bani Numair mencetuskan gagasan bahwa Al Hasan Al ‘Askari memiliki anak laki-laki yang disembunyikan di salah satu terowongan ayahnya[10], agar ia dan para sekongkolnya dengan nama Imam tersebut dapat mengumpulkan zakat dari masyarakat dan hartawan sekte Syi’ah! Dan agar mereka -walau dengan berdusta- dapat meneruskan propaganda bahwa mereka adalah pengikut para Imam.
Muhammad bin Nushair ini menginginkan agar dialah yang menjadi “Al Bab (pintu penghubung)” terowongan fiktif tersebut, sebagai penyambung lidah antara imam fiktif dengan pengikutnya, dan bertugas memungut harta zakat. Akan tetapi kawan-kawannya para setan penggagas makar ini tidak menyetujui keinginannya tersebut, dan mereka tetap bersikukuh agar yang berperan sebagai “pintu/Al Bab” ialah seorang pedagang minyak zaitun atau minyak samin. Pedagang ini memiliki toko kelontong di depan pintu rumah Al Hasan dan ayahnya, sehingga mereka dapat mengambil darinya segala kebutuhan rumah tangga mereka. Tatkala terjadi perselisihan ini, pencetus ide ini (yaitu Muhammad bin Nushair -pent) memisahkan diri dari mereka, dan mendirikan sekte An Nushairiyah yang dinisbatkan kepadanya.
Dahulu kawan-kawan Muhammad bin Nushair memikirkan supaya mereka mendapatkan cara untuk memunculkan figur “Imam Ke-12″ yang mereka rekayasa, dan kemudian ia menikah dan memiliki anak keturunan yang memegang tampuk Imamah sehingga paham Imamiyah mereka dapat berkesinambungan. Akan tetapi terbukti bagi mereka bahwa munculnya figur tersebut akan memancing pendustaan dari perwakilan marga Alawiyyin dan seluruh marga ‘Alawiyyin serta saudara-saudara sepupu mereka para khalifah dinasti Abbasiyyah dan juga para pejabat mereka. Oleh karenanya mereka akhirnya memutuskan untuk menyatakan bahwa ia tetap berada di terowongan, dan bahwasanya ia memiliki persembunyian kecil dan persembunyian besar, hingga akhir dari dongeng unik yang tidak pernah didengar ada dongeng yang lebih unik daripadanya, sampai pun dalam dongeng bangsa Yunani.
Mereka menginginkan dari seluruh umat Islam yang telah dikaruniai Allah dengan nikmat akal sehat agar mempercayai dongeng palsu ini!! Agar pendekatan antara mereka dengan sekte Syi’ah dapat dicapai?! Mana mungkin terjadi, kecuali bila dunia Islam seluruhnya telah berpindah tempat ke (rumah sakit jiwa) guna menjalani pengobatan gangguan jiwa!! Dan Alhamdulillah atas kenikmatan akal sehat, karena akal sehat merupakan tempat ditujukannya tugas-tugas agama, dan akal sehat -setelah nikmat iman yang benar- merupakan kenikmatan terbesar dan termulia.
Sesungguhnya umat Islam berloyal kepada setiap orang mukmin yang benar imannya, termasuk di dalamnya orang-orang saleh dari Ahlul Bait tanpa dibatasi dalam jumlah tertentu. Kaum mukminin terdepan yang mereka loyali ialah sepuluh sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dengan surga. Seandainya sekte Syi’ah tidak melakukan perbuatan kufur selain sikap mereka yang menyelisihi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  bahwa kesepuluh sahabat tersebut adalah penghuni surga, niscaya ini cukup sebagai alasan untuk memvonis mereka kafir.
Sebagaimana umat Islam juga berloyal kepada seluruh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak dan terbentuk dunia Islam, kebenaran dan kebaikan tumbuh subur di bumi Islam dengan tumpahan darah mereka. Merekalah orang-orang yang dengan sengaja sekte Syi’ah berdusta atas nama sahabat Ali dan anak keturunannya, sehingga mereka beranggapan bahwa mereka itu adalah musuh-musuh Ali dan anak-anaknya. Sungguh mereka telah hidup berdampingan bersama sahabat Ali dalam keadaan saling bersaudara, mencintai, bahu-membahu, dan mereka pun mati dalam keadaan saling mencintai dan bahu-membahu.
Amat tepat peyifatan tentang mereka yang Allah ta’ala sebutkan dalam surat Al Fath, dalam Kitabullah yang tiada kebatilan baik dari arah depan ataupun belakang. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang mereka:
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
“Mereka amat keras terhadap orang-orang kafir dan saling mengasihi sesama mereka.” (QS. Al Fath: 29)
Dan pada firman-Nya dalam surat Al Hadid:
وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُوْلَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
“Padahal Allah-lah yang memiliki langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya dari pada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka balasan yang lebih baik.” (QS. Al Hadiid: 10)
Adakah mungkin Allah mengingkari janji-Nya?! Allah juga berfirman tentang mereka pada surat Ali Imran:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia.” (QS. Ali Imran: 110)

******


Di Antara Anak Ali bin Abi Tholib Adalah Abu Bakar, Umar & Utsman

Di antara bentuk kasih sayang Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib kepada saudara-saudaranya ketiga kholifah sebelumnya semoga Allah senantiasa meridhoi mereka semua beliau wujudkan dengan memberi nama anak-anak beliau setelah Al Hasan dan Al Husain dengan nama-nama mereka.
Di antara anak sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu ialah anak lelaki yang ia beri nama “Abu Bakar”, dan lainnya diberi nama “Umar” dan lainnya diberi nama “Utsman”. Beliau juga menikahkan putrinya Ummu Kultsum yang terbesar dengan sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu [11]. Dan sepeninggal beliau, ia dinikahi oleh saudara sepupunya, yaitu Muhammad bin Ja’far bin Abi Tholib, kemudian iapun meninggal sebelumnya, dan kemudian ia dinikahi oleh saudara lelaki Muhammad, yaitu ‘Aun bin Ja’far, kemudian Ummu Kultsum meninggal dunia sebagai istri beliau.
Al Kulaini (salah seorang pentolan Syi’ah -ed muslim) menyebutkan sebuah hadits dari Zurarah dari Abu Abdillah ‘alaihissalaam perihal pernikahan Ummu Kultsum, ia berkata: “Sesungguhnya itu adalah kemaluan yang telah dirampas dari kami.” Silahkan baca Al Kafi dalam bab: Furu’ juz 2 halaman 141, edisi India.
Bahkan At Thusi dalam bukunya, “Tahzibul Ahkaam” juz 2 halaman 380 menyebutkan bahwa Ummu Kultsum dan putranya yaitu Zaid bin Umar bin Al Khatthab meninggal dunia dalam pada waktu yang sama, sehingga masing-masing dari mereka berdua tidak saling mewarisi. Maka bagaimana sebagian buku tersebut mengingkari fakta pernikahan, kemudian mendatangkan riwayat-riwayat murahan tentang jin perempuan atau mereka menyerahkan kepada Umar bin Al Khatthab wanita lain yang menyerupainya!!
Dan sahabat Abdullah bin Ja’far (Ja’far dijuluki dengan Zil Janahain) bin Abi Tholib menamakan salah seorang putranya dengan nama “Abu Bakar”, dan menamakan anaknya yang lain dengan nama “Mu’awiyah”. Dan Mu’awiyah ini, yaitu bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Tholib telah menamakan salah seorang putranya dengan nama “Yazid”[12]. Hal ini beliau lakukan, karena beliau mengetahui bahwa Yazid berperilaku baik nan terpuji, sebagaimana yang dipersaksikan oleh Muhammad bin Ali bin Abi Tholib. (Muhammad bin Ali bin Abi Tholib lebih dikenal dengan Muhammad bin Al Hanafiyyah -pent)
Seandainya sikap berlepas diri yang menjadi tuntutan sekte Syi’ah sebagai tumbal terealisasinya “pendekatan” antara kita dengan mereka mencakup seluruh tokoh-tokoh yang mereka kehendaki, niscaya orang pertama yang berlaku salah ialah imam pertama mereka Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang telah menamakan putranya dengan nama: Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dan lebih besar lagi kesalahan beliau di saat beliau menikahkan putrinya dengan sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Demikian juga Muhammad bin Al Hanafiyyah telah berdusta pada persaksiannya tentang Yazid, yaitu tatkala datang kepadanya Abdullah bin Muthi’ salah seorang tangan kanan Ibnu Zubair, kemudian ia mengaku bahwa Yazid biasa minum khamer, meninggalkan sholat, dan melanggar hukum Al Quran, maka Muhammad bin Ali bin Abi Tholib berkata kepadanya -sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah 8/233:
“Aku tidak pernah melihat apa yang kalian sebut-sebut itu, padahal aku pernah hadir di majelisnya dan juga tinggal bersamanya. Yang aku saksikan ia senantiasa rajin menunaikan sholat, berupaya melakukan kebaikan, bertanya tentang ilmu fikih, dan senantiasa berpegang teguh dengan sunnah…” Mendengar yang demikian, Ibnu Muthi’ (dan kawan-kawannya -pent) berkata: “Sesungguhnya ia berperilaku demikian, dalam rangka berpura-pura di hadapanmu.” Maka Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Memangnya apa yang ia takutkan atau yang ia harapkan dariku, sampai-sampai ia merasa perlu untuk berpura-pura khusyu’ di hadapanku? Apakah ia memperlihatkan kepada kalian perbuatan yang kalian sebut-sebut, yaitu berupa minum khamer? Seandainya ia memperlihatkannya kepada kalian, maka kalian adalah sekutunya! Dan bila ia tidak pernah memperlihatkannya kepada kalian, maka tidak halal bagi kalian untuk bersaksi dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” Mereka pun menjawab: “Berita ini bagi kami adalah benar, walaupun tidak kami saksikan sendiri.” Maka Maka Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Allah tidak menerima metode semacam ini dari orang yang hendak bersaksi, oleh karenanya Allah berfirman:
إلاَّ من شَهِدَ بالحقِّ وهم يعلَمون
“Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan benar, sedangkan mereka benar-benar mengetahui.” (QS. Az Zukhruf: 86), dan aku tidak ikut andil dalam urusan kalian sedikit pun.”
Bila demikian ini persaksian salah seorang putra Ali bin Abi Tholib tentang Yazid, maka akan kita sembunyikan ke manakah fenomena ini bila kita menuruti keinginan sekte Syi’ah dalam menyikapi beliau dan juga ayahnya (yaitu sahabat Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu), dan juga kepada orang yang lebih utama dari ayahnya dan juga lebih utama dibanding makhluk Allah lainnya, maksud saya ialah sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Tholhah, Az Zubair, Amr bin Al ‘Ash dan seluruh tokoh sahabat yang telah menjaga Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk kita. Sebagaimana mereka telah mewujudkan dunia islam ini yang dengannya dan untuknya kita hidup, semoga Allah senantiasa meridhoi mereka semua.
Sesungguhnya tebusan yang dituntut oleh sekte Syi’ah guna merealisasikan “pendekatan” antara kita dan mereka terlalu mahal, mengakibatkan kita kehilangan segala sesuatu serta tidak mendapatkan apa-apa. Dan hanya orang dungulah yang sudi untuk bertransaksi dengan orang yang menginginkan darinya suatu perniagaan yang padanya ia nyata-nyata merugi!!
Sesungguhnya loyalitas dan pelepasan diri (al bara’) yang merupakan asas agama sekte Syi’ah, sebagaimana yang ditegaskan oleh An Nushair At Thusi, dan dikuatkan oleh Ni’matullah Al Musawi serta Al Khunisari tidak ada penjabarannya selain perubahan agama Islam serta permusuhan terhadap para tokoh yang di atas pundak merekalah negeri Islam berhasil ditegakan.
Sungguh mereka bertiga telah berdusta pada anggapan mereka bahwa sekte mereka adalah satu-satunya sekte yang menyelisihi ajaran kelompok lain, sesungguhnya sekte Isma’iliyyah menyerupai mereka. Sekte Isma’iliyyah menyelisihi umat Islam dalam hal-hal yang juga diselisihi oleh sekte Syi’ah Imamiyyah, selain pada hal penentuan sebagian figur keluarga/keturunan Nabi (ahlul bait) yang mereka berloyal kepadanya.
Sekte Syi’ah Imamiyah berloyal kepada seluruh figur yang diloyali oleh sekte Isma’iliyyah hingga pada Ja’far As Shadiq, dan kemudian mereka berbeda tentang figur imam setelahnya.
Sekte Imamiyyah berloyal kepada Musa bin Ja’far beserta keturunannya, sedangkan sekte Isma’iliyyah berloyal kepada Isma’il bin Ja’far beserta keturunannya.
Sikap ekstrem yang ada pada sekte Isma’iliyyah semenjak masa Isma’il dan setelahnya telah dijiplak oleh sekte Imamiyyah sejak masa dinasti As Safawiyyah, sehingga mereka pun terjerumus ke dalam jurang di bawah kepemimpinan Al Majlisi dan para kaki tangannya. Bila kelompok ekstrem dari sekte Syi’ah pada zaman dahulu merupakan minoritas, akan tetapi setelah itu hingga saat ini mereka menjadi mayoritas, mereka semua adalah ekstrem Syi’ah Imamiyyah tanpa terkecuali. Fakta ini telah diakui oleh tokoh terkemuka mereka dalam hal ilmu Al Jarh wa At Ta’dil, yaitu Ayatullah Al Maamiqaani pada setiap kali ia menyebutkan biografi tokoh-tokoh ekstrem Syi’ah terdahulu. Ia mengumandangkan pada setiap kesempatan untuk membahas permasalahan ini dalam buku besarnya, bahwa: segala hal yang menjadi penyebab orang-orang ekstrem dianggap ekstrem, maka pada zaman ini menurut seluruh penganut paham Syi’ah sebagai bagian dari hal-hal yang prinsip/mendasar dalam paham Syi’ah!!
Dengan demikian, sikap ekstrem yang dahulu menjadi faktor pembeda antara sekte Isma’iliyyah dengan Syi’ah, sekarang dengannya mereka bersatu, tiada perbedaan antara mereka selain dalam hal figur-figur yang dituhankan oleh masing-masing mereka, atau dianggap kedudukannya melebihi kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam . Beliau yang oleh sekte Imamiyyah melalui lisan Muhammad Hasan Al Asytiyaani diperbolehkan untuk tidak dipercayai dalam hal-hal gaib, misalnya tentang penciptaan langit dan bumi, dan karakteristik Surga dan Neraka. Pada saat bersamaan mereka menisbatkan kepada imam-imam mereka dan kepada imam mereka “kedua belas” berbagai hal yang menjadikan mereka sederajat dengan berbagai sesembahan bangsa Yunani Kuno.
Sesungguhnya pendekatan antara berbagai kelompok umat Islam dengan berbagai kelompok sekte Syi’ah adalah suatu hal yang mustahil tercapai, dikarenakan sekte Syi’ah menyelisihi seluruh umat Islam dalam hal prinsip, sebagaimana yang telah diproklamirkan oleh An Nushair At Tushi Dan dibenarkan oleh Ni’matullah Al Musawi dan Baqir Al Khunisari, dan juga dibenarkan oleh setiap anggota sekte Syi’ah. Bila ini telah terjadi pada zaman An Nushair At Thusi, maka hal ini sejak zaman Al Majlisi hingga sekarang menjadi lebih parah dan lebih dahsyat!!.
Tidak diragukan lagi bahwa Sekte Syi’ah lah yang tidak rela dengan adanya pendekatan, oleh karena itu mereka berkorban dan mengeluarkan dana besar guna mempropagandakan “pendekatan” di negeri kita, sedangkan mereka enggan dan tidak rela bila hal tersebut disuarakan atau berjalan walau hanya selangkah di negeri Syi’ah, atau berpengaruh pada kurikulum sekolah-sekolah mereka.
Oleh karena itu upaya apa saja guna merealisasikan hal ini akan sia-sia bak permainan anak-anak, tidak ada gunanya, kecuali bila sekte Syi’ah sudi untuk berhenti dari mengutuk Abu Bakar dan Umar -semoga Allah senantiasa meridhoi keduanya-, serta tidak lagi berlepas diri dari setiap orang di luar anggota sekte Syi’ah sejak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  hingga hari Kiamat. Dan juga bila sekte Syi’ah telah berhenti dari ideologi pengkultusan para imam ahlul bait sampai-sampai melebihi martabat orang shaleh hingga mencapai martabat sesembahan bangsa Yunani. Karena ini semua merupakan tindak kejahatan terhadap agama Islam, dan perubahan arah agama Islam dari jalur yang telah digariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dan para sahabatnya yang mulia, di antaranya oleh sahabat Ali bin Abi Tholib beserta anak keturunannya semoga Allah senantiasa meridhoi mereka.
Bila Sekte Syi’ah tidak meninggalkan kejahatannya terhadap agama, aqidah dan sejarah Islam ini, maka mereka akan terkucilkan bersama ideologi mereka yang nyata-nyata menyelisihi seluruh prinsip umat islam, dan dijauhi oleh seluruh umat Islam untuk selama-lamanya
Ada suatu fenomena yang telah kami isyaratkan sebelumnya pada makalah ini secara singkat, yaitu sesungguhnya kaum komunis yang telah merajalela di Irak dan yang tergabung dalam Partai Tawaddah (Partai Kasih Sayang) di Iran yang memiliki peranan lebih besar bila dibanding peranan mereka di negeri-negeri Islam lainnya, sebenarnya merupakan sempalan dari sekte Syi’ah, sehingga kaum komunis di dua negeri tersebut terdiri dari generasi muda sekte Syi’ah!! Mereka mendapatkan paham Syi’ah terlalu tenggelam dalam khurafat, kehinaan, dan kedustaan yang tidak masuk akal, sehingga mengakibatkan mereka mengingkari paham tersebut! Pada saat yang bersamaan mereka mendapatkan organisasi-organisasi Komunis gencar dijajakan oleh para penyerunya, dan menebarkan berbagai tulisan dalam berbagai bahasa. Dan kaum komunis dalam menjajakan paham mereka menempuh metode ilmiah dalam hal perekonomian, sehingga dengan mudah mereka terperangkap dalam jeratnya. Seandainya kaum muda sekte Syi’ah mengenal ajaran agama Islam dengan murni dan kemudian mereka mengajinya tanpa dinodai oleh paham Syi’ah, niscaya mereka akan terlindung dari terjerumus ke dalam jurang komunis tersebut.
Tatkala terjadi tragedi fitnah “Al Bab/pintu” di Iran sebelum seratus tahun silam, dan Ali Muhammad As Syairazi mengaku sebagai pintu penghubung kepada Al Mahdi yang mereka nanti-nantikan, kemudian ia secara bertahap mengaku sebagai Imam Mahdi yang mereka nanti-nantikan, dan ia berhasil merekrut pengikut dari kaum Syi’ah Iran. Pemerintah Iran kala itu lebih memilih untuk mengasingkannya ke Azerbejan, dikarenakan Azerbejan adalah pusat kaum Sunni dari para penganut mazhab Hanafi. Dikarenakan mereka adalah kaum sunni, sehingga mereka memiliki kekebalan dari terjerumus ke dalam jurang kenistaan, dan khurafat yang diilhami dari paham Syi’ah tersebut.
Oleh karena kaum Syi’ah dengan mudah terpedaya dengannya dan dengan mudah mereka memenuhi seruan “Al Bab” karenanya Pemerintah Iran enggan untuk mengasingkannya ke negeri yang menganut paham Syi’ah, disebabkan para penganut Syi’ah telah terdidik untuk menerima kepalsuan semacam ini, sehingga akan semakin banyak pengikutnya dan semakin besar fitnah tersebut.
Sebagaimana paham Syi’ah pada abad lalu telah menjadi biang menyebarnya berbagai paham yang serupa dengannya, misalnya seruan orang-orang yang mengaku sebagai “Al Bab” dan sekte “Baha’iyah”, demikian juga paham Syi’ah pada zaman sekarang telah menjadi biang munculnya sikap anti pati di tengah-tengah kaum terpelajar dari generasi mudah kaum Syi’ah yang mulai sadar. Ini semua terjadi karena paham Syi’ah terlalu hina sehingga tidak layak untuk diyakini oleh orang yang berakal sehat. Akibatnya mereka pun murtad dari paham Syi’ah dan bergabung dengan kaum Komunis yang dengan tangan terbuka menerima mereka. Sehingga dalam waktu singkat kaum Komunis telah memiliki pengikut di Irak dan Iran, dan jumlah mereka jauh lebih banyak bila dibanding dengan jumlah mereka di negeri-negeri islam lainnya yang menganut paham sunni.
Inilah yang dapat kami paparkan pada kesempatan ini, sebagai upaya kami untuk menjalankan kewajiban yang telah Allah letakkan pada bahu-bahu umat Islam, berupa kewajiban memberikan nasihat kepada Allah, Rasul-Nya, kalangan tertentu dari umat islam dan masyarakat umum mereka. Dan Allah akan senantiasa menjaga agama-Nya dan negeri Islam dari upaya penghancuran musuh dan makar mereka hingga hari Kiamat.
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat.


Disebarkan di Maktabah Abu Salma al-Atsari atas izin muslim.or.id
Hak cipta berada di tangan penulis dan webmaster muslim.or.id
Risalah ini dapat disebarluaskan dan diprint/dicetak selama tidak untuk komersial dan hanya dibagikan gratis


[1] Bantuan semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat para da’i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah yang padanya terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang da’i Syi’ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul “Al Hawi Lil Fatawi”, cet Percetakan Al Muniriyyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan oleh da’i asal Iran tersebutlah As Suyuthi menuliskan karyanya yang berjudul “Miftahul Jannah Fil I’itisham Bissunnah.”
[2] At Taqiyyah ialah seseorang menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Mereka dalam hal ini berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya hadits yang mereka sebut-sebut dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang pada hadits ini -menurut anggapan mereka- beliau berkata: “At Taqiyyah termasuk amalan seorang mukmin yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan orang-orang jahat.” (Baca: Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka Ja’fary, India).
[3] Kelanjutan surat ini -sebagaimana dapat anda lihat pada halaman selanjutnya- sebagai berikut: “Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul?? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”
[4] Salah seorang ulama’ terkemuka Syi’ah Agha Buzurk At Thohrany, penulis ensiklopedia Syi’ah yang telah masyhur “Az Dzari’ah Ila Tashonif As Syi’ah” menuturkan dalam bukunya: “Thobaqaat A’alaam As Syi’ah”, bagian kedua dari juz pertama, yang lebih dikenal dengan judul: “Nuqaba’ Al Basyar Fi Al Qarni Ar Rabi’ ‘Asyar”, pada hal: 544, cetakan Pustaka Al Ilmiah Najef 1375 H-1956 M, ia berkomentar tentang An Nury At Thobarsy: “Ia adalah pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) pada generasi terakhir, dan termasuk ulama’ terkemuka Syi’ah, dan tokoh Islam terkemuka pada abad ini.”
[5] Yang dimaksudkan oleh Abu Manshur At Thobarsy dengan sebutan munafik ialah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengumpulkan teks-teks Al Quran, dan yang diamalkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib sepanjang masa khilafahnya. Seandainya kisah palsu yang ia rekayasa dalam bukunya “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” atas nama sahabat Ali benar-benar diucapkan oleh sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, maka ini merupakan pengkhianatan beliau terhadap agama Islam, sebab ia menyimpan sepertiga Al Quran yang hilang dan ia tidak berusaha memunculkannya, tidak juga mengamalkannya tidak juga memerintahkan masyarakat untuk mempelajarinya, minimal semasa khilafahnya, padahal tidak ada alasan yang menghalanginya untuk melakukan hal itu. Ia menyembunyikan bagian dari Al Quran sebanyak ini dalam keadaan rela dan tanpa paksaan merupakan kekufuran, bila ucapan ini benar-benar beliau yang menuturkannya. Dari sini anda dapat mengetahui bahwa Abu Manshur At Thobarsy penulis buku “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” dengan bukunya ini telah mencela sahabat Ali sendiri, dan ia menyebutnya telah berkhianat dan kafir, sebelum ia mencela sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain dan menyifati mereka dengan kemunafikan.
[6] Doa ini juga dimuat dalam buku “Tuhfatul Awam Maqbul” yang memuat tanda tangan Ayatullah Al Khumaini, Ayatullah Syariatmudari, Ayatullah Abul Qasim Al Khu’i, Sayyid Muhsin Al Hakim At Thobathoba’i……dll, padahal dari mereka itu terdapat orang-orang yang dikatakan moderat, di antaranya Ayatullah Al Khu’i dan Sayyid Muhsin Al Hakim.
[7] Mengapa hal ini tidak pernah dilakukan oleh kakeknya, yaitu sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu selama ia menjabat sebagai kholifah? Apakah cucunya yang ke dua belas lebih besar pengorbanannya demi Al Quran dan agama Islam?
[8] Nabi Daud ‘alaihissalam adalah salah seorang nabi-nabi Umat Yahudi. Bila Nabi Musa ‘alaihissalaam hidup sekarang ini, ia akan beragama dengan agama Islam dan berhukum dengan hukum Islam, bukan dengan hukum Taurat atau hukum nabi Daud -hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Al Baihaqy dll- mengapa para Imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan hukum Nabi Daud?! Dan bila Nabi ‘Isa ‘alaihissalam ketika turun kembali ke dunia kelak sebelum hari kiamat juga berhukum dengan hukum Al Quran, -sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim- dan bukan dengan hukum nabi Daud, mengapa para imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan hukum keluarga Daud?! Bukankah ini merupakan indikasi kuat bahwa sebenarnya sekte Syi’ah hendak menghidupkan agama nabi Daud ‘alaihi salam yaitu agama Yahudi di tengah-tengah masyarakat Islam??!! (pent-)
[9] Suatu kelaziman atas kita untuk mengisyaratkan di sini, bahwa cucu Holako Khan, yaitu Sultan Gazaan, tatkala datang pada tahun 699 H untuk menguasai negeri Syam, yang menjabat sebagai perdana menterinya ialah cucu pembela kekufuran At Thusi yang bernama Ashiluddin At Thusi. Gazaan melakukan berbagai kekejaman di kota Damaskus, memerkosa, menumpahkan darah, dan mencuri kitab-kitab ilmu. Hingga akhirnya Allah ta’ala memudahkan bagi Al Imam Al Mujahid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam memimpin umat Islam melawan diktator ini, dan kemudian Allah melimpahkan kemenangan atas beliau pada peperangan Syaqhab yang telah masyhur dan yang terjadi pada tahun 701 H.
[10] Dan terowongan ayahnya -seandainya memang benar bahwa ayahnya memiliki terowongan- maka para pengikut sekte Syi’ah tidak mungkin untuk memasukinya, karena terowongan tersebut berada di kekuasaan Ja’far saudara kandung Al Hasan Al ‘Askari, dan ia meyakini bahwa saudara kandungnya yaitu Al Hasan tidak memiliki anak lelaki, tidak di dalam terowongan fiktif tersebut juga tidak di luarnya. Dan bila ia bersembunyi di berbagai terowongan!!! maka mana mungkin mereka dapat menemukannya…
[11] Di antara lelucon adalah: bahwa sebagian buku Syi’ah mengingkari pernikahan sahabat Umar bin Al Khatthab dengan putri Ali Bin Abi Tholib. Bahkan mereka menyebutkan bahwa Ali dan keluarga menyerahkan kepada Umar wanita lain yang dirubah wajahnya menyerupai Ummu Kultsum… Lelucon ini seperti dinyatakan dalam pepatah: “Maksud hati mereka ingin meriasnya dengan celak, akan tetapi mereka malah menjadikan matanya buta!!”. Sepeninggal Umar bin Al Khatthab setelah ditikam oleh Abu Lulu’ah Al Majusi, apakah saudara sepupunya Muhammad bin Ja’far menikahi Ummu Kultsum yang sebenarnya ataukah menikahi wanita yang diubah wajahnya?! Demikian juga tatkala Muhammad bin Ja’far meninggal, apakah saudara kandungnya yaitu ‘Aun menikahi Ummu Kultsum ataukah wanita lain yang menyerupainya!?
[12] Analisa ini perlu dikaji ulang; karena belum terbukti bahwa Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far bin Abi Tholib menamakan putranya dengan sebab mengharapkan agar anaknya menjadi seperti Yazid bin Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Sedangkan nama Yazid kala itu telah dikenal di masyarakat Arab, diantaranya panglima perang sekaligus sahabat mulia Yazid bin Abi Sufyan, paman Yazid bin Mu’awiyah.

0 komentar

Posting Komentar

Part Of Me

Foto saya
mungkin diri ini tidaklah sesempurna apa yang kalian pikirkan dan bayangkan apalagi yang telah kalian definisikan tentang bagaimana kekhilafan diri ini tapi bagaimanapun ane selalu ingin menjadi yang terbaik at leas bisa membuat orang sekitar senang dengan keberadaan itu udah cukup ! and no matter what happend i will always remember who you are ! buddy !

>> <<

Diberdayakan oleh Blogger.